Di awal berdiri, saat dipimpin Ken Arok sebagai raja, Singasari memiliki corak agama Hindu. Namun seiring waktu di saat pemerintahan Kertanegara, corak keagamaan mulai ada sinkretisme antara agama Hindu dan Budha. Sinkretisme tersebut menjadi bentuk Syiwa-Budha. Salah satunya adalah berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara merupakan penganut aliran Tantrayana ini.
Dalam Syiwa-Budha pemimpinnya mendapatkan jabatan dharmaddyaksa. Untuk agama yang dianut, Kertanegara menjalankan Upacara keagamaan secara pestapora sampai mabuk untuk mencapai kesempurnaan. Bahkan dalam hal ini Kartanegara menyebut dirinya Cangkandara yakni pimpinan dari semua agama. Urusan pada kerajaan Singasari sepenuhnya berada di tangan raja tanpa campur tangan pihak lain, karena anggapan raja merupakan perwujudan para dewa.
Berbeda dengan Singasari yang memusatkan dharmaddyaksa pada satu orang yakni Kertanegara. Jabatan serupa dalam Kerajaan Majapahit dibagi menjadi dua yakni untuk urusan agama Hindu disebut dharmmaddhyaksa ring kasaiwan, sedangkan jabatan untuk agama Buddha disebut dharmmaddhyaksa ring kasogatan. Kedua jabatan itu masih dibantu oleh para pejabat bawahannya yang disebut dharma upapati atau sang pamegat dengan jumlah yang sangat banyak.
Akan tetapi, di dalam prasasti-prasasti peninggalan Majapahit biasanya yang disebut paling banyak tujuh orang. Pada zaman Hayam Wuruk dikenal adanya tujuh upapati yang disebut sang upapati sapta. Ketujuh upapati itu adalah sang pamegat i tirwan, sang pamegat i kandamuhi, sang pamegat i manghuri, sang pamegat i pamwatan, sang pamegat i jambi, sang pamegat i kandangat atuha, dan sang pamegat i kandangan rare. Di samping jabatan tersebut, raja juga mempunyai suatu lembaga yang berfungsi sebagai dewan pertimbangan kerajaan. Dewan pertimbangan kerajaan itu disebut Bhatara Sapta Prabu.
Pada dasarnya pembagian urusan agama pada Kerajaan Majapahit memiliki kesamaan dengan Kerajaan Singasari. Hal ini tidak lepas dari latar historis kedua kerajaan tersebut, di mana Pendiri kerajaan Majapahit yakni Raden Wijaya merupakan menantu Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari yang melarikan diri tatkala terjadi penyerangan oleh Jaya Katwang. Keruntuhan Kerajaan Singasari menjadi penanda berdirinya Kerajaan Majapahit. Hubungan erat yang dimiliki ini menjadikan adanya penyerapan nilai-nilai dan tata kelola Kerajaan Singasari terhadap Kerajaan Majapahit. Sehingga, dalam urusan agama hampir sama, yang membedakan adalah pemegang urusan agama saja.
Dengan demikian, pejabat Kerajaan Singasari yang mengurus bidang keagamaan sepenuhnya berada di tangan Raja Kertanegara. Kerajaan singasari memiliki Hubungan erat dengan kerajaan majapahit yang menjadikan adanya penyerapan nilai-nilai dan tata kelola dalam urusan agama hampir sama, yang membedakan adalah pemegang urusan agama saja.