Iklan

Iklan

Pertanyaan

Perhatikan teks berikut! Cerita Bambu Runcing dan Simbol Digdaya Senjata Perjuangan Dua batang bambu runcingterpasang melintang di salah satu sudut area pamer di Ruang Senjata Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Bambu runcing itu merupakan bagian pameran dari senjata tradisional yang dipergunakan pejuang pada perang kemerdekaan Indonesia kurun waktu 1945-1949. Perjuangan mengusir penjajah dari Indonesia menggunakan Bambu Runcing pun menjadi sebuah frasa yang kerap diperdengarkan kembali saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia saban 17 Agustus. Sejumlah kota, termasuk Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan pun menjadikan Bambu Runcing sebagai monumen tanda perjuangan di wilayah tersebut. Monumen Bambu Runcing yang tegak di Surabaya itu terdapat di jantung kota, yakni Jalan Panglima Sudirman. Monumen atau tugu bambu runcing untuk mengenang perjuangan kemerdekaan pun dapat ditemukan di sejumlah kota di Indonesia seperti di Bekasi, Sleman, hingga Pontianak. 'Semangat rela berkorban jiwa dan raga juga ditunjukkan tanpa gentar dan ragu saat para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing harus berhadapan dengan tentara penjajah yang memiliki persenjataan modern,' tulis Jenderal TNI Mulyono dalam tajuk Imunitas Bangsa, Pengawal Sejarah Indonesia saat menjabat Kepala Staf Angkatan Darat pada 2 Oktober 2017 seperti dikutip dari situs resmi TNI AD. Lebih lanjut, CNN Indonesia.com, mencoba mengonfirmasi perihal sejarah bambu runcing ini ke Pusat Sejarah TNI. Namun, setelah melalui surat permohonan wawancara, maupun lewat telepon dan bertemu langsung (door stop) tak mendapatkan jawaban hingga tulisan ini dibuat. Dari berbagai literatur, diketahui bambu runcing sebagai senjata dikenal masyarakat sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Salah satunya dalam buku Sejarah Tentara : Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia (2011) yang ditulis Petrik Matanasi. Semakin terdesaknya dalam Perang Pasifik membuat Markas Besar Militer Kekaisaran Jepang mengeluarkan instruksi untuk memberdayakan pemuda di daerah kependudukan pada 1943. Pelatihan bagi para pemuda itu pun dilakukan menyeluruh terhadap mereka yang sehat dan berusia antara 16-25 tahun. Kemudian dikenallah tentara gemblengan Jepang itu dengan nama Keibodan, PETA, Gyugun, Heiho. Ada pula kelompok paramiliter dari kalangan Islam yang dilatih pada masa kependudukan Jepang yakni Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Sejarawan asal Universitas Padjadjaran Widyo Nugrahanto pun menyampaikan demikian. Ia mengatakan bambu runcing diperkenalkan Jepang yang memberikan pelatihan militer kepada masyarakat Indonesia untuk mengatasi desakan dalam Perang Dunia II di daerah kependudukan mereka. "Karena keterbatasan senapan saat itu, sedangkan yang dilatih banyak sekali, terus digunakanlah bambu runcing, itu jadi seperti massal diajarkan berperang menggunakan bambu runcing gitu," ujar Widyo kepada CNNIndonesia.com, Senin (12/8). Bahkan, sambung Widyo, saat itu Jepang pun mengajarkan bagaimana cara memilih bambu yang bagus untuk digunakan sebagai senjata. Widyo menyatakan, dalam pelatihan itu, penggunaan bambu runcing mirip dengan cara penggunaan bayonet atau pisau yang kerap dipasang pada ujung laras senapan. Bayonet diketahui kerap digunakan saat pertarungan jarak dekat, di mana sulit untuk mengokang senjata. "Gerakannya hampir sama, bambu runcing [dengan bayonet] itu," ujar Widyo. Secara terpisah, hal senada diungkap peneliti sejarah kolonialisme dan Indonesia modern, Andi Achdian. Ia menuturkan kala itu Jepang membentuk sejumlah organisasi semimiliter untuk bertugas menjaga keamanan wilayahnya sehingga memang tak dibekali dengan senjata. "Awalnya orang memang dilatih semi militer tanpa senjata, [jadi] dengan bambu runcing itu," ucap pria yang tercatat sebagai bagian dari dewan eksekutif Masyarakat Sejarawan Indonesia tersebut. Penggunaan bambu runcing sebagai sebuah senjata perang, menurut Andi mulai banyak dilakukan saat perang kemerdekaan, termasuk oleh Laskar Hizbullah yang berasal dari santri-santri di pondok pesantren yang juga turut ikut dalam pertempuran di Surabaya. Terkait hal tersebut, Menteri Agama pada masa Kepresidenan Sukarno, Saifuddin Zuhri pun mengonfirmasi penggunaan bambu runcing oleh Laskar Hizbullah. Kesaksian itu diberikan pria yang menjadi Komandan Hizbullah Jateng pada masa kemerdekaan itu dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren. Perihal bambu runcing itu muncul dalam dialog antara Saifuddin Zuhri dengan Mu'awwam, salah satu pemimpin Hizbullah juga yang ditemuinya di Stasiun Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Mu'awwam menjelaskan kepada Saifuddin bahwa pemuda Hizbullah kini telah memiliki senjata api setelah merebut gudang senjata Jepang. '..."Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?" aku [Saifuddin] menanya. "Ya, dengan bambu runcing!" jawabnya. "Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad mati syahid!",' demikian dikutip dari buku otobiografi Saifuddin tersebut. Sumber: CNNIndonesia.com Nilai positif yang bisa diambil dari narasi di atas dalam kaitannya dengan perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan adalah ….

