Perlawanan Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830 di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian wilayah Jawa Timur. Perlawanan Diponegoro juga sering disebut sebagai Perang Jawa. Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Belanda, gaya hidup foya-foya pejabat istana, pajak yang membebani rakyat, masuknya budaya barat yang negatif atau bertentangan dengan nilai luhur masyarakat Jawa, serta dipasangnya patok-patok penunjuk jalan oleh Belanda yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dalam memimpin pasukan untuk berperang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh sejumlah tokoh, yakni Pangeran Mangkubumi, Ali Basyah Sentot Prawiridirdjo, Kiai Modjo, Pageran Adinegoro, Kiai Muhammad Anfal, Kiai Hasan Besari, Suryonegoro, Somodiningrat, Suronegoro, Pangeran Singosari, dan Nyi Ageng Serang. Di pihak Belanda, Jenderal de Kock menerapkan strategi benteng stelsel untuk menghadapi pasukan Diponegoro. Perlawanan Diponegoro harus berakhir setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro.
Dengan demikian, Perang Diponegoro dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Belanda, gaya hidup foya-foya pejabat istana, pajak yang membebani rakyat, masuknya budaya barat yang negatif atau bertentangan dengan nilai luhur masyarakat Jawa, serta dipasangnya patok-patok penunjuk jalan oleh Belanda yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.