Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam di ujung barat pulau Jawa, namun, sebelum menjelma menjadi Kesultanan Islam yang besar, sejatinya daerah ini merupakan wilayah vassal (bagian) dari pengaruh Kesultanan Cirebon dan Demak.
Penguasa Kesultanan Cirebon pada waktu itu, yakni Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1479-1568 masehi), dalam rangka untuk menyebarluaskan penyebaran agama Islam, termasuk salah satunya wilayah Banten yang merupakan bagian dari wilayah kekusaannya, beliau dibantu oleh putranya yang bernama Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinking. Pada tahun 1552, Sunan Gunung Jati menunjuk Maulana Hasanuddin untuk memimpin Banten dan menjadikan Surosowan Banten Lama (Banten Lor) sebagai pusat pemerintahannya, sehingga dalam perspektif kehidupan politik, Kesultanan Banten mulai berdiri pada tahun 1552, dengan Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinking sebagai sultan pertama.
Pada awalnya Kesultanan Banten yang berada di bawah pimpinan Sultan Maulana Hasanuddin sejak 1552 masehi, masih berada dalam pengaruh Kesultanan Cirebon, akan tetapi, setelah wafatnya Sunan Gunung Jati pada 1568 masehi, Maulana Hasanuddin mendeklarasikan diri sebagai kerajaan yang merdeka dan lepas dari pengaruh Kesultanan Cirebon ataupun Demak.
Di era kekuasaanya (1552-1570 masehi), Banten mencapai masa kejayaan awalnya. Berbagai pondasi keemasan seperti Keraton Surosowan dan proses penyebaran Islam, peletakan awalnya dilakukan oleh Maulana Hasanuddin hingga di era-era berikutnya terutama di Masa Sultan Ageng Tirtayasa memerintah (1651-1683), Kesultanan Banten mengalami kejayaan yang pesat, terutama dalam perdagangan dan penyebaran Islam.
Jadi, secara kehidupan politik, terutama di awal pendirian, Kesultanan Banten merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon dan Demak, meski pada akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh keduanya dan berdiri sebagai kerajaan Islam yang berdaulat.