Walaupun pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung sekitar 3,5 tahun, namun membuat penderitaan yang menyengsarakan bangsa Indonesia. Tindakan militeristik dan berbagai kebijakan Jepang yang sewenang-wenang tidak lantas diterima begitu saja oleh bangsa Indonesia. Bangsa Jepang mendapatkan perlawanan dari rakyat Indonesia, salah satu perlawanan terhadap pemerintahan Jepang di Indonesia adalah Perlawanan Tasikmalaya yang dipimpin oleh K.H. Zainal Mustofa.
Perlawanan Tasikmalaya di bawah pimpinan K.H Zainal Mustofa dilatarbelakangi oleh praktik kebijakan Jepang tentang upacara penghormatan kepada Kaisar Jepang (Tenno Haika) dengan cara membungkuk ke arah matahari terbit, selain itu bungkuknya badan ke arah matahari terbit juga menyiratkan pengakuan bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari (Amaterasu). K. H. Zainal Mustofa sebagai pengasuh pondok pesantren Sukamanah, tentu menganggap penerapan kebijakan tersebut bertentangan dengan keyakinannya, yakni musyrik (menyekutukan Allah), sehingga perlawanan terhadap Jepang tidak dapat dihindari.
Meski demikian, pada Januari 1944, Jepang telah mengirim beberapa utusan untuk melakukan dialog dengan K. H Zainal Mustofa, akan tetapi dialog ditolak sehingga perlawanan adalah jalan satu-satunya. Dalam perlawanan yang berlangsung antara masyarakat/santri Sukamanah dengan senjata berupa pedang bambu dan bambu runcing menghadapi tentara Jepang bersenjata modern, membuat 89 santri gugur sebagai syuhada dan pada tanggal 25 Februari 1944 K. H. Zainal Mustofa berhasil ditangkap. Perlawanan berakhir ketika K. H. Zainal Mustofa dihukum mati oleh Jepang di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1944.
Perlawanan juga meletus di Indramayu. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kewajiban untuk menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja paksa atau romusha yang telah mengakibatkan penderitaan bagi rakyat setempat. Hal ini memicu meletusnya perlawanan di bulan April 1944. Namun, karena sifatnya yang spontan ini, maka perlawanan mudan dihentikan oleh tentara Jepang.
Selain itu, meletus juga perlawanan di Blitar yang ditenggarai oleh pengumpulan padi, romusha, dan Heiho dilakukan secara paksa. Akhirnya, anggota Pembela Tanah Air (PETA) melakukan perlawanan di Kota Blitar pada tanggal 14 November 1944 di bawah komandan pleton bernama Supriyadi. Walaupun begitu, perlawanan ini juga mengalami kebuntuan setelah dapat dipatahkan oleh tentara Jepang.
Jadi, beberapa bentuk perlawanan terhadap pendudukan Jepang di Indonesia adalah Perlawanan Tasikmalaya yang dipimpin oleh K. H. Zainal Mustofa karena kewajiban pembungkukan badan kepada matahari yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Perlawanan ini harus berakhir setelah dapat ditumpas oleh Jepang dan K.H. Zainal Mustofa ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1944. Selain itu, terdapat juga perlawanan rakyat Indramayu yang disebabkan karena kewajiban penyetoran sebagian hasil padi dan romusha. Sayangnya, pemberontakan ini berhasil dipatahkan oleh Jepang. Perlawanan lain terjadi di Blitar yang digagas oleh para anggota PETA karena berbagai tindakan kesewenang-wenangan Jepang. Sama seperti perlawanan lainnya, perlawanan ini berhasil diselesaikan oleh Jepang.