Gerakan Separatisme DI/TII di Jawa Barat
Negara Islam Indonesia (NII) atau DI/TII yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah pemberontakan yang dimulai pada 7 Agustus 1949 oleh sekelompok milisi Muslim, dikoordinasikan oleh seorang politisi Muslim, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampang, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai sumber hukum yang valid. Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam memberantas gerakan separatis tersebut, pemerintah melaksanakan operasi militer yang dinamakan operasi pagar betis. Operasi ini dilakukan dengan mengepung markas pemberontak di Gunung Geber. Dalam operasi ini, TNI yang dipimpin oleh Divisi Siliwangi, mengepung wilayah-wilayah yang menjadi basis kekuatan DI/TII dan membatasi gerakkan mereka. Operasi ini dinamakan “pagar betis” karena pasukan TNI mengepung basis-basis pemberontak DI/TII, sehingga membatasi ruang gerak mereka. Akhirnya pada 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap di Gunung Geber. Tertangkapnya Kartosuwiryo ini mengakhiri pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.
Gerakan Separatisme DI/TII di Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatra Utara yang beribu kota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950). Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh. Akhir dari pemberontakan DI/TII di Aceh adalah menyerahnya Daud Beureueh setelah dicapai kesepakatan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah ini berlangsung pada tanggal 17-21 Desember 1962, dan mendirikan kembali provinsi Aceh dengan status daerah istimewa.
Dengan demikian gerakan separatis DI/TII yang berpusat di Jawa Barat kemudian meluas ke Aceh, memiliki pemimpin gerakan dan latar belakang pemicu pemberontakan yang berbeda.