Pelajaran-Pelajaran
Para Pelaku:
1. Sang Pemuda
2. Sepuluh orang pemuda berpakaian seragam
Panggung menggambarkan sebuah ruang yang luas, tidak ada perlengkapan apa-apa. Kekosongan ruang itu menampilkan suatu situasi: nganga yang menentang, nganga yang mencemooh, bahkan nganga yang menuntut suatu nilai yang bakal diberikan oleh para pemain nantinya. Situasi demikian itu menjadi sumber inspirasi munculnya para pemain nantinya.
(Sepuluh orang pemuda, yang berpakaian seragam, masuk berbaris seperti tentara. Sesudah mereka berjalan di tempat, barisan itu memecah menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas lima orang. Satu kelompok menuju ke kanan, satunya menuju samping kiri. Secara bersama-sama mereka membungkuk. Secara bersama-sama pula mereka mengucapkan salam, "Selamat pagi, Pak. Selamat siang, Bu. Selamat sore semuanya." Kemudian mereka kembali menjadi statis, menampilkan kehadiran seperti patung-patung.)
(Dua orang petugas perlengkapan masuk membawa sebuah knap, menempatkannya di tempat kedua kelompok manusia-manusia patung itu.)
Pemuda : (Seorang pemuda dengan pakaian rapi, lengkap dengan sepatu yang rapi, dua bolpoin merah dan hitam di saku bajunya yang putih, masuk ke panggung dengan cara berjalan yang berlagak gagah. Ia menjinjing buku setumpuk, yaitu buku-buku pelajaran sekolah. Sesampainya di depan knap, ia menempatkan diri sejajar dengan kelompok itu, menghadang ke arah yang sama pula dengan mereka. Pemuda itu berdiri tegak dan tegap.)
(Kedua kelompok manusia patung membungkuk bersama, sambil berkata secara bersama-sama pula, "Selamat pagi, Pak. Selamat siang, Bu. Selamat sorelah semuanya.")
Pemuda : "Selamat pagi. Terima kasih." (Pemuda itu lalu menempatkan buku-bukunya di knap.) "Nah, sekarang mulai dengan pelajaran-pelajaran."
(Kedua kelompok manusia patung lalu berjalan urut ke depan pemuda, kemudian duduk mendengarkan kata-katanya.)
Pemuda : "Bagus. Terpujilah engkau generasi baru, yang dapat mewarisi disiplin yang baik."
(Menatap arloji, mengerutkan dahi.) "Tepat saatnya kita ucapkan Panca Prasetia Siswa." (Kelompok manusia patung lalu berdiri dengan tegap. Salah seorang di antara mereka menghadap si Pemuda, menjadi wakil kelompok.)
Pemuda: (Memberikan secarik kertas.)
Wakil : (Menerima kertas tersebut, kemudian membacanya dengan keras.) "Satu: Kami siswa-siswa SMTA bersemangat satu, berkesetiaan satu, bercita-cita satu."
Kelompok : (Menirukan)
Wakil : "Dua: Kami siswa-siswa SMTA ber-Tuhan satu."
Kelompok : (Menirukan)
Wakil : "Tiga: Kami siswa-siswa SMTA bejalan pada rel satu."
Kelompok : (Menirukan)
Wakil : "Empat: Kami siswa-siswa SMTA berkepribadian satu."
Kelompok : (Menirukan)
Wakil : "Lima: Kami siswa-siswa SMTA adalah satu, dan bakal tetap menjadi satu."
Kelompok : (Menirukan)
Wakil : (Kembali ke barisannya)
Pemuda : "Pelajaran yang kedua, kita mengenangkan dan merenungkan serta mendoakan arwah nenek moyang kita. Mulai ... cukup."
(Pemuda memberi istirahat agar kelompok manusia patung duduk dengan tenang.)
Pemuda : "Pelajaran ketiga untuk pagi ini adalah mengingat peraturan-peraturan sekolah kita. Satu: pakaian seragam, tidak boleh merokok, tidak boleh memakai narkoba, tidak boleh pacaran, tidak boleh membaca buku-buku porno, tidak boleh pakai sandal. Kedua: harus ada izin setiap tidak masuk, harus menghormati guru, harus menurut kata-kata guru. Ya?!"
Kelompok : (Memandang sang Pemuda.)
Pemuda : (Memberi aba-aba seperti seorang dirigen.)
Kelompok : (Serentak) "Yaaaaaa."
Pemuda : "Nah, ini namanya satu bahasa. Jadi, tidak dua bahasa."
