Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Kemarahannya semakin memuncak ketika Smissaert (Residen untuk wilayah Yogyakarta) dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/ patok) dalam rangka membuat jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja melewati pekarangan dan makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden anjir inilah meletus Perang Diponegoro. Pertempuran meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya "Perang Sabil" di Surakarta oleh Kyai Mojo, di Kedu oleh Kyai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain, maka pada pertempuran-pertempuran tahun 1825- 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak. Melihat kenyatan ini Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain:
- Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal De Kock mulai tahun 1827,
- Siasat bujukan, agar perlawanan menjadi reda,
- Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro,
- Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu persatu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain, Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827), Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro. Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal De Kock, melakukan tipu muslihat dengan ajakan berunding, dan bila perundingan gagal, Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro bersedia berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830, namun akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, kemudian ke Manado, dan tahun 1834 dipindahkan ke Makasar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
Dengan demikian, perang Diponegoro terjadi karena kekejaman perlakuan Belanda terdahap rakyat, yang membuat rakyat dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro angkat senjata namun berakhir kegagalan dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada 1830.