Wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur berbeda dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda karena wilayah ini dulu dikuasai opeh Portugis. Kemenangan Jepang atas Belanda pada 1942 mengubah situasi di Timor. Selain mengambil-alih wilayah Hindia Belanda, pasukan militer Dai Nippon juga merebut Timor Timur. Namun, setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Portugal kembali menduduki kawasan itu. Pada 1974, perubahan di Timor Timur mulai muncul seiring bergolaknya politik di Portugal. Revolusi Anyelir yang dimotori Movimento das Forças Armadas (MFA) atau Pergerakan Tentara Darat berhasil menumbangkan kekuasaan Perdana Menteri Portugal, Marcello Caetano. Selain itu, pergolakan ini juga berakibat pada penarikan militer Portugis dari beberapa wilayah jajahannya termasuk Angola, Cape Verde, Mozambik, serta Guinea Portugis di Afrika, hingga Timor Timur di Nusantara. Setelah Revolusi Anyelir di Portugal, Timor Timur terbelah menjadi tiga faksi, yakni Partai Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (Fretilin), dan Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti). UDT menginginkan Timor Timur tetap menjadi koloni Portugal, Fretilin menghendaki kemerdekaan, sedangkan Apodeti ingin agar Timor Timur bergabung dengan Indonesia. Namun, popularitas Apodeti kalah dari UDT maupun Fretilin. Persaingan sengit berlangsung antara UDT dan Fretilin untuk memperebutkan simpati masyarakat Timor Timur. UDT menuduh bahwa Fretilin akan membawa Timor Timur menjadi negara komunis. Perseteruan ini berujung pada konflik berdarah dan banyak warga Timor Timur yang mengungsi ke wilayah perbatasan dengan Indonesia. Di Indonesia, pemerintah Orde Baru yang dipimpin Soeharto sebagai Presiden RI merasa khawatir jika Timor Timur menjadi komunis dan menyebarkan paham tersebut sampai ke Indonesia. hal ini karena Fretilin yang berpaham komunis dan menginginkan kemerdekaan lebih diminati oleh sebagian besar rakyat Timor Timur. Soeharto kemudian menjalin komunikasi dengan Presiden Amerika Serikat kala itu, Gerald Rudolph Ford Jr., terkait hal tersebut. Pertemuan tersebut terungkap bahwa pemerintah AS secara sengaja membiarkan invasi militer Indonesia ke Timor Timur, invasi ini dikenal dengan Operasi Seroja yang dilakukan7 Desember 1975. Amerika Serikat juga menyuplai 90 persen senjata untuk militer Indonesia dalam upaya invasi tersebut. Akibat operasi ini Timor Timur berhasil dikuasai Indoneisa karena kekuatan Fretelin yang tidak memadai. Setengah tahun sejak itu, tepatnya 17 Juli 1976, Timor Timur sepenuhnya dikuasai dan resmi menjadi bagian dari NKRI sebagai provinsi ke-27.
Dengan demikan percepatan pemerintah Indonesia dalam proses integrasi Timor Timur hingga terjadi propinsi ke 27 dilalui dengan invasi militer yang dilakukan oleh Suharto karena ketakutan terhadap penyebaran komunisme yang mungkin akan dilakukan oleh Fretelin apabila berhasil memerdekakan Timor Timur.