Kelompok : (Memandang Lagi kepada sang Pemuda.)
Pemuda : (Memberi aba-aba)
Kelompok : (Berkata bersama) "Bukaaaaan."
Pemuda : "Hebat. Pelajaran Budi Pekerti dimulai. Semua telinga dipersiapkan."
Kelompok : (Meraba-raba telinganya sendiri secara bersama-sama.)
Pemuda : "Generasi kalian tengah mengalami dekadensi moral. Banyak yang ngebut, banyak yang merokok, banyak yang tidak disiplin. Oleh karena itu, kalian harus menjauhi mereka yang suka ngebut, agar kalian tidak kena pengaruh. Kalian harus berjalan di atas satu rel, agar sampai pada kebahagiaan, tidak hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat nanti. Mengapa begitu?"
Kelompok : (Diam)
Pemuda : "Mengapa?"
Kelompok : (Berkata bersama) "Mengapa?"
Pemuda : "Jadi kalian juga tidak mengerti bahwa begitu itu adalah, apa ... sebabnya ... a ... aa ... dekadensi moral, apa itu subversi kebudayaan ... ? Tidak ?"
Kelompok : "Tidaaaak."
Pemuda : "Bagus. Saya juga tidak mengerti itu. Kita punya buku-buku peraturan." (Mengambil buku yang teratas) "Di sini dikatakan bahwa di negara-negara Barat telah timbul dekadensi moral. Dan kita kena pengaruhnya." (Mengambil buku kedua) "Di sini dikatakan yang dimaksudkan orang-orang Hippies itu, bahwa mereka menunggu maut sambil menghabiskan waktunya." (Mengambil buku ketiga) "Di sini dikatakan, kita harus membangun. Dengar?"
Kelompok : "Dengaaaar."
Pemuda : "Ya, membangun."
Kelompok : "Membanguuuun."
Pemuda : "Membangun itu tidak hanya membangun gedung saja, tetapi juga membangun mental."
Kelompok : "Mental."
Pemuda : "Di samping bahaya dekadensi moral, ada lagi bahaya lain, ialah bahaya teroris."
Kelompok : "Bahaya teroris."
Pemuda : (Mengambil buku keempat) "Di sini dikatakan membendung bahaya itu. Dengan apa?"
Kelompok : "Dengan apaaaa?"
Pemuda : "Dengan apa?"
Kelompok : "Dengan apaaaa?"
Pemuda : "Saya bertanya."
Kelompok : "Saya bertanya."
Pemuda : "Dengan bertoleransi."
Kelompok : "Dengan bertoleransi."
Pemuda : "Hebat."
Kelompok : "Hebaaaat."
Pemuda : "Di samping itu, kita harus ingat sejarah Majapahit."
Kelompok : "Majapahit."
Pemuda : "Gajah Mada ."
Kelompok : "Gajah Mada ."
Pemuda : "Baik."
Kelompok : "Baik."
Pemuda : "Cukup."
Kelompok : "Cukup."
Pemuda : (Mengambil buku kelima) "Pelajaran lanjutannya. A, i, u, e, o."
Kelompok : "A, i, u, e, o."
Pemuda : "En , i, en , i, ... ni-ni."
Kelompok : "En, i, en , i, ... ni-ni."
Pemuda : "Bagus."
Kelompok : "Bagus."
Pemuda : (Menata buku)
Kelompok : (Berdiri, berjalan ke samping kanan dan kiri, lalu berkata) "Selamat pagi, Pak. Selamat siang, Bu. Selamat sorelah semuanya."
Pemuda : (Pergi membawa buku-buku.)
(Dua orang petugas perlengkapan masuk, mengambil knap, membawanya pergi.)
Kelompok berbaris berkeliling dua kali sambil berkata, "A, i, e, u, e, i, ni-ni. A, i, u, e, o, ni-ni." Mereka menuju ke luar panggung.
Tinggal seorang yang masih berkeliling sendirian. Semakin lama dia berjalan semakin cepat, sambil terus berkata, "i, u, e, o, ni-ni." Ia berputar, berpusingan, lalu rebah. Sesaat kemudian ia bangkit, memandang berkeliling. Ruangan kosong menganga, menantang arti. Lalu ia berteriak lantang: "Siapa aku?" (Diadaptasi dari naskah drama "Pelajaran-Pelajaran " karya Bakdi Soemanto)
2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan benar!
a. Adakah unsur satiris atau humor dalam drama tersebut? Jelaskan!
2