Kabinet Natsir merupakan kabinet pertama pada masa Demokrasi Liberal yang bekerja mulai 6 September 1950 – 21 Maret 1951. Kabinet tersebut dipimpin oleh Perdana Menteri yang bernama Mohammad Natsir dari partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sementara wakilnya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari independen. Terdapat 18 posisi menteri dalam kabinet ini dan Masyumi yang mendominasi kabinet dengan 4 kursi termasuk posisi Perdana Menteri.
Beberapa program kerja kabinet Natsir yang terkenal adalah: pendaftaran Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), persiapan penyelenggaraan pemilihan umum, dan pelaksanaan program ekonomi bernama Gerakan Benteng. Natsir menginginkan kabinet yang dipimpinnya bersifat nasionalis dengan koalisi dari berbagai partai. Akan tetapi, keinginan Natsir tersebut tidak terlaksana karena terjadi perebutan kursi antara Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) di kabinet.
Pada masa Kabinet Natsir berjalan, banyak terjadi pemberontakan di Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Permasalahan terkait Irian Barat juga masih terus berlangsung dan belum ditemukan solusinya. Karena banyaknya masalah pemberontakan yang muncul, akhirnya pada 22 Januari 1951, parlemen Indonesia menyampaikan Mosi Tidak Percaya. Mosi tidak percaya tersebut diajukan oleh PNI melalui Hadikusumo agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1950 tentang Pemilihan Anggota Lembaga Perwakilan Daerah dan menggantinya dengan undang-undang baru yang lebih demokratis. Mosi Hadikusumo ini mendapat dukungan dari parlemen. Akhirnya, pada tanggal 21 Maret 1951, Kabinet Natsir mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
Dengan demikian, Kabinet Natsir harus menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno karena mendapat mosi tidak percaya dari Hadikusumo yang berasal dari PNI.