Pada 2 Syawal 1368 H bertepatan dengan 7 Agustus 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirdjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakannya dikenal dengan nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DII/TII. Kartosoewirdjo yang ikut dalam perang kemerdekaan kecewa atas sikap pemerintah Indonesia yang mau menerima hasil perjanjian Renville tahun 1948. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Selain itu TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Setelah perang kemerdekaan melawan Belanda selesai, maka fokus pemerintah adalah menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah.
Di Jawa Barat pemerintah menempuh jalur damai dengan dengan membentuk komite yang dipimpin oleh Moh. Natsir, namun usaha tersebut gagal. Sehingga pemerintah menempuh jalur militer dengan membentuk operasi militer yang dinamakan Operasi Bharatayudha, Kartosuwiryo selaku pemimpinpun akhirnya tertangkap di Gunung Salak, Majalaya pada 4 Juni 1962. Kemudian di Jawa Tengah pemerintah melakukan operasi militer dengan membentuk pasukan khusus yang diberi nama Banteng Raiders. Penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan pemerintah melancarkan operasi militer dengan mengirimkan pasukan dari Devisi Siliwangi. Penumpasan DI/TII di Aceh dilakukan dengan cara damai atas inisiatif Kolonel Yasin dengan mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berlangsung pada tanggal 17-21 Desember 1962. Dan penumpasan DI/TII di Kalimantan Selatan dapat di selesaikan dengan jalan damai dan operasi militer. Tahun 1963, pasukan Ibnu Hajar dapat ditumpas, dan Ibnu Hajar dijatuhi hukuman mati.
Dengan demikian, penyelesaian pemberontakan Darul Islam (DI) di berbagai daerah di Indonesia yakni di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan ditempuh dengan dua cara yakni damai dengan perjanjian atau diplomasi dan militer dengan melakukan operasi militer pada setiap daerah sehingga pemberontakan DI/TII dapat ditumpas dan diselesaikan.