Asyifa A
18 November 2025 13:30
Iklan
Asyifa A
18 November 2025 13:30
Pertanyaan
buatlah Hikayat pengembara yang lapar di bawah ini dalam bentuk cerpen yang fakta/nyata/asli.
Pengembara yang lapar
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung, dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekal makanan seperti beras, daging, susu, dan buah-buahan. Apabila penat berjalan, mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung. mereka akan singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan lebat. Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rindang. Bekal makanan telah habis. Ketiga sahabat ini berasa sangat lapar.
"Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang," tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
"Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan," kata Buyung pula.
"Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan sudah cukup," Awang bersuara. Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.
"Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!" ejek Kendi. Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang mendengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera mencari benda tersebut di celah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
"Eh, ada nasi sekawah!" Kendi menjerit keheranan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih beruap. Tanpa berpikir panjang, dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.
"Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!" tiba-tiba Buyung berkata dari arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya muncul. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil memperhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
"Urgh!" Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyar Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. "Kenapa kamu tidak habiskan kami?" tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
"Aku sudah kenyang," jawab Kendi.
"Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?" Tanya nasi itu lagi.
"Tapi perutku sudah kenyang," jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia hanya dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak. Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
"Kenapa kamu tidak habiskan kami?" tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
"Aku sudah kenyang," kata Buyung. "Makan seekor pun perut aku sudah muak," katanya lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di dalam pinggan itu.
"Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada dan tidak membazir," kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.
7
1
Iklan
Najwa L
18 November 2025 16:12
Perjalanan itu seharusnya hanya berlangsung dua hari. Kendi, Buyung, dan Awang—tiga sahabat sejak kecil—memutuskan melakukan trekking melewati hutan konservasi yang jarang dilalui orang. Mereka sudah mempersiapkan bekal: beras, daging, susu, roti, dan buah. Biasanya, jika melewati kampung, mereka singgah sebentar membeli tambahan makanan untuk perjalanan.
Namun hari itu berbeda. Sejak pagi mereka berjalan tanpa menemukan satu rumah pun. Jalur yang mereka ikuti ternyata jauh lebih terjal dari dugaan. Panas matahari memukul punggung, dan napas mereka makin berat. Ketika akhirnya menjelang sore, mereka tiba di sebuah hutan ara yang lebat, kaki mereka seakan tak sanggup melangkah lagi.
“Bekal kita habis…” gumam Awang setelah memeriksa tas.
Perut ketiganya sudah sejak pagi hanya diisi seteguk air. Mereka duduk di bawah pohon ara besar yang rimbun, mencoba mengatur napas.
“Hai… kalau ada nasi sekawah, sumpah, aku habisin sendiri,” keluh Kendi sambil memegangi perutnya. Tubuhnya disandarkan pada batang pohon, terlihat benar-benar kelelahan.
“Kalau lapar begini, ayamm panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habisin,” sahut Buyung sambil tersenyum pahit.
Awang menggeleng pelan. “Kalian jangan ngomong besar. Kalau aku… sepiring nasi pun cukup.”
Kata-kata Awang membuat Kendi dan Buyung tertawa lemah.
Tak lama kemudian, suara sesuatu jatuh terdengar dari arah semak-semak di sisi kiri mereka.
Bump!
Ketiganya saling berpandangan. Ada sesuatu di sana. Mungkin hewan, mungkin juga… makanan?
Mereka berdiri, meski tenaga hampir habis, lalu berpencar ke arah sumber suara.
Kendi tiba-tiba berseru, “Eh! Ada nasi sekawah!”
Ternyata di balik semak itu ada sebuah kawah besar berisi nasi yang masih hangat. Bukan keajaiban, tapi sisa makanan pendaki sebelum mereka—mungkin rombongan besar—yang tertinggal dan terlindung dari hujan oleh terpal usang.
Karena terlalu lapar, Kendi langsung menyuap nasi itu tanpa berpikir panjang.
Dari arah lain, Buyung menemukan bekas tempat memanggang ayam. Masih ada beberapa potong ayam panggang yang belum habis. Mungkin baru beberapa jam ditinggalkan orang. Masih hangat sedikit karena terperangkap dalam bara ranting kecil.
“Wah! Rezeki! Ayam panggang beneran!” seru Buyung sambil melahap seekor ayam besar.
Awang pun menemukan sebuah kotak bekal berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk sayur yang masih utuh. Sepertinya bekal pendaki lain yang tercecer. Awang mengucap syukur, lalu makan dengan tenang.
Setelah makan, Awang duduk bersandar ke pohon ara, memandang kedua sahabatnya yang makan dengan lahap berlebihan. Nasi yang dimakan Kendi tidak akan habis meski ia kenyang setengah mati. Buyung pun memuntahkan sebagian karena terlalu banyak makan.
“Perutku… sakit,” rintih Kendi. Wajahnya pucat, tubuhnya mulai gemetar.
Buyung pun memegangi perut. “Aku… mual… pusing…”
Awang terkejut. “Kalian kenapa?”
Kendi meringkuk di tanah. “Nasinya… rasanya aneh… kayak basi…”
Awang mendekat. Aroma nasi di kawah itu memang sedikit asam—mungkin ia sudah basi, atau terkontaminasi bakteri karena dibiarkan di udara terbuka terlalu lama.
Buyung juga muntah. Ayam panggang yang dimakannya tampak masih merah bagian dalam—belum matang sempurna.
“Aduh, kalian keracunan makanan!” seru Awang panik.
Kendi menggigil keras. Buyung memegangi dadanya, sesak.
Awang mencari pertolongan. Ia berlari ke segala arah, berteriak, tetapi hutan itu terlalu sunyi. Tak ada sinyal. Tak ada orang. Hanya suara ranting patah dan napasnya yang makin berat.
Ketika ia kembali, tubuh Kendi sudah tergeletak tak bergerak. Buyung pun sudah tidak bernapas. Keracunan makanan dalam kondisi tubuh lelah bisa mematikan begitu cepat.
Awang terduduk. Matanya panas. Ia memegangi wajahnya sendiri, tak percaya kedua sahabatnya pergi secepat itu.
Pagi harinya, setelah menenangkan diri, Awang menguburkan Kendi dan Buyung dengan segala kemampuan seadanya. Ia menaruh batu sebagai penanda makam sederhana itu.
Sebelum pergi, Awang mengambil pinggan kosong yang tadi ia pakai makan. Pinggan itu bersih, tanpa sisa nasi.
“Ini… akan mengingatkanku,” gumam Awang lirih.
“Jangan tamak… jangan makan berlebihan… dan jangan sembarangan makan apa pun yang tidak jelas.”
Ia menatap makam kedua sahabatnya sekali lagi sebelum melanjutkan perjalanan keluar hutan, sendirian.
· 0.0 (0)
Iklan
Tanya ke AiRIS
Yuk, cobain chat dan belajar bareng AiRIS, teman pintarmu!

LATIHAN SOAL GRATIS!
Drill Soal
Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian


Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!