Kesengsaraan dan kerugian rakyat pribumi akibat sistem tanam paksa (cultuurstelsel) memicu banyak kritik dan desakan dari kaum liberal di Belanda. Mereka mendesak agar Belanda memberikan sebuah balas budi kepada Hindia Belanda. Akhirnya, pada tahun 1901, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sebuah kebijakan yang dinamakan Politik Etis. Politik Etis merupakan sebuah kebijakan yang ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan kehidupan rakyat pribumi. Dalam politik ini, terdapat tiga program, yaitu irigasi (pengairan sawah), edukasi, dan migrasi.
Dalam program edukasi, pemerintah kolonial Belanda banyak membangun sekolah-sekolah untuk memperluas bidang pengajaran dan pendidikan. Sebelum dijalankannya politik etis, hanya 1.500 rakyat pribumi yang dapat sekolah dibandingkan 13.000 orang Eropa. Jumlah ini meningkat ketika Belanda memberlakukan politik etis yang ditunjukkan 75.000 rakyat pribumi telah menyelesaikan sekolah dasar Barat dan hampir 6.5000 sekolah menengah di tahun 1928. Namun, dalam praktiknya, program ini mengalami penyimpangan dengan terjadi diskriminasi pendidikan. Diskriminasi tersebut ditunjukkan melalui bentuk pendidikan dan sekolah yang berbeda antara anak-anak pegawai negeri dengan rakyat pribumi biasa.
Tindakan diskriminatif Belanda di bidang pendidikan membuat banyak rakyat merasa khawatir. Salah satunya dirasakan oleh Ki Hajar Dewantara. Untuk merespon tindakan tersebut, beliau mendirikan sekolah Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Berkat sekolah ini, akses pendidikan bagi semua kalangan mulai terbuka lebar. Sekolah Taman Siswa dengan cepat berkembang hingga mencapai 100 cabang dengan puluhan ribu murid di Pulau Jawa dalam kurun waktu delapan tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh Moh. Sjafei yang mendirikan sekolah Indonesische Nederlandsche School (INS) Kayu Tanam pada tahun 1926 di Sumatera Barat.
Jadi, rakyat Indonesia dalam merespons diskriminasi pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda pada awal abad 20 dilakukan dengan cara mendirikan berbagai sekolah alternatif seperti Sekolah Taman Siswa dan NIS Kayu Tanam.