Teks proklamasi yang dirancang Panitia Sembilan disetujui pada 22 Juni 1945, diberi nama 'Piagam Jakarta'. Nama Piagam Jakarta sendiri diusulkan Moh Yamin. Perselisihan dalam bentuk Piagam Jakarta itu salah satunya termuat dalam sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang diikuti kalimat yang berbunyi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Soekarno kemudian membacakan Piagam Jakarta tersebut pada 10 Juli 1945 pada sidang BPUPKI.
Sehari setelah pidato Soekarno itu, seorang Protestan anggota BPUPKI bernama Latuharhary menyatakan keberatan langsung atas tujuh kata di belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta. Beberapa orang anggota BPUPKI yang keberatan juga termasuk Wongsonegoro dan Hosein Djajadiningrat. Sementara Agus Salim melihatnya secara netral, walaupun cenderung mendukung Piagam Jakarta.
Akhirnya kesepakatan yang diambil adalah dengan melakukan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sehingga menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 itu terjadi dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'.
Sebelumnya pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti.
Penghapusan 'tujuh kata' dalam sila pertama Piagam Jakartaitu disebabkan adanya desakan dari anggota PPKI asal bagian Timur Indonesia. Jika 'tujuh kata' itu dicantumkan, pihak Kristen dari Indonesia bagian timur tidak mau bersatu dengan RI yang baru saja diproklamasikan. Wakil Indonesia Timur menilai kata-kata itu terkesan diskriminatif terhadap golongan minoritas.
Dengan demikian, jawaban yang paling benar adalah D.