Risma M

15 Oktober 2024 12:50

Iklan

Risma M

15 Oktober 2024 12:50

Pertanyaan

Melengkapi paragraf cerpen agar menjadi cerpen yang utuh! Mawar Merah untuk Mamah .......................................................................................... Aku yakin dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang sulit. Dia akan tetap tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mengapa dia tidur sepulas itu waktu malam. Kami berdua berlanjut saling menatap tanpa bersuara dan bias wajahnya terlihat lelah. "Mamah pasti cape, kan?" Dia tetap diam tidak menjawab. Rumah kami yang tidak begitu terang, hanya satu lampu hias besar dan sisanya lilin-lilin yang menyala. Kami orang susah. Aku tahu kami orang susah, membeli beras dan uang saku untuk aku berangkat sekolahpun hanya sedikit. Aku tidak sedih, karena semua sudah kuusahakan juga dengan berjualan ke sekolah. Rasa malu yang kubuang, semua ejekan tak kupedulikan. Pendapatan berjualan di sekolah juga cukup untuk makan sore kami. Jangan tanya bapakku, dia sudah meninggalkan kami dan memilih tertidur di dalam tanah. "Mah, aku berhenti sekolah saja, kah?" "Jangan." Jawab mamah. Akhirnya kumendengar suaranya. "Jangan. Sekolah penting. Kau tak akan bisa hidup enak jika tidak sekolah." Aku terdiam akan jawabannya. Kami tidak punya warisan, Semua habis dijual untuk pengobatan bapak. Anak tunggal seperti aku ini sungguh tidak bisa berkeluh kesah selain pada mamahku sendiri. ..............................................................................................................

8 dari 10 siswa nilainya naik

dengan paket belajar pilihan

Habis dalam

00

:

15

:

12

:

44

Klaim

5

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Rendi R

Community

15 Oktober 2024 23:00

Jawaban terverifikasi

<p>Berikut adalah pelengkap lain untuk cerpen <strong>"Mawar Merah untuk Mamah"</strong>:</p><p>Aku menatap wajah mamahku yang semakin layu setiap harinya. Wajah yang dulu penuh semangat kini mulai pudar, namun senyumnya tak pernah hilang, seolah ia menutupi semua rasa lelah dan sakitnya. Setiap kali aku ingin bertanya tentang keadaannya, tentang betapa sulitnya hidup kami sekarang, mamah selalu menjawab dengan kalimat yang sama.</p><p>“Jangan khawatirkan Mamah, yang penting kamu tetap sekolah, Nak,” katanya lagi hari ini, seperti hari-hari sebelumnya.</p><p>Aku mengangguk, walau di dalam hati ada keraguan. Bagaimana bisa aku terus sekolah ketika melihat mamah semakin susah? Bagaimana aku bisa belajar dengan tenang jika uang yang ada hanya cukup untuk membeli makanan seadanya? Tapi, mamah selalu bersikeras. Sekolah, katanya, adalah kunci dari semua harapan. “Kamu bisa merubah nasib, Nak, asal jangan pernah menyerah.”</p><p>Malam itu, aku berbaring di ranjang tipis kami sambil memikirkan cara agar bisa membantu mamah lebih banyak. Pikiran untuk berhenti sekolah terus menghantuiku, tapi bayangan mamah yang terus berjuang demi aku lebih menghantui lagi.</p><p>Esok paginya, sebelum aku berangkat sekolah, aku melihat mamah duduk di depan rumah dengan tangan memegang sebuket mawar merah yang kemarin kuberikan. Mawar itu masih segar, seakan simbol cinta yang tak pernah layu di antara kami. “Terima kasih, Nak. Mawar ini indah sekali,” ucapnya sambil tersenyum.</p><p>Aku mengangguk sambil menahan air mata. Aku tahu, betapapun sulit hidup kami, cinta mamah akan selalu menjadi kekuatanku. Di saat sulit sekalipun, aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang—demi mamah, dan demi masa depan yang ia impikan untukku.</p><p>Cerpen ini memperlihatkan perjuangan seorang anak yang menghadapi pilihan sulit, namun akhirnya memilih untuk tetap setia pada nasihat dan cinta ibunya yang tak tergantikan, meskipun dalam keterbatasan hidup mereka.</p>

Berikut adalah pelengkap lain untuk cerpen "Mawar Merah untuk Mamah":

Aku menatap wajah mamahku yang semakin layu setiap harinya. Wajah yang dulu penuh semangat kini mulai pudar, namun senyumnya tak pernah hilang, seolah ia menutupi semua rasa lelah dan sakitnya. Setiap kali aku ingin bertanya tentang keadaannya, tentang betapa sulitnya hidup kami sekarang, mamah selalu menjawab dengan kalimat yang sama.

“Jangan khawatirkan Mamah, yang penting kamu tetap sekolah, Nak,” katanya lagi hari ini, seperti hari-hari sebelumnya.

Aku mengangguk, walau di dalam hati ada keraguan. Bagaimana bisa aku terus sekolah ketika melihat mamah semakin susah? Bagaimana aku bisa belajar dengan tenang jika uang yang ada hanya cukup untuk membeli makanan seadanya? Tapi, mamah selalu bersikeras. Sekolah, katanya, adalah kunci dari semua harapan. “Kamu bisa merubah nasib, Nak, asal jangan pernah menyerah.”

Malam itu, aku berbaring di ranjang tipis kami sambil memikirkan cara agar bisa membantu mamah lebih banyak. Pikiran untuk berhenti sekolah terus menghantuiku, tapi bayangan mamah yang terus berjuang demi aku lebih menghantui lagi.

Esok paginya, sebelum aku berangkat sekolah, aku melihat mamah duduk di depan rumah dengan tangan memegang sebuket mawar merah yang kemarin kuberikan. Mawar itu masih segar, seakan simbol cinta yang tak pernah layu di antara kami. “Terima kasih, Nak. Mawar ini indah sekali,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk sambil menahan air mata. Aku tahu, betapapun sulit hidup kami, cinta mamah akan selalu menjadi kekuatanku. Di saat sulit sekalipun, aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang—demi mamah, dan demi masa depan yang ia impikan untukku.

Cerpen ini memperlihatkan perjuangan seorang anak yang menghadapi pilihan sulit, namun akhirnya memilih untuk tetap setia pada nasihat dan cinta ibunya yang tak tergantikan, meskipun dalam keterbatasan hidup mereka.


Iklan

Nanda R

Community

Dijawab 21 jam yang lalu

<p>**Mawar Merah untuk Mamah**</p><p>Aku yakin dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang sulit. Dia akan tetap tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mengapa dia tidur sepulas itu waktu malam. Kami berdua berlanjut saling menatap tanpa bersuara, dan bias wajahnya terlihat lelah.</p><p>"Mamah pasti cape, kan?"</p><p>Dia tetap diam tidak menjawab. Rumah kami yang tidak begitu terang, hanya satu lampu hias besar dan sisanya lilin-lilin yang menyala. Kami orang susah. Aku tahu kami orang susah, membeli beras dan uang saku untuk aku berangkat sekolah pun hanya sedikit. Aku tidak sedih, karena semua sudah kuusahakan juga dengan berjualan ke sekolah. Rasa malu yang kubuang, semua ejekan tak kupedulikan.</p><p>Pendapatan berjualan di sekolah juga cukup untuk makan sore kami. Jangan tanya bapakku, dia sudah meninggalkan kami dan memilih tertidur di dalam tanah.</p><p>"Mah, aku berhenti sekolah saja, kah?"</p><p>"Jangan," jawab mamah. Akhirnya kumendengar suaranya.</p><p>"Jangan. Sekolah penting. Kau tak akan bisa hidup enak jika tidak sekolah."</p><p>Aku terdiam akan jawabannya. Kami tidak punya warisan; semua habis dijual untuk pengobatan bapak. Anak tunggal seperti aku ini sungguh tidak bisa berkeluh kesah selain pada mamahku sendiri.</p><p>Suasana malam semakin hening, hanya terdengar desah napas kami berdua. Aku merasakan kehangatan tangan mamah yang menggenggam tanganku. Ada rasa aman dalam genggamannya, meski hidup kami penuh dengan keterbatasan. Aku ingin membuatnya bahagia, setidaknya di sisa hari-harinya.</p><p>Tiba-tiba, ide brilian muncul di benakku. "Mah, bagaimana kalau aku mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak uang? Aku bisa membantu jualan makanan atau minuman di sekolah. Mungkin bisa menarik lebih banyak pembeli," kataku penuh semangat.</p><p>Mamah menatapku, matanya berbinar, meski lelah. "Kau pasti bisa, Nak. Asal kau tetap ingat untuk tidak mengorbankan sekolahmu. Pendidikan adalah kunci masa depan," katanya dengan nada tegas namun lembut.</p><p>Semangatku kembali membara. Aku mulai memikirkan berbagai resep sederhana yang bisa dijual. Beberapa hari kemudian, aku membawa beberapa penganan yang kubuat sendiri ke sekolah. Teman-teman mulai membeli, dan sedikit demi sedikit uangnya terkumpul.</p><p>Aku kembali ke rumah dengan wajah ceria. "Mah, lihat! Aku berhasil menjual semua ini!" seruku sambil mengulurkan tangan yang berisi uang. Mamah tersenyum, senyum yang seolah menghapus semua lelahnya.</p><p>Dan pada satu sore, ketika aku pulang sekolah, aku melihatnya duduk di teras dengan wajah yang lebih cerah. Di sampingnya ada seikat mawar merah yang ia ambil dari kebun kecil kami. "Untukmu, Nak. Mawar ini adalah simbol harapan. Kita harus tetap berjuang, ya?" ujarnya, menatapku penuh kasih.</p><p>Senyumnya, kini menjadi energi baru bagiku. Dengan mawar merah itu, aku tahu kami akan terus melangkah, meraih impian meskipun jalan kami terjal. Sekolahku adalah jalan untuk mewujudkan harapan, dan aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan pernah berhenti berjuang untuk masa depan kami.</p>

**Mawar Merah untuk Mamah**

Aku yakin dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang sulit. Dia akan tetap tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mengapa dia tidur sepulas itu waktu malam. Kami berdua berlanjut saling menatap tanpa bersuara, dan bias wajahnya terlihat lelah.

"Mamah pasti cape, kan?"

Dia tetap diam tidak menjawab. Rumah kami yang tidak begitu terang, hanya satu lampu hias besar dan sisanya lilin-lilin yang menyala. Kami orang susah. Aku tahu kami orang susah, membeli beras dan uang saku untuk aku berangkat sekolah pun hanya sedikit. Aku tidak sedih, karena semua sudah kuusahakan juga dengan berjualan ke sekolah. Rasa malu yang kubuang, semua ejekan tak kupedulikan.

Pendapatan berjualan di sekolah juga cukup untuk makan sore kami. Jangan tanya bapakku, dia sudah meninggalkan kami dan memilih tertidur di dalam tanah.

"Mah, aku berhenti sekolah saja, kah?"

"Jangan," jawab mamah. Akhirnya kumendengar suaranya.

"Jangan. Sekolah penting. Kau tak akan bisa hidup enak jika tidak sekolah."

Aku terdiam akan jawabannya. Kami tidak punya warisan; semua habis dijual untuk pengobatan bapak. Anak tunggal seperti aku ini sungguh tidak bisa berkeluh kesah selain pada mamahku sendiri.

Suasana malam semakin hening, hanya terdengar desah napas kami berdua. Aku merasakan kehangatan tangan mamah yang menggenggam tanganku. Ada rasa aman dalam genggamannya, meski hidup kami penuh dengan keterbatasan. Aku ingin membuatnya bahagia, setidaknya di sisa hari-harinya.

Tiba-tiba, ide brilian muncul di benakku. "Mah, bagaimana kalau aku mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak uang? Aku bisa membantu jualan makanan atau minuman di sekolah. Mungkin bisa menarik lebih banyak pembeli," kataku penuh semangat.

Mamah menatapku, matanya berbinar, meski lelah. "Kau pasti bisa, Nak. Asal kau tetap ingat untuk tidak mengorbankan sekolahmu. Pendidikan adalah kunci masa depan," katanya dengan nada tegas namun lembut.

Semangatku kembali membara. Aku mulai memikirkan berbagai resep sederhana yang bisa dijual. Beberapa hari kemudian, aku membawa beberapa penganan yang kubuat sendiri ke sekolah. Teman-teman mulai membeli, dan sedikit demi sedikit uangnya terkumpul.

Aku kembali ke rumah dengan wajah ceria. "Mah, lihat! Aku berhasil menjual semua ini!" seruku sambil mengulurkan tangan yang berisi uang. Mamah tersenyum, senyum yang seolah menghapus semua lelahnya.

Dan pada satu sore, ketika aku pulang sekolah, aku melihatnya duduk di teras dengan wajah yang lebih cerah. Di sampingnya ada seikat mawar merah yang ia ambil dari kebun kecil kami. "Untukmu, Nak. Mawar ini adalah simbol harapan. Kita harus tetap berjuang, ya?" ujarnya, menatapku penuh kasih.

Senyumnya, kini menjadi energi baru bagiku. Dengan mawar merah itu, aku tahu kami akan terus melangkah, meraih impian meskipun jalan kami terjal. Sekolahku adalah jalan untuk mewujudkan harapan, dan aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan pernah berhenti berjuang untuk masa depan kami.


Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Tentukanlah sindiran/kritikan dan makna tersirat yang pada teks dibawah! Pil RT Suatu ketika Roni dan Karto sedang ngobrol di depan rumah Roni. "Lihat itu Pak RT kita yang baru, tingkahnya dan peraturannya justru membuat warga risau, ini salahmu, To. Kamu dulu sudah tak ingatkan agar ndak usah ikut nyoblos, nanti kalau pilihanmu berbuat dosa kamu malah ikut menanggung dosanya," demikian kata Doni kepada Karto. "Kamu itu, Don. Justru kamu dan teman-temanmu yang ndak mau nyobloslah yang berdosa," jawab Karto kesal. "Kok bisa?" sahut Doni. "Kalau saja kalian dulu nyoblos, tentu Pak Wono tak akan jadi RT, sebab pilihan kalian yang bukan Pak Wono membantu agar Pak Wono tidak jadi RT," ujar Karto. Doni diam sejenak, ia memikirkan dengan sangat dalam kalimat yang diungkapkan Karto.

9

0.0

Jawaban terverifikasi

Sahabat yang Tergadai Rina dan Maya telah bersahabat sejak kecil. Mereka tinggal di kompleks perumahan yang sama, duduk di bangku sekolah yang sama, bahkan berbagi mimpi untuk bisa terus bersama hingga dewasa. Setiap sore, Rina selalu datang ke rumah Maya untuk bermain atau sekadar mengerjakan PR bersama. Rumah Maya terasa hangat dan nyaman, penuh dengan canda tawa dan rasa kekeluargaan. Maya adalah teman yang selalu mendukung Rina dalam segala hal, tak peduli apa yang terjadi. Namun, suatu hari segalanya berubah. Ayah Maya, yang sebelumnya memiliki usaha sukses, mengalami kebangkrutan. Usahanya gulung tikar setelah dihadapkan pada masalah keuangan yang tak terduga. Keluarga Maya terpaksa menjual rumah mereka dan pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Maya tak lagi bisa mengenakan seragam baru yang biasa mereka beli bersama di awal tahun ajaran. Kini, pakaian Maya tampak kusam, dan sepatu yang dia kenakan mulai berlubang di ujungnya. Pada awalnya, Rina tetap berteman dengan Maya seperti biasa. Mereka masih bertemu di sekolah, dan Rina sesekali mengundang Maya ke rumahnya. Namun, Rina mulai mendengar bisik-bisik dari teman-teman lainnya. "Kenapa masih berteman dengan Maya? Keluarganya sudah jatuh miskin. Nanti kamu jadi terlihat seperti dia." Salah seorang teman di kelas berkata dengan nada mengejek. Bisikan-bisikan itu semakin keras, bahkan beberapa di antaranya terang-terangan menertawakan Maya di depan Rina. Rina merasa tersudut. Di satu sisi, dia merasa bersalah kepada Maya, sahabatnya sejak kecil, yang tidak pernah memintanya apa-apa kecuali persahabatan tulus. Namun di sisi lain, dia merasa takut dijauhi oleh teman-teman lain yang mulai memandang rendah Maya. Rina mulai menjaga jarak. Suatu sore, Maya mendatangi Rina. "Kenapa kamu menjauh? Aku merindukanmu, Rina," Maya bertanya dengan mata yang penuh harap, mencoba mencari jawaban atas perubahan sikap sahabatnya. Rina menghindari tatapan Maya, menunduk dan berpura-pura sibuk dengan bukunya. "Aku sibuk sekarang, banyak tugas. Maaf, Maya." Maya terdiam. Hatinya hancur. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia berharap itu tidak benar. Namun, kenyataannya terlalu menyakitkan untuk diabaikan. Sejak itu Maya tak pernah lagi mengajak Rina berbicara. Mereka masih bertemu di sekolah, tetapi Maya belajar untuk menahan diri dari rasa sakit ditinggalkan. Waktu berlalu, dan pertemanan mereka tergerus oleh jarak yang diciptakan Rina. Suatu hari, sekolah mengadakan reuni kecil bagi siswa-siswa angkatan mereka. Maya, yang sekarang telah menemukan jalan hidupnya sendiri, datang dengan percaya diri. Dia tak lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Rina melihat Maya dari jauh, merasa tertampar oleh keberadaan sahabatnya yang dulu. Maya telah tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan sukses, meski tanpa dirinya. Rina mendekat dengan perasaan bersalah. "Maya... maafkan aku." Maya menatapnya, senyumnya tenang. "Rina, aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku hanya belajar bahwa tidak semua hal bisa kita pertahankan, bahkan persahabatan. Kadang, orang berubah, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, kita tetap berdiri dan melanjutkan hidup." Rina menahan air matanya. Pada saat itu, dia menyadari bahwa dia telah kehilangan lebih dari sekadar seorang sahabat. Dia telah kehilangan kesempatan untuk setia pada seseorang yang benar-benar berarti dalam hidupnya. Tapi, waktu tak bisa diputar kembali. Rina hanya bisa menerima kenyataan bahwa persahabatan mereka telah tergadai oleh ketakutan dan gengsi. Maya pun berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Rina dalam kesunyian yang menyesakkan. Ubahlah cerpen tersebut menjadi sebuah adegan 1, adegan 2, adegan 3, dan adegan 4

15

0.0

Jawaban terverifikasi

Iklan

tolong bantu aku mencari semua kebahasaan pidato yang ada di pidato di bawah ini Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi untuk kita semua. Pertama-tama dan paling utama, marilah kita ucapkan syukur kepada Allah SWT yang sudah memberi limpahan rezeki bagi kita semua. Tak lupa selawat dan salam, mari kita gaungkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, sampai kepada kita selaku umatnya. Hadirin yang berbahagia, Pada kesempatan kali ini izinkan saya berbicara mengenai pentingnya menjaga lingkungan di sekolah. Sebab isu lingkungan sudah menjadi isu di seluruh negara. Maka, menjaganya sudah menjadi tugas bersama. Menjaga lingkungan tak melulu soal menjaga kebersihan. Lebih dari itu, menjaga lingkungan dapat diupayakan lewat menanam tanaman di lingkungan sekolah, menghemat air, dan mengupayakan untuk meminimalkan penggunaan plastik. Lalu, kenapa harus dilakukan di lingkungan sekolah? Sebab, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus menjadi tempat pertama untuk memupuk kebiasaan menjaga lingkungan. Hadirin yang berbahagia, Hal-hal yang saya singgung di atas, seperti menanam tanaman, menghemat air, dan meminimalkan penggunaan plastik merupakan hal yang kecil. Namun percayalah, aktivitas kecil punya dampak besar bila dilakukan bersama dan menjadi kebiasaan. Semoga dengan aktivitas positif di sekolah bisa dibawa juga ke rumah, sehingga kegiatan menjaga lingkungan dapat dilakukan terus menerus. Alangkah lebih baik lagi bila kita mampu untuk mempengaruhi saudara, orang tua, dan teman di rumah untuk sama-sama menjaga lingkungan. Demikianlah pidato lingkungan hidup tentang pentingnya menjaga lingkungan sekolah yang saya sampaikan. Meski singkat, semoga ada manfaatnya. Terima kasih atas atensinya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

2

5.0

Jawaban terverifikasi

Kerusakan Situs Gunung Padang Akibat Gempa Cianjur Kepala Berita: Gunung Padang yang berlokasi di Cianjur, Jawa Barat, mengalami kerusakan. Gunung Padang turut terdampak gempa bumi. Tubuh Berita: Dilansir detikJabar, Sabtu (26/11/2022), Koordinator Juru Pelihara Situs Gunung Padang, Nanang Sukmana, menjelaskan kerusakan Gunung Padang di bagian tourist information center (TIC), plafon TIC roboh akibat gempa. "Jadi yang rusak kantor TIC, itu pun hanya plafonnya yang jatuh. Kalau situs utamanya aman, tidak ada kerusakan apa pun," ucap Nanang, Sabtu (26/11/2022). Menurutnya, aktivitas wisata di Gunung Padang saat ini masih berjalan. Wisatawan dari luar daerah pun masih banyak yang berdatangan untuk melihat kemegahan struktur bangunan peninggalan leluhur itu. "Yang berkunjung masih banyak, terutama rombongan pelajar. Tapi tidak sebanyak sebelumnya, karena Cianjur masih berduka pascagempa," jelasnya. Ekor Berita: Gunung Padang merupakan situs megalitikum yang dibangun pada 5200 sebelum Masehi (SM). Situs dengan luas 291.800 meter persegi itu berlokasi di Kampung Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Gunung Padang juga ternyata mengarah ke Gunung Gede Pangrango di sebelah utara. Bahkan perhitungan arahnya sangat tepat, di mana Gunung Gede sebenarnya tidak persis berada di nol derajat arah utara, dan Gunung Padang sengaja dirahakan sesuai garis lurus dengan Gunung Gede Pangrango. Situs Gunung Padang dibuat menggunakan bebatuan kekar kolom (coloumnar joint) dengan bentuk persegi lima memanjang disusun dan bukan terbentuk secara alami. Carilah ciri kebahasaan dalam teks berita tersebut!!

8

0.0

Jawaban terverifikasi