Perhatikan teks berikut!
 

Cerita Bambu Runcing dan Simbol Digdaya Senjata Perjuangan

    Dua batang bambu runcing terpasang melintang di salah satu sudut area pamer di Ruang Senjata Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Bambu runcing itu merupakan bagian pameran dari senjata tradisional yang dipergunakan pejuang pada perang kemerdekaan Indonesia kurun waktu 1945-1949. Perjuangan mengusir penjajah dari Indonesia menggunakan Bambu Runcing pun menjadi sebuah frasa yang kerap diperdengarkan kembali saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia saban 17 Agustus.

    Sejumlah kota, termasuk Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan pun menjadikan Bambu Runcing sebagai monumen tanda perjuangan di wilayah tersebut. Monumen Bambu Runcing yang tegak di Surabaya itu terdapat di jantung kota, yakni Jalan Panglima Sudirman.

    Monumen atau tugu bambu runcing untuk mengenang perjuangan kemerdekaan pun dapat ditemukan di sejumlah kota di Indonesia seperti di Bekasi, Sleman, hingga Pontianak.

    'Semangat rela berkorban jiwa dan raga juga ditunjukkan tanpa gentar dan ragu saat para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing harus berhadapan dengan tentara penjajah yang memiliki persenjataan modern,' tulis Jenderal TNI Mulyono dalam tajuk Imunitas Bangsa, Pengawal Sejarah Indonesia saat menjabat Kepala Staf Angkatan Darat pada 2 Oktober 2017 seperti dikutip dari situs resmi TNI AD.

    Lebih lanjut, CNN Indonesia.com, mencoba mengonfirmasi perihal sejarah bambu runcing ini ke Pusat Sejarah TNI. Namun, setelah melalui surat permohonan wawancara, maupun lewat telepon dan bertemu langsung (door stop) tak mendapatkan jawaban hingga tulisan ini dibuat. Dari berbagai literatur, diketahui bambu runcing sebagai senjata dikenal masyarakat sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Salah satunya dalam buku Sejarah Tentara : Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia (2011) yang ditulis Petrik Matanasi.

    Semakin terdesaknya dalam Perang Pasifik membuat Markas Besar Militer Kekaisaran Jepang mengeluarkan instruksi untuk memberdayakan pemuda di daerah kependudukan pada 1943. Pelatihan bagi para pemuda itu pun dilakukan menyeluruh terhadap mereka yang sehat dan berusia antara 16-25 tahun. Kemudian dikenallah tentara gemblengan Jepang itu dengan nama Keibodan, PETA, Gyugun, Heiho. Ada pula kelompok paramiliter dari kalangan Islam yang dilatih pada masa kependudukan Jepang yakni Laskar Sabilillah dan Hizbullah.

    Sejarawan asal Universitas Padjadjaran Widyo Nugrahanto pun menyampaikan demikian. Ia mengatakan bambu runcing diperkenalkan Jepang yang memberikan pelatihan militer kepada masyarakat Indonesia untuk mengatasi desakan dalam Perang Dunia II di daerah kependudukan mereka.

    "Karena keterbatasan senapan saat itu, sedangkan yang dilatih banyak sekali, terus digunakanlah bambu runcing, itu jadi seperti massal diajarkan berperang menggunakan bambu runcing gitu," ujar Widyo kepada CNNIndonesia.com, Senin (12/8). Bahkan, sambung Widyo, saat itu Jepang pun mengajarkan bagaimana cara memilih bambu yang bagus untuk digunakan sebagai senjata. Widyo menyatakan, dalam pelatihan itu, penggunaan bambu runcing mirip dengan cara penggunaan bayonet atau pisau yang kerap dipasang pada ujung laras senapan. Bayonet diketahui kerap digunakan saat pertarungan jarak dekat, di mana sulit untuk mengokang senjata.

    "Gerakannya hampir sama, bambu runcing [dengan bayonet] itu," ujar Widyo.

    Secara terpisah, hal senada diungkap peneliti sejarah kolonialisme dan Indonesia modern, Andi Achdian. Ia menuturkan kala itu Jepang membentuk sejumlah organisasi semimiliter untuk bertugas menjaga keamanan wilayahnya sehingga memang tak dibekali dengan senjata.

