Strategi penyebaran Islam di Indonesia sendiri, mengenal dua cara, yaitu : melalui Top -Down dan Bottom-Up.
Pertama, pola Top-Down artinya penyebaran Islam melalui pucuk terlebih dahulu, baru di akar rumput. Artinya jika raja/ penguasa memeluk Islam, maka rakyat pun otomatis mengikutinya. Biasanya strategi ini diterapkan pada kerajaan-kerajaan di Indonesia bagian Timur, atau pada kerajaan dengan struktur patrionisme yang kuat seperti Kerajaan Gowa-Tallo. Dimana, masih tumbuhnya anggapan bahwa seorang raja dianggap sebagai bayang-bayang bahkan keturunan Dewa di muka bumi. Ia adalah manifestasi suprastruktur yang ada dalam piramida kekuasaan. Ketika puncak piramida dikunci, struktur bawah akan mengikuti. Jika dilihat, metode ini bisa berhasil jika raja memiliki kharisma yang kuat, militer solid yang didukung panglima yang loyal, dan tidak memiliki negara fassal. Diplomasi dai/muballigh juga dilakukan secara simultan dan berkesinambungan serta memiliki pengaruh kuat di kalangan elit istana.
Kedua, pola Bottom-Up. Pola ini umumnya dijalankan di daerah Pulau Jawa, salah satu diantaranya oleh Walisongo dan contoh lainnya terjadi ketika proses Islamisasi di Majapahit. Biasanya para panyebar Islam menyisir kawasan pesisir terlebih dahulu, dengan mendirikan kantong-kantong santrinisasi. Adapun tujuan pola Bottom-Up ini dilakukan karena jika masyarakat sudah Islam, penguasa akan mengikuti mayoritas rakyatnya. Islamisasi ini dijalankan dengan cara damai, jauh dari aksi militer dan peperangan, dan dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor dan kearifan lokal.
Dengan demikian, maka alasan mengapa di Indonesia bagian Timur banyak berkembang kerajaan Islam dari pada kerajaan Hindu dan Buddha karena berkaitan dengan pola penyebaran Islam yang menggunakan Top-Down, hal ini disesuaikan dengan keadaan legitimasi seorang raja yang masih kuat di pandangan masyarakat.