Informasi kekalahan Jepang dari Sekutu telah menjadi sumber ketegangan baru dikalangan kaum aktivis dan tokoh pergerakan nasional, terutama antara golongan tua dan golongan muda. Ketegangan antara golongan tua dan golongan tua terjadi karena adanya perbedaan sikap mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia. Golongan muda ingin proklamasi kemerdekaan dilakukan secepat mungkin tanpa adanya campur tangan Jepang, sedangkan golongan tua menghendaki sikap kooperatif dengan Jepang melalui PPKI.
Pada 16 Agustus 1945 dini hari, yaitu sekitar pukul 04.00 sejumlah pemuda antara lain Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh memaksa membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Peristiwa ini yang kemudian hari disebut Peristiwa Rengasdengklok. Aksi "penculikan" ini mengecewakan Bung Karno. Namun golongan muda menganggap sebagai sebuah tindakan patriotik. Rapat PPKI yang dijadwalkan pukul 10.00 tanggal 16 Agustus pun tidak jadi dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat juga tidak tahu tentang terjadinya peristiwa "penculikan" tersebut.
Di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali didesak oleh golongan muda agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Golongan muda berusaha meyakinkan Soekarno dan Hatta bahwa Jepang sudah menyerah dan rakyat siap melawan Jepang apapun risikonya. Namun Soekarno dan Hatta tetap bergeming. Sementara itu, pada hari yang sama di Jakarta, terjadi kesepakatan antara Wikana yang mewakili golongan mudan dan Achmad Soebardjo yang mewakili golongan tua. Isi kesepakatan itu adalah bahwa proklamasi akan dilaksanakan paling lambat tanggal 17 Agustus. Atas kesepakatan tersebut, Achmad Soebardjo bergegas ke Rengasdengklok dan membawa Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta untuk kemudian segera menyusun naskah proklamasi kemerdekaan.
Dengan demikian, yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok adalah Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh.