Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product berawal pada tanggal 21 Juli 1947 dimana Van Mook menyampaikan pidato yang disiarkan radio, yang menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Linggarjati. Sementara itu, tentara Belanda ketika itu dalam kondisi siap dengan jumlah mencapai lebih dari 100.000 orang dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan Australia. Agresi ini berlangsung sejak tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 5 Agustus 1947.
Dewan Keamanan PBB merespon agresi ini dengan mengeluarkan resolusi untuk menghentikan konflik bersenjata serta membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang mewakili Belanda, dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Selanjutnya, KTN bertugas untuk melangsungkan perundingan yang disebut sebagai Perundingan Renville.
Dalam perundingan yang terlaksana pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas kapal Amerika Serikat USS Renville, salah satu hasil dari perundingan tersebut adalah Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Selain itu, disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, yaitu garis Van Mook. Hal ini membuat wilayah Republik Indonesia semakin menyempit.
Jadi, alasan mengapa setelah Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947 wilayah Republik Indonesia semakin sempit adalah karena Indonesia dan Belanda terikat dalam Perjanjian Renville yang terjadi setelah Agresi Militer Belanda I. Hasil dari perundingan ini adalah wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanyalah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra.