Kesultanan Banten berdiri pada abad ke-16 dengan sebagian besar wilayah Banten berada di wilayah Kerajaan Sunda dan berpusat di Banten. Pada tahun 1526 M, Fatahillah dari kesultanan Demak berhasil merebut Banten dari kerajaan Sunda.
Ketika dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten mengalami masa kejayaan. Pada masa itu, Kesultanan Banten menjadi daerah kota pelabuhan yang sangat ramai serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten memiliki armada yang solid dan telah mengupah orang Eropa. Dalam mengamankan jalur pelayarannya, Kesultanan Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat) dan mampu menaklukkannya tahun 1661. Selain itu, Kesultanan Banten berusaha keluar dari tekanan VOC yang sering kali memblokade kapal-kapal yang ingin ke pelabuhan Banten.
Untuk mengatasi konflik dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan anaknya, yaitu Sultan Haji agar mengurus masalah dalam negeri. Sementara urusan luar negeri ditangani oleh Sultan Ageng sendiri. Akan tetapi, naiknya Sultan Haji menjadi pimpinan dalam negeri malah menguntungkan VOC.
Sultan Haji dengan bantuan VOC merebut Kesultanan Banten dan mendirikan tahta di Istana Surosowan. Karena telah mendukung Sultan Haji berkuasa, VOC meminta daerah Cirebon dan memonopoli perdagangan di Banten. VOC juga meminta kepada Sultan Haji agar pasukan Banten di Priangan ditarik mundur. Atas perbuatan Sultan Haji dan VOC, rakyat menjadi kesal dan marah. Rakyat pun memberontak terhadap kekuasaan Sultan Haji di Banten dengan perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Perlawanan ini tidak berhasil karena pasukan VOC berhasil memukul mundur serangan rakyat. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap VOC dan ditahan hingga ia meninggal.
Dengan demikian, pengkhianatan yang dialami Sultan Ageng Tirtayasa adalah serangan dari anaknya sendiri yang bekerja dengan VOC untuk menguasai Kesultanan Banten.