Diketahui bahwa penyelesaian masalah Irian Barat berlangsung cukup panjang, dimulai dari KMB hingga diadakannya Perjanjian New York tahun 1962. Dalam menyelesaikan masalah ini, Indonesia menempuh cara diplomasi dan cara konfrontasi. Dalam jalur diplomasi, Indonesia menempuh berbagai upaya salah satunya melalui forum Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Pada kesempatan itu Indonesia memanfaatkan moment KAA untuk mencari dukungan dalam rangka membebaskan Irian Barat.
Pada mulanya, Indonesia dengan sengaja tidak mencantumkan agenda pembahasan Irian Barat dalam agenda konferensi. Presiden Sukarno pun bahkan dalam pidato pembukaannya tidak menyebut sepatah katapun tentang Irian Barat. Begitu juga Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Sebab, Indonesia menghindarkan kesan seakan-akan sebagai sponsor, pengatur, dan tuan rumah KAA bermaksud mempergunakan forum KAA untuk kepentingan sendiri. Indonesia yakin sepenuhnya soal Irian Barat pasti akan dikemukakan oleh negara lain.
Pembahasan mengenai Irian Barat dibuka oleh delegasi asal Suriah dalam sidang tertutup Komite Politik KAA yang berlangsung di Gedung Dwi Warna. Ialah yang mengungkap soal Irian Barat ke dalam forum. Meski sempat melalui diskusi yang hangat, akhirnya seluruh delegasi sepakat mendukung penyelesaian soal Irian Barat. Sesudah pembicaraan soal Palestina pada Rabu, 20 April 1955, hari berikutnya Kamis, 21 April 1955 dalam sidang Komite Politik mengemuka pertukaran pendapat yang membahas Afrika Utara dan Irian Barat. Pada akhirnya pembahasan mengenai Irian Barat dalam KAA menghasilkan keputusan, yakni dukungan terhadap Indonesia dalam kasus Irian Barat dan mendesak pemerintah Belanda untuk membuka perundingan secepat mungkin. Hal ini menjadi dukungan moral bagi Indonesia dalam menyelesaikan permasalah mengenai Irian Barat.
Dengan demikian, perjuangan pembebasan Irian Barat melalui jalur diplomasi dalam Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung tahun 1955 untuk mencari dukungan internasional dalam membebaskan Irian Barat.