Perang Diponegoro atau yang disebut Perang Jawa merupakan perang yang terjadi dari 1825 hingga 1830. Perang ini merupakan salah satu perang yang besar bagi Belanda, dimana pihak Belanda kehilangan 8000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi (tentara sewaan Belanda), dan lebih dari 200.000 penduduk Jawa Tengah dan Yogyakarta meninggal. Peran sentral perang ini dipegang oleh Pangeran Diponegoro. Alasan pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda didasari berbagai sebab, diantaranya: karena Belanda ikut campur dalam urusan keraton Yogyakarta, bahkan untuk mengganti raja dan mengurusi kepemerintahan, harus mendapat izin dari pihak Belanda, adanya berbagai campur tangan Belanda menyebabkan rusaknya adat istiadat Yogyakarta dan melemahnya kehidupan beragama, sedangkan diketahuhi bahwa Pangeran Diponegoro merupakan sosok yang sangat religius, tegas, dan berjiwa jihad yang tinggi, kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya, akibat Belanda rakyat yang semakin menderita karena banyaknya pajak yang harus dibayar, seperti pajak hasil bumi, pajak jalan, pajak ternak, pajak jembatan, pajak pasar, pajak kepala, pajak dagangan, serta pajak tanah, tindakan Belanda yang melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat, salah satunya dengan memasang patok-patok pembuatan jalan yang secara sengaja mengenai makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Dengan demikian, Pangeran Diponegoro, melakukan perlawanan terhadap Belanda karena Belanda ikut campur dalam urusan Keraton Yogyakarta, rusaknya adat istiadat Yogyakarta karena campur tangan Belanda, melemahnya kehidupan beragama, kaum bangsawan yang merugi besar karena sebagian besar sumber penghasilan mereka diambil alih oleh Belanda, rakyat semakin menderita dengan banyaknya tuntutan pajak yang harus dibayarkan ke Belanda, dan tindakan Belanda yang melecehkan harga diri serta nilai-nilai kebudayaan masyarakat