Pernyataan benar. Dalam sejarahnya para pemimpin Indonesia seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta Hatta, dan Sutan Sjahrir membiarkan dirinya ditangakap Belanda dan Agresi Militer Belanda II dengan tujuan untuk memancing opini negatif internasional terhadap Belanda yang secara brutal melanggar Perjanjian Renville dengan menyerang wilayah kedaulatan Indonesia di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Fakta sejarah mencatat bahwa aksi sepihak Belanda tersebut mendapat kecaman dari dunia internasional. Masyarakat dunia mendukung penuh kedaulatan Indonesia, sebagai buktinya pada tanggal 20 – 23 Januari 1949, ‘Konferensi Asia’ digelar di New Delhi, India. Konferensi yang dihadiri oleh beberapa negara di Asia, Afrika, dan Australia telah menghasilkan sebuah resolusi tentang permasalahan Indonesia yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Merespon resolusi mereka, PBB berpandangan, Belanda sudah secara terang-terangan menginjak-injak kesepakatan dalam ‘Perjanjian Renville’ yang saat itu ditandatangai di depan KTN dan wakil dari PBB. Alhasil, pada 4 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB pun mengeluarkan resolusi supaya Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan kembali ke meja perundingan. Sejak bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24 sampai 29 Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari kota Yogyakarta. Setelah itu, TNI memasuki kota Yogyakarta. Pada tanggal 6 Juni 1949, presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya kembali ke Yogyakarta.
Alasan salah. Karena pada kenyataannya beberapa politisi sipil seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Mr Assaat, dan Mr AG Pringgodigdo ditangkap Belanda untuk diasingkan dari Yogyakrta, ibu kota sementara Indonesia pada waktu itu menuju ke Pulau Sumatra dengan tujuan tidak jelas, ada yang diasingkan ke Parapat, Berastagi, dan Pangkalpinang. Penangkapan dan pengasingan mereka tidak melibatkan pihak militer Indonesia melainkan murni atas kehendak militer Belanda. Fakta sejarah mencatat bahwa jumlah prajurit Indonesia yang menjadi korban dalam Agresi Militer Belanda II sebanyak 147 jiwa. Dan hal ini tidak ada kaitannya dengan penangkapan serta pengasingan para pemimpin Indonesia. Minimnya korban jiwa di pihak militer Indonesia dalam Agresi Militer Belanda II lebih karena faktor keandalan strategi Indonesia yang menjadikan perang gerilya sebagai taktik dan strategi bukan karena sebab penangkapan dan pengasingan para pemimpin Indonesia.
Dengan demikian, maka pilihan jawaban yang tepat adalah C.