    "Awalnya orang memang dilatih semi militer tanpa senjata, [jadi] dengan bambu runcing itu," ucap pria yang tercatat sebagai bagian dari dewan eksekutif Masyarakat Sejarawan Indonesia tersebut.

    Penggunaan bambu runcing sebagai sebuah senjata perang, menurut Andi mulai banyak dilakukan saat perang kemerdekaan, termasuk oleh Laskar Hizbullah yang berasal dari santri-santri di pondok pesantren yang juga turut ikut dalam pertempuran di Surabaya. Terkait hal tersebut, Menteri Agama pada masa Kepresidenan Sukarno, Saifuddin Zuhri pun mengonfirmasi penggunaan bambu runcing oleh Laskar Hizbullah. Kesaksian itu diberikan pria yang menjadi Komandan Hizbullah Jateng pada masa kemerdekaan itu dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren. Perihal bambu runcing itu muncul dalam dialog antara Saifuddin Zuhri dengan Mu'awwam, salah satu pemimpin Hizbullah juga yang ditemuinya di Stasiun Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Mu'awwam menjelaskan kepada Saifuddin bahwa pemuda Hizbullah kini telah memiliki senjata api setelah merebut gudang senjata Jepang.

    '..."Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?" aku [Saifuddin] menanya. "Ya, dengan bambu runcing!" jawabnya. "Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad mati syahid!",' demikian dikutip dari buku otobiografi Saifuddin tersebut.

Sumber: CNNIndonesia.com
 

Nilai positif yang bisa diambil dari narasi di atas dalam kaitannya dengan perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan adalah ….  

  1. keberanian dan sikap kompromi merupakan dua hal penting yang menjadikan bangsa Indonesia merdeka dan berdaulat penuh undefined 

  2. efektivitas dan efisiensi adalah dua hal prinsip yang dilakukan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari penjajah undefined 

  3. kecanggihan dan kesakralan niat adalah kunci penting bangsa Indonesia sukses membawa Indonesia merdeka dari penjajah undefined 

  4. kesederhanan persenjataan dan modernitas logistik perang merupakan kunci sukses bangsa Indonesia mengurung para penjajah undefined 

  5. kesederhanaan dan kesungguhan adalah kunci sukses bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari belenggu penjajah undefined 

Iklan

M. Zulfikar

Master Teacher

Jawaban terverifikasi

Jawaban

jawaban yang tepat adalah E.

jawaban yang tepat adalah E. undefined 

Iklan

Pembahasan

Berdasarkan teks di atas, didapat sebuah fakta bahwa dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraih dengan susah payah bangsa Indonesia kerap menggunakan media sederhana seperti bambu runcing. Menggunakan barang sederhana semisal bambu runcing dalam sejarahnya ternyata bukan penghalang bagi bangsa Indonesia untuk terus mengobarkan semangat perlawanan melawan pihak-pihak yang mencoba mengusik kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Sejarah bahkan mencatat dengan tinta emas bahwa dengan berbekal persenjataan sederhana di atas bangsa Indonesia sukses menjadi bangsa petarung yang pantang menyerah terhadap setiap ancaman dan serangan penjajah sehingga Indonesia sukses mempertahankan kemerdekaan. Kesederhanaan dan kesungguhan untuk mempertahankan kemerdekaan adalah kunci sukses bangsa Indonesia mempertahankan kedaulatannya. Jadi, jawaban yang tepat adalah E.

Berdasarkan teks di atas, didapat sebuah fakta bahwa dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraih dengan susah payah bangsa Indonesia kerap menggunakan media sederhana seperti bambu runcing. Menggunakan barang sederhana semisal bambu runcing dalam sejarahnya ternyata bukan penghalang bagi bangsa Indonesia untuk terus mengobarkan semangat perlawanan melawan pihak-pihak yang mencoba mengusik kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Sejarah bahkan mencatat dengan tinta emas bahwa dengan berbekal persenjataan sederhana di atas bangsa Indonesia sukses menjadi bangsa petarung yang pantang menyerah terhadap setiap ancaman dan serangan penjajah sehingga Indonesia sukses mempertahankan kemerdekaan. Kesederhanaan dan kesungguhan untuk mempertahankan kemerdekaan adalah kunci sukses bangsa Indonesia mempertahankan kedaulatannya.  

Jadi, jawaban yang tepat adalah E. undefined 

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

3

Iklan

Iklan

Pertanyaan serupa

Perhatikan wacana di bawah ini! Dalam kunjungannya ke Indonesia pada 9-13 Maret 2020, dengan posisi berdiri di samping Presiden Joko Widodo dan menghadap ke publik yang hadir Raja Belanda Willem ...

1

0.0

Jawaban terverifikasi

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

Coba GRATIS Aplikasi Roboguru

Coba GRATIS Aplikasi Ruangguru

Download di Google PlayDownload di AppstoreDownload di App Gallery

Produk Ruangguru

Hubungi Kami

Ruangguru WhatsApp

+62 815-7441-0000

Email info@ruangguru.com

[email protected]

Contact 02140008000

02140008000

Ikuti Kami

©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia