Risma M

15 Oktober 2024 12:50

Iklan

Risma M

15 Oktober 2024 12:50

Pertanyaan

Melengkapi paragraf cerpen agar menjadi cerpen yang utuh! Mawar Merah untuk Mamah .......................................................................................... Aku yakin dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang sulit. Dia akan tetap tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mengapa dia tidur sepulas itu waktu malam. Kami berdua berlanjut saling menatap tanpa bersuara dan bias wajahnya terlihat lelah. "Mamah pasti cape, kan?" Dia tetap diam tidak menjawab. Rumah kami yang tidak begitu terang, hanya satu lampu hias besar dan sisanya lilin-lilin yang menyala. Kami orang susah. Aku tahu kami orang susah, membeli beras dan uang saku untuk aku berangkat sekolahpun hanya sedikit. Aku tidak sedih, karena semua sudah kuusahakan juga dengan berjualan ke sekolah. Rasa malu yang kubuang, semua ejekan tak kupedulikan. Pendapatan berjualan di sekolah juga cukup untuk makan sore kami. Jangan tanya bapakku, dia sudah meninggalkan kami dan memilih tertidur di dalam tanah. "Mah, aku berhenti sekolah saja, kah?" "Jangan." Jawab mamah. Akhirnya kumendengar suaranya. "Jangan. Sekolah penting. Kau tak akan bisa hidup enak jika tidak sekolah." Aku terdiam akan jawabannya. Kami tidak punya warisan, Semua habis dijual untuk pengobatan bapak. Anak tunggal seperti aku ini sungguh tidak bisa berkeluh kesah selain pada mamahku sendiri. ..............................................................................................................

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

01

:

21

:

38

:

56

Klaim

2

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Rendi R

Community

15 Oktober 2024 23:00

Jawaban terverifikasi

<p>Berikut adalah pelengkap lain untuk cerpen <strong>"Mawar Merah untuk Mamah"</strong>:</p><p>Aku menatap wajah mamahku yang semakin layu setiap harinya. Wajah yang dulu penuh semangat kini mulai pudar, namun senyumnya tak pernah hilang, seolah ia menutupi semua rasa lelah dan sakitnya. Setiap kali aku ingin bertanya tentang keadaannya, tentang betapa sulitnya hidup kami sekarang, mamah selalu menjawab dengan kalimat yang sama.</p><p>“Jangan khawatirkan Mamah, yang penting kamu tetap sekolah, Nak,” katanya lagi hari ini, seperti hari-hari sebelumnya.</p><p>Aku mengangguk, walau di dalam hati ada keraguan. Bagaimana bisa aku terus sekolah ketika melihat mamah semakin susah? Bagaimana aku bisa belajar dengan tenang jika uang yang ada hanya cukup untuk membeli makanan seadanya? Tapi, mamah selalu bersikeras. Sekolah, katanya, adalah kunci dari semua harapan. “Kamu bisa merubah nasib, Nak, asal jangan pernah menyerah.”</p><p>Malam itu, aku berbaring di ranjang tipis kami sambil memikirkan cara agar bisa membantu mamah lebih banyak. Pikiran untuk berhenti sekolah terus menghantuiku, tapi bayangan mamah yang terus berjuang demi aku lebih menghantui lagi.</p><p>Esok paginya, sebelum aku berangkat sekolah, aku melihat mamah duduk di depan rumah dengan tangan memegang sebuket mawar merah yang kemarin kuberikan. Mawar itu masih segar, seakan simbol cinta yang tak pernah layu di antara kami. “Terima kasih, Nak. Mawar ini indah sekali,” ucapnya sambil tersenyum.</p><p>Aku mengangguk sambil menahan air mata. Aku tahu, betapapun sulit hidup kami, cinta mamah akan selalu menjadi kekuatanku. Di saat sulit sekalipun, aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang—demi mamah, dan demi masa depan yang ia impikan untukku.</p><p>Cerpen ini memperlihatkan perjuangan seorang anak yang menghadapi pilihan sulit, namun akhirnya memilih untuk tetap setia pada nasihat dan cinta ibunya yang tak tergantikan, meskipun dalam keterbatasan hidup mereka.</p>

Berikut adalah pelengkap lain untuk cerpen "Mawar Merah untuk Mamah":

Aku menatap wajah mamahku yang semakin layu setiap harinya. Wajah yang dulu penuh semangat kini mulai pudar, namun senyumnya tak pernah hilang, seolah ia menutupi semua rasa lelah dan sakitnya. Setiap kali aku ingin bertanya tentang keadaannya, tentang betapa sulitnya hidup kami sekarang, mamah selalu menjawab dengan kalimat yang sama.

“Jangan khawatirkan Mamah, yang penting kamu tetap sekolah, Nak,” katanya lagi hari ini, seperti hari-hari sebelumnya.

Aku mengangguk, walau di dalam hati ada keraguan. Bagaimana bisa aku terus sekolah ketika melihat mamah semakin susah? Bagaimana aku bisa belajar dengan tenang jika uang yang ada hanya cukup untuk membeli makanan seadanya? Tapi, mamah selalu bersikeras. Sekolah, katanya, adalah kunci dari semua harapan. “Kamu bisa merubah nasib, Nak, asal jangan pernah menyerah.”

Malam itu, aku berbaring di ranjang tipis kami sambil memikirkan cara agar bisa membantu mamah lebih banyak. Pikiran untuk berhenti sekolah terus menghantuiku, tapi bayangan mamah yang terus berjuang demi aku lebih menghantui lagi.

Esok paginya, sebelum aku berangkat sekolah, aku melihat mamah duduk di depan rumah dengan tangan memegang sebuket mawar merah yang kemarin kuberikan. Mawar itu masih segar, seakan simbol cinta yang tak pernah layu di antara kami. “Terima kasih, Nak. Mawar ini indah sekali,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk sambil menahan air mata. Aku tahu, betapapun sulit hidup kami, cinta mamah akan selalu menjadi kekuatanku. Di saat sulit sekalipun, aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang—demi mamah, dan demi masa depan yang ia impikan untukku.

Cerpen ini memperlihatkan perjuangan seorang anak yang menghadapi pilihan sulit, namun akhirnya memilih untuk tetap setia pada nasihat dan cinta ibunya yang tak tergantikan, meskipun dalam keterbatasan hidup mereka.


Iklan

Nanda R

Community

05 November 2024 12:13

Jawaban terverifikasi

<p>**Mawar Merah untuk Mamah**</p><p>Aku yakin dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang sulit. Dia akan tetap tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mengapa dia tidur sepulas itu waktu malam. Kami berdua berlanjut saling menatap tanpa bersuara, dan bias wajahnya terlihat lelah.</p><p>"Mamah pasti cape, kan?"</p><p>Dia tetap diam tidak menjawab. Rumah kami yang tidak begitu terang, hanya satu lampu hias besar dan sisanya lilin-lilin yang menyala. Kami orang susah. Aku tahu kami orang susah, membeli beras dan uang saku untuk aku berangkat sekolah pun hanya sedikit. Aku tidak sedih, karena semua sudah kuusahakan juga dengan berjualan ke sekolah. Rasa malu yang kubuang, semua ejekan tak kupedulikan.</p><p>Pendapatan berjualan di sekolah juga cukup untuk makan sore kami. Jangan tanya bapakku, dia sudah meninggalkan kami dan memilih tertidur di dalam tanah.</p><p>"Mah, aku berhenti sekolah saja, kah?"</p><p>"Jangan," jawab mamah. Akhirnya kumendengar suaranya.</p><p>"Jangan. Sekolah penting. Kau tak akan bisa hidup enak jika tidak sekolah."</p><p>Aku terdiam akan jawabannya. Kami tidak punya warisan; semua habis dijual untuk pengobatan bapak. Anak tunggal seperti aku ini sungguh tidak bisa berkeluh kesah selain pada mamahku sendiri.</p><p>Suasana malam semakin hening, hanya terdengar desah napas kami berdua. Aku merasakan kehangatan tangan mamah yang menggenggam tanganku. Ada rasa aman dalam genggamannya, meski hidup kami penuh dengan keterbatasan. Aku ingin membuatnya bahagia, setidaknya di sisa hari-harinya.</p><p>Tiba-tiba, ide brilian muncul di benakku. "Mah, bagaimana kalau aku mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak uang? Aku bisa membantu jualan makanan atau minuman di sekolah. Mungkin bisa menarik lebih banyak pembeli," kataku penuh semangat.</p><p>Mamah menatapku, matanya berbinar, meski lelah. "Kau pasti bisa, Nak. Asal kau tetap ingat untuk tidak mengorbankan sekolahmu. Pendidikan adalah kunci masa depan," katanya dengan nada tegas namun lembut.</p><p>Semangatku kembali membara. Aku mulai memikirkan berbagai resep sederhana yang bisa dijual. Beberapa hari kemudian, aku membawa beberapa penganan yang kubuat sendiri ke sekolah. Teman-teman mulai membeli, dan sedikit demi sedikit uangnya terkumpul.</p><p>Aku kembali ke rumah dengan wajah ceria. "Mah, lihat! Aku berhasil menjual semua ini!" seruku sambil mengulurkan tangan yang berisi uang. Mamah tersenyum, senyum yang seolah menghapus semua lelahnya.</p><p>Dan pada satu sore, ketika aku pulang sekolah, aku melihatnya duduk di teras dengan wajah yang lebih cerah. Di sampingnya ada seikat mawar merah yang ia ambil dari kebun kecil kami. "Untukmu, Nak. Mawar ini adalah simbol harapan. Kita harus tetap berjuang, ya?" ujarnya, menatapku penuh kasih.</p><p>Senyumnya, kini menjadi energi baru bagiku. Dengan mawar merah itu, aku tahu kami akan terus melangkah, meraih impian meskipun jalan kami terjal. Sekolahku adalah jalan untuk mewujudkan harapan, dan aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan pernah berhenti berjuang untuk masa depan kami.</p>

**Mawar Merah untuk Mamah**

Aku yakin dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya yang sulit. Dia akan tetap tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya mengapa dia tidur sepulas itu waktu malam. Kami berdua berlanjut saling menatap tanpa bersuara, dan bias wajahnya terlihat lelah.

"Mamah pasti cape, kan?"

Dia tetap diam tidak menjawab. Rumah kami yang tidak begitu terang, hanya satu lampu hias besar dan sisanya lilin-lilin yang menyala. Kami orang susah. Aku tahu kami orang susah, membeli beras dan uang saku untuk aku berangkat sekolah pun hanya sedikit. Aku tidak sedih, karena semua sudah kuusahakan juga dengan berjualan ke sekolah. Rasa malu yang kubuang, semua ejekan tak kupedulikan.

Pendapatan berjualan di sekolah juga cukup untuk makan sore kami. Jangan tanya bapakku, dia sudah meninggalkan kami dan memilih tertidur di dalam tanah.

"Mah, aku berhenti sekolah saja, kah?"

"Jangan," jawab mamah. Akhirnya kumendengar suaranya.

"Jangan. Sekolah penting. Kau tak akan bisa hidup enak jika tidak sekolah."

Aku terdiam akan jawabannya. Kami tidak punya warisan; semua habis dijual untuk pengobatan bapak. Anak tunggal seperti aku ini sungguh tidak bisa berkeluh kesah selain pada mamahku sendiri.

Suasana malam semakin hening, hanya terdengar desah napas kami berdua. Aku merasakan kehangatan tangan mamah yang menggenggam tanganku. Ada rasa aman dalam genggamannya, meski hidup kami penuh dengan keterbatasan. Aku ingin membuatnya bahagia, setidaknya di sisa hari-harinya.

Tiba-tiba, ide brilian muncul di benakku. "Mah, bagaimana kalau aku mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak uang? Aku bisa membantu jualan makanan atau minuman di sekolah. Mungkin bisa menarik lebih banyak pembeli," kataku penuh semangat.

Mamah menatapku, matanya berbinar, meski lelah. "Kau pasti bisa, Nak. Asal kau tetap ingat untuk tidak mengorbankan sekolahmu. Pendidikan adalah kunci masa depan," katanya dengan nada tegas namun lembut.

Semangatku kembali membara. Aku mulai memikirkan berbagai resep sederhana yang bisa dijual. Beberapa hari kemudian, aku membawa beberapa penganan yang kubuat sendiri ke sekolah. Teman-teman mulai membeli, dan sedikit demi sedikit uangnya terkumpul.

Aku kembali ke rumah dengan wajah ceria. "Mah, lihat! Aku berhasil menjual semua ini!" seruku sambil mengulurkan tangan yang berisi uang. Mamah tersenyum, senyum yang seolah menghapus semua lelahnya.

Dan pada satu sore, ketika aku pulang sekolah, aku melihatnya duduk di teras dengan wajah yang lebih cerah. Di sampingnya ada seikat mawar merah yang ia ambil dari kebun kecil kami. "Untukmu, Nak. Mawar ini adalah simbol harapan. Kita harus tetap berjuang, ya?" ujarnya, menatapku penuh kasih.

Senyumnya, kini menjadi energi baru bagiku. Dengan mawar merah itu, aku tahu kami akan terus melangkah, meraih impian meskipun jalan kami terjal. Sekolahku adalah jalan untuk mewujudkan harapan, dan aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan pernah berhenti berjuang untuk masa depan kami.


Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke AiRIS

Yuk, cobain chat dan belajar bareng AiRIS, teman pintarmu!

Chat AiRIS

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Eno Bastian: "Selamat slang, Pak." Wakil Perusahaan: "Selamat siang, Mas. Mari, silakan duduk." Eno Bastian: "Terima kasih, Pak." Wakil Perusahaan: "Sebenarnya, apa yang terjadi, Mas?" Eno Bastian: "Begini, Pak. Saya sebagai wakil dari teman-teman buruh PT Sagara Food ingin menyampaikan beberapa hal kepada Bapak." Wakil Perusahaan: "Silakan Anda sampaikan." Eno Bastian: "Terima kasih, Pak. Saya sebagai wakil dari teman-teman ingin menanyakan gaji kami sekarang, Pak." Wakil Perusahaan: "Maksud Anda?" Eno Bastian: "Menurut ketetapan gubernur, upah minimal Kabupaten Sukamaju sekarang mencapai Rp2.513.000,00, sedangkan gaji kami sekarang masih Rp2.250.000,00." Wakil Perusahaan: "Maaf, Mas. Biaya produksi awal tahun ini sedang melonjak. Harga kebutuhan pokok makin mahal. Karena itu, perusahaan belum bisa memenuhi permintaan buruh." Eno Bastian: "Akan tetapi, kebutuhan pokok buruh sekarang juga mengalami kenaikan, Pak. Kalau memang pihak perusahaan tidak bisa memenuhi permintaan kami, terpaksa kami akan melakukan mogok kerja." Wakil Perusahaan: "Tidak bisa begitu. Kita harus mencari jalan tengah dalam mengatasi masalah ini." Eno Bastian: "Kami mohon kebijaksanaan, Bapak." Wakil Perusahaan: "Begini saja. Nanti saya akan berbicara dengan direktur perusahaan. Saya akan menyampaikan permintaan tersebut. Akan tetapi, saya hanya mengusulkan kenaikan upah paling besar menjadi Rp2.350.000,00." Eno Bastian: "Tolonglah, Pak. Kalau bisa, naikkan lebih dari itu. Kami butuh upah standar untuk dapat hidup layak." Wakil Perusahaan: "Baiklah, akan saya usahakan. Sekarang Anda tenangkan teman-teman. Kembalilah bekerja seperti semula." Eno Bastian: "Baiklah, Pak. Terima kasih, Pak. Selamat siang." Wakil Perusahaan: "Selamat siang." Tentukan struktur dari teks negosiasi tersebut.

74

5.0

Jawaban terverifikasi

Teks 1 Salah Kelas Pagi itu, Joni nampak bahagia sekali. Di meja makan, ibunya bertanya kepada Joni. "Jon, Ibu perhatikan dari tadi kamu senyum-senyum sendiri?" "Anu, Bu, semalam ibu wali kelas membagikan jadwal tatap muka terbatas. Senang rasanya karena besok aku bisa bertemu teman-teman. Belajar daring di rumah membosankan, Bu. Apalagi kalau zoom meeting Matematika." "Memangnya kenapa kalau Matematika, Jon?" Ibu bertanya kembali. "Gurunya galak, Bu, materinya juga susah, wong diajarkan di kelas saja masih susah pahamnya, apalagi daring," jawab Joni. "Oh, begitu," Ibu menimpali. "Ya sudah, Bu. Joni pamit, ya." Joni langsung pergi sambil mencium tangan ibunya. Sekolah sudah nampak ramai. Joni berjalan sambil sesekali melihat jadwal mapel yang dibagikan wali kelasnya. Lalu, dia segera masuk kelas dan ternyata sudah ada guru di dalam kelas. "Selamat pagi, Pak. Maaf, saya terlambat." "Selamat pagi juga, Nak, silakan duduk," sahut Pak Guru. Joni langsung mencari kursi dan duduk tanpa melihat kanan kiri. Saat mengeluarkan buku catatan, Joni mengedarkan pandangannya dan langsung kaget. Semua seperti asing. Dia seperti tidak mengenali teman sekelasnya, apalagi semuanya memakai masker. Dia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa mereka adalah teman kelasnya. Tidak berapa lama, Joni kaget ketika melihat ke papan tulis Pak Guru sedang menjelaskan soal Matematika, padahal seingatnya jadwal pagi itu adalah Bahasa Indonesia. "Astaga, ini kan kelasku satu tahun yang lalu, ini kan kelas satu. Sekarang kan aku sudah naik kelas dua." Keringat dingin keluar di wajah Joni, lalu dia memberanikan diri menemui Pak Guru. "Maaf, Pak, karena sudah satu tahun daring, saya lupa kalau sekarang saya sudah kelas dua. Saya salah masuk kelas, Pak." Semua peserta didik pun tertawa. Dengan wajah malu, Joni keluar kelas. Teks 2 PKH Pada suatu hari, dua orang ibu rumah tangga sedang berbincang-bincang di depan rumah. Mereka sedang asyik membahas tentang bantuan pemerintah yang dinamakan PKH. Bu Tuti : Mar, aku semakin heran dengan pemerintah sekarang. Bu Marni Loh, kenapa, Bu? Ada masalah? (penasaran) Bu Tuti : Ya jelas ada. Kalau enggak ada, buat apa saya repot-repot membahas masalah ini? Bu Marni: Oalah, Bu, sempat-sempatnya memikirkan pemerintah, memangnya pemerintah memikirkan nasib kita? Bu Tuti : Jangan salah. Tuh, lihat tetangga sebelah kita. Dia dapat bantuan dari pemerintah. Setiap bulan, dia rutin mengambil sembako di warung dekat balai desa sana. Bu Marni Masa? Enggak salah, sampeyan, Bu? Dia, kan, lumayan mampu. Lihat saja, kulkas ada, mesin cuci punya, motor dua, kalau pergi perhiasannya selalu menempel di tangannya. Benar enggak salah, Bu? (sedikit tidak percaya) Bu Tuti : Nah, itu yang membuat saya bingung. Kenapa dia dapat bantuan? Padahal, kalau dipikir, dia tergolong keluarga mampu. Coba kita bandingkan dengan tetangga kita yang lain. Ada yang jauh lebih berhak mendapatkan bantuan itu sebenarnya. Bu Marni : Iya betul Bu. Ngomong-ngomong, bantuan apa yang bisa dia dapat, Bu? Bu Tuti Bu Marni: Masa kamu enggak tahu? Itu, loh, bantuan PKH. Oh, yang rumahnya ditempeli stiker "Keluarga Miskin" itu, to? Bu Tuti Nah, itu kamu tahu, Mar. (mengacungkan jempol kepada Bu Marni) Bu Marni Bu Tuti Ya tahu lah, Bu. Apa, sih, yang tidak saya ketahui? Mar, PKH itu apa, to? (penasaran) Bu Marni Program Keluarga Harapan. Bu Tuti : Harapan apa? Bu Marni Harapan biar dikasih sembako tiap bulan, ha...ha...ha... Bu Tuti : Ngawur kamu, Mar. Tulislah persamaan dan perbedaan kedua teks tersebut

30

0.0

Jawaban terverifikasi

Iklan

Tentukan mana yang merupakan struktur abstraksi,orientasi,krisis,reaksi,dan koda Teks 1 Racun Serangga Alkisah hiduplah sepasang suami istri dengan dua orang anaknya. Setiap pagi kedua anak tersebut pergi berkebun untuk membantu orang tuanya. Namun, tiba-tiba mereka berdua pulang ke rumah dengan tergesa-gesa. Kakak: "Bu, Ibu tolong bu, gawat ini adik menelan kecoa!" Ibu: "Astaga, kok bisa sih kak? Gimana ceritanya? Ayo cepat panggil Bapak suruh bawa dokter ke sini!" Kakak: "Jangan bu, malah tambah gawat nanti. Sebentar lagi kecoanya juga mati." Ibu: "Lho, kok bisa gitu kak?" Kakak: "Iya bu, soalnya adik sudah aku kasih racun serangga bu. Di botolnya kan ada tulisan "dapat membunuh serangga ekstra cepat." Ibu: "Astagfirullah, sembrono kamu!" Kakak: (bingung) Ibu: "Pak, Bapak anak kita makan kecoa." (sambil berlari mencari suaminya). Kakak: (masih tetap bingung) ------------------------------- Teks 2 Tukang roti Pada Pagi hari Azril duduk di teras rumahnya sembari menunggu tukang roti yang biasa lewat. Begitu tukang roti lewat Azril lantas memanggil sang penjual. Azril: "Beli rotinya, Pak." Tukang Roti: "Boleh silahkan mau roti yang mana." Azril: "Ini apa, Pak?" Tukang Roti: "Ini semangka." Azril: "Kalau yang ini apa?" Tukang Roti: "Srikaya." Azril: "Terus ini apa, Bang?" Tukang Roti: "Oh...kalau ini blueberry, dek." Azril: "Gimana sih, terus rotinya mana? Saya mau beli roti bukan buah, kok daritadi yang disebut buah-buahan aja. Gak jadi beli deh saya kalau gini." Tukang Roti: "Yang saya sebut tuh rasa rotinya!" Azril: "Gak jadi, deh!"

13

5.0

Jawaban terverifikasi

Kerusakan Situs Gunung Padang Akibat Gempa Cianjur Kepala Berita: Gunung Padang yang berlokasi di Cianjur, Jawa Barat, mengalami kerusakan. Gunung Padang turut terdampak gempa bumi. Tubuh Berita: Dilansir detikJabar, Sabtu (26/11/2022), Koordinator Juru Pelihara Situs Gunung Padang, Nanang Sukmana, menjelaskan kerusakan Gunung Padang di bagian tourist information center (TIC), plafon TIC roboh akibat gempa. "Jadi yang rusak kantor TIC, itu pun hanya plafonnya yang jatuh. Kalau situs utamanya aman, tidak ada kerusakan apa pun," ucap Nanang, Sabtu (26/11/2022). Menurutnya, aktivitas wisata di Gunung Padang saat ini masih berjalan. Wisatawan dari luar daerah pun masih banyak yang berdatangan untuk melihat kemegahan struktur bangunan peninggalan leluhur itu. "Yang berkunjung masih banyak, terutama rombongan pelajar. Tapi tidak sebanyak sebelumnya, karena Cianjur masih berduka pascagempa," jelasnya. Ekor Berita: Gunung Padang merupakan situs megalitikum yang dibangun pada 5200 sebelum Masehi (SM). Situs dengan luas 291.800 meter persegi itu berlokasi di Kampung Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Gunung Padang juga ternyata mengarah ke Gunung Gede Pangrango di sebelah utara. Bahkan perhitungan arahnya sangat tepat, di mana Gunung Gede sebenarnya tidak persis berada di nol derajat arah utara, dan Gunung Padang sengaja dirahakan sesuai garis lurus dengan Gunung Gede Pangrango. Situs Gunung Padang dibuat menggunakan bebatuan kekar kolom (coloumnar joint) dengan bentuk persegi lima memanjang disusun dan bukan terbentuk secara alami. Carilah ciri kebahasaan dalam teks berita tersebut!!

2

0.0

Jawaban terverifikasi