Dwifungsi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah “fungsi ganda (rangkap)”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan peranan ganda ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di bidang sosial politik (SOSPOL) dan di bidang pertahanan keamanan (HANKAM). ABRI dijadikan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Dwifungsi menjadi ideologi ABRI pada masa Orde Baru seiring dengan naiknya Jenderal Suharto sebagai presiden Indonesia setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September. Doktrin Dwifungsi ini diformulasikan oleh Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad) dengan judul “Kontribusi Angkatan Darat dari Ide untuk Kabinet Ampera". Dwifungsi ini memiliki dua bagian, yaitu rencana untuk stabilisasi politik dan rencana untuk stabilisasi ekonomi.
Pada masa Orde Baru ini, banyak sekali kepala daerah dijabat oleh pejabat ABRI, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun (purnawirawan). Misalnya, gubernur DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dijabat oleh Ali Sadikin, yang merupakan jenderal di KKO (sekarang Marinir) yang merupakan bagian dari Angkatan Laut. Setelah masa jabatannya berakhir dia digantikan Tjokropranolo, yang merupakan mantan jenderal di Angkatan Darat. Demikian juga dengan provinsi lain, dan bahkan juga kabupaten dan kota, yang banyak diisi jabatan kepala daerahnya oleh mantan perwira tentara. ABRI juga memiliki fraksi ABRI di DPR dan MPR. Anggota fraksi ini dipilih dari kalangan ABRI, dan tidak dipilih oleh rakyat sebagaimana anggota DPR dan MPR lain. Dengan adanya Fraksi ABRI ini, tentara memiliki pengaruh besar dalam jalanya pemerintahan.
Dengan demikian, peranan ABRI pada masa pemerintahan Presiden Suharto atau masa Orde Baru adalah pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.