Iklan

Iklan

Pertanyaan

Latar belakang Agresi Militer Belanda II antara lain…. Pertentangan politik internal RI akibat Persetujuan Renville Rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan perang Pemberontakan PKI Madiun Serangan Umum 1 Maret

Latar belakang Agresi Militer Belanda II antara lain….

  1. Pertentangan politik internal RI akibat Persetujuan Renville
  2. Rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan perang
  3. Pemberontakan PKI Madiun
  4. Serangan Umum 1 Maret

Iklan

N. Puspita

Master Teacher

Jawaban terverifikasi

Iklan

Pembahasan

Pembahasan
lock

Hasil Perjanjian Renville mengundang reaksi keras, baik dari rakyat Indonesia, politikus , maupun TNI. Pasalnya, dengan perjanjian ini, wilayah Indonesia menjadi semakin sempit, hanya “sebesar daun lontar” mengutip istilah Letjen Soedirman. Pemerintah di nilai gagal dalam perjuangan diplomasi. Wilayah yang semakin sempit mempersulit posisi Indonesia baik secara ekonomi maupun politik dan militer. Dari segi ekonomi, perjanjian ini membuat semua kota besar termasuk pusat-pusat produksi dan perdagangan utama berada di tangan Belanda. Indonesia pun terkepung atau terblokade secara ekonomi. Sementara itu, bagi TNI hasil perundingan ini telah mengakibatkan mereka terpaksa meninggalkan sejumlah wilayah pertahanan yang telah di bangun dengan susah payah. Di partai-partai besar seperti Masyumi dan PNI mereka menentang keras hasil Perundingan Renville ini. Masyumi yang merupakan pendukung utama kabinet, menarik kembali menteri-menterinya. Tindakan ini diambil karena masyumi berpendapat bahwa Amir Syarifuddin menerima begitu saja persetujuan tersebut atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari KTN. Tindakan Masyumi ini diikuti oleh PNI. Sebagai hasil sidang Dewan partai tanggal 18 januari 1948, PNI menuntut supaya kabinet Amir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville karena persetujuan itu tidak menjamin dengan tegas kelanjutan dan kedudukan Republik. Hingga akhir perdana menteri Amir Syarifuddin pun menyerahkan kembali mandat kepada Presiden Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948. Sementara itu, Belanda terus mewujudkan rencananya membangun negara-negara boneka di daerah-daerah yang didudukinya. Para tokoh dari negara-negara tersebut dihimpun dalam sebuah organisasi yang diberi nama BFO atau sebuah badan organisasi untuk kegiatan pertemuan dan musyawarah federal. Di sisi lain, dari Yogyakarta, rakyat pemerintah, dan TNI bersatu aktif melancarkan serangan gerilya ke wilayah yang dikuasai Belanda. Serangan ini dilakukan karena adanya kekhawatiran bahwa Belanda berniat menguasai sepenuhnya wilayah Indonesia. Saat ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville, ketegangan yang tiada berakhir ini menjadi awal dari Agresi Militer Belanda 2. Sementara, sebelum itu keadaan di dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu Republik melawan komunisme. Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI, Belanda sudah siap menyerang. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai. Berdasarkan penjelasan di atas maka jawabannya adalah yang ditunjukkan oleh nomer 1 dan 3 karena di awali dengan adanya pertentangan politik internal RI akibat Perjanjian Renville yang mengundang banyak reaksi keras dan adanya pemberontakan PKI yang membuat pasukan-pasukan Republik kelelahan dan belum beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI, hal itu membuat situasi kemanan di Jawa semakin memburuk sehingga Belanda berhasil mengepung Kota Yogyakarta.

Hasil Perjanjian Renville mengundang reaksi keras, baik dari rakyat Indonesia, politikus , maupun TNI. Pasalnya, dengan perjanjian ini, wilayah Indonesia menjadi semakin sempit, hanya “sebesar daun lontar”  mengutip istilah Letjen Soedirman. Pemerintah di nilai gagal dalam perjuangan diplomasi. Wilayah yang semakin sempit mempersulit posisi Indonesia baik secara ekonomi maupun politik dan militer. Dari segi ekonomi, perjanjian ini membuat semua kota besar termasuk pusat-pusat produksi dan perdagangan utama berada di tangan Belanda. Indonesia pun terkepung atau terblokade secara ekonomi. Sementara  itu, bagi TNI hasil perundingan ini telah mengakibatkan mereka terpaksa meninggalkan sejumlah wilayah pertahanan yang telah di bangun dengan susah payah. Di partai-partai besar seperti Masyumi dan PNI mereka menentang keras hasil Perundingan Renville ini. Masyumi yang merupakan pendukung utama kabinet, menarik kembali menteri-menterinya. Tindakan ini diambil karena masyumi berpendapat bahwa Amir Syarifuddin menerima begitu saja persetujuan tersebut atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari KTN. Tindakan Masyumi ini diikuti oleh PNI.

Sebagai hasil sidang Dewan partai tanggal 18 januari 1948, PNI menuntut supaya kabinet Amir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville karena persetujuan itu tidak menjamin dengan tegas kelanjutan dan kedudukan Republik. Hingga akhir perdana menteri Amir Syarifuddin pun menyerahkan kembali mandat kepada Presiden Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948. Sementara itu, Belanda terus mewujudkan rencananya membangun negara-negara boneka di daerah-daerah yang didudukinya. Para tokoh dari negara-negara tersebut dihimpun dalam sebuah organisasi yang diberi nama BFO atau sebuah badan organisasi untuk kegiatan pertemuan dan musyawarah federal.

Di sisi lain, dari Yogyakarta, rakyat pemerintah, dan TNI bersatu aktif melancarkan serangan gerilya ke wilayah yang dikuasai Belanda. Serangan ini dilakukan karena adanya kekhawatiran bahwa Belanda berniat menguasai sepenuhnya wilayah Indonesia. Saat ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan  yang  tidak  menghormati  hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville, ketegangan yang tiada berakhir ini menjadi awal dari Agresi Militer Belanda 2. Sementara, sebelum itu keadaan di dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926.

Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu Republik melawan komunisme. Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI, Belanda sudah siap menyerang. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan  penting  di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.

Berdasarkan penjelasan di atas maka jawabannya adalah yang ditunjukkan oleh nomer 1 dan 3 karena di awali dengan adanya pertentangan politik internal RI akibat Perjanjian Renville yang mengundang banyak reaksi keras dan adanya pemberontakan PKI yang membuat pasukan-pasukan Republik kelelahan dan belum beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI, hal itu membuat situasi kemanan di Jawa semakin memburuk sehingga Belanda berhasil mengepung Kota Yogyakarta.

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

59

Andar Andar

Makasih ❤️

Iklan

Iklan

Pertanyaan serupa

Perhatikan jargon berikut! Tokoh yang mencetuskan jargon tersebut adalah ....

6

5.0

Jawaban terverifikasi

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

Coba GRATIS Aplikasi Roboguru

Coba GRATIS Aplikasi Ruangguru

Download di Google PlayDownload di AppstoreDownload di App Gallery

Produk Ruangguru

Hubungi Kami

Ruangguru WhatsApp

+62 815-7441-0000

Email info@ruangguru.com

[email protected]

Contact 02140008000

02140008000

Ikuti Kami

©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia