Konflik antara Banten dan VOC telah dimulai sejak awal abad ke-17. Namun, sejak tahun 1651, yaitu ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik takhta memimpin Banten, konflik diantara keduanya kian memanas akibat perlawanan keras yang dilakukannya terhadap VOC.
Di tengah situasi konflik, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perubahan sistem birokrasi, dimana menitahkan Sultan Haji menjadi orang yang mengurus masalah dalam negeri Banten. Terkait masalah dengan luar negeri merupakan urusan Sultan Ageng sendiri. Akan tetapi, perubahan ini justru membawa keuntungan kepada VOC dan berdampak buruk terhadap kelangsungan pemerintahan Banten. Hal tersebut dikarenakan VOC melakukan taktik adu domba, di mana terjadi suatu perjanjian pengkhianatan di antara Sultan Haji dan VOC.
Pada perjanjian tersebut, VOC berjanji akan membantu Sultan Haji untuk merebut kekuasaan Banten seutuhnya dan menjadi raja dengan imbalan Sultan Haji harus menandatangi perjanjian yang isinya bahwa Kesultanan Banten harus memberikan daerah Cirebon kepada VOC, monopoli lada di Banten diambil alih oleh VOC, dan pasukan Banten yang ada di pantai Priangan harus ditarik mundur. Hal ini tentunya merugikan Banten di kemudian hari karena secara tidak langsung kekuasaannya menjadi melemah akibat perjanjian tersebut.
Dengan demikian, dampak dari perubahan sistem birokrasi yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah melemahnya kekuasaan Banten karena adanya perjanjian antara Sultan Haji dan VOC yang membuat Banten kehilangan wilayah kekuasannya, maupun kekuasaannya terhadap perdagangan rempah-rempah.