Pertempuran lima hari di Semarang terjadi pada 14 – 19 Oktober 1945. Setelah kemerdekaan, masih banyak prajurit Jepang yang belum dapat kembali ke negaranya. Para tawanan tersebut banyak dipekerjakan di berbagai pabrik dan beberapa sektor lainnya. Pada saat bersamaan, pasukan sekutu dan pasukan Belanda mulai masuk kembali ke Indonesia dengan tugas untuk melucuti para tentara Jepang.
Peristiwa pertempuran lima hari Semarang ini latar belakangi oleh adanya perlawanan dari para tawanan Jepang pada tanggal 14 Oktober 1945. Saat itu, mereka akan dipindahkan ke Semarang, namun melarikan diri ke Jatingaleh dan bergabung dengan batalion Kidobutai pimpinan Mayor Kido.
Pertempuran dimulai pada saat pasukan Kidobutai yang didukung oleh pasukan Jenderal Nakamura mendatangi kota semarang pada tanggal 15 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Kidobutai disambut oleh angkatan muda semarang yang didukung oleh TKR, sehingga terjadilah perang selama lima hari di Semarang. pertempuran ini berlangsung di beberapa titik, yakni Kintelan, Pandanaran, Jombang dan di depan Lawang Sewu. Pertempuran ini menemui titik akhir, ketika diadakan perundingan gencatan senjata. Pihak Indonesia diwakili oleh Kasman Singodimejo dan Mr. Sartono, pihak Jepang diwakili oleh Letnan Kolonel Nomura. Adapula perwakilan pihak sekutu yakni Brigadir Jenderal Bethel. Perundingan tersebut disetujui oleh kedua belah pihak, dan pihak sekutu melucuti persenjataan tentara Jepang.
Dengan demikian, konflik pada pertempuran ini memang melibatkan ketiga pihak tersebut. Indonesia berkonflik dengan Jepang bahkan sampai banyak korban jiwa, sementara sekutu datang ke Indonesia khususnya Semarang dengan membawa tugas untuk melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negaranya.