Iklan

Iklan

Pertanyaan

Bacalah teks berikut ! [1] Rindu Ibu pada Bumi Cerpen: Ida Ahdiah Di awal musim gugur itu Ibu duduk di tepi jendela, menyaksikan daun-daun lepas dari tangkainya. Daun-daun yang telah berubah warnanya, kuning, merah, dan tembaga itu mendarat di atas rumput yang mengerut kedinginan. Bumi telah kehabisan kehangatannya. Sebentar lagi pohon-pohon itu kesepian, ditinggalkan daun-daun. Angin yang menderu-deru bersekutu dengan angkasa yang buram, tak bercahaya. Kulihat dua titik air bening di kedua sudut mata Ibu. ”Apakah Ibu tidak bahagia?” tanyaku. Ia membawa telapak tanganku ke pipinya yang basah dan hangat oleh air mata. ”Ibu hanya rindu pada bumi tempat ari-ari Ibu dikubur. Bumi yang sudah berulang-ulang kuceritakan padamu. Tidakkah kamu bosan, anak perempuanku?” Aku menggeleng. Aku senang melihat Ibu bahagia saat menceritakannya. Ibu rindu pada sebuah desa dengan sawah membentang, sambung-menyambung, menyundul bukit dan gunung. Harum padi yang siap dipanen, di bawah gerimis senja, kata Ibu, tak bisa dimasukkan ke dalam botol atau menjadi aroma tisu basah. Hanya bisa dinikmati masa lalunya, kala Ibu berjalan di pematang sawah dengan kaki telanjang, bertudung daun pisang. Lalu lembayung muncul di sela dua bukit, di langit sebelah selatan. [2] Sinar Mata Ibu Harris Effendi Thahar Tuhan punya kehendak lain. Tiba-tiba saja Rudi meninggal dalam waktu beberapa menit setelah mobilnya menghantam bus kota sewaktu menuju kantornya di pagi Senin yang naas itu. Agaknya Tuhan juga memperlihatkan kekuasaan-Nya. Rudi yang baru berusia empat puluhan dan paling bungsu dari tujuh bersaudara dipanggil paling awal olehNya. Kami semua terpukul, apalagi ibu. Padahal, seminggu sebelumnya, Rudi telah menyampaikan gagasannya kepada kami untuk memberikan hadiah istimewa di hari ulang tahun ibu yang ke-80 beberapa bulan lagi. Sejak kepergian Rudi, ibu sangat berubah. Pandangan matanya terlihat kosong. Ibu jadi pendiam dan amat perasa. Dan, ibu bisa tidak tidur semalaman jika siangnya tidak ada yang bersedia mengantarnya ke kuburan Rudi di bulan pertama setelah kepergian Rudi. Di bulan pertama itu, kalau hari tidak hujan, acara ziarah ke kubur itu menjadi wajib bagi ibu. Kami, mantu-mantu ibu, secara bergantian mengantar ibu ke pemakaman umum yang terletak di pinggir kota. Selain menangis dan berdoa di kubur Rudi, ibu bercakap-cakap dengan batu nisan. Gerombolan pengemis, petugas kebersihan pemakaman, dan penjual kembang seperti sudah menjadi langganan ibu. Untuk itu, kami selalu membekali ibu uang receh secukupnya. Soalnya ibu, hampir-hampir tidak mengenal lagi nilai mata uang. Ibu akan memberikan uang berapapun jika ada pengemis meminta, tidak peduli lembaran lima puluh ribuan atau seratus ribuan.“Ah, apakah artinya kertas-kertas itu. Lebih baik dikasihkan kepada orang yang lebih membutuhkannya,” jawab ibu ketika istri saya menyoal ibu setelah nekat memberikan uang lima puluh ribuan kepada pengemis buta di gerbang pemakaman. Nilai budaya yang terdapat pada kutipan cerpen [2] adalah….

Bacalah teks berikut !

[1] Rindu Ibu pada Bumi

Cerpen: Ida Ahdiah

Di awal musim gugur itu Ibu duduk di tepi jendela, menyaksikan daun-daun lepas dari tangkainya. Daun-daun yang telah berubah warnanya, kuning, merah, dan tembaga itu mendarat di atas rumput yang mengerut kedinginan. Bumi telah kehabisan kehangatannya. Sebentar lagi pohon-pohon itu kesepian, ditinggalkan daun-daun. Angin yang menderu-deru bersekutu dengan angkasa yang buram, tak bercahaya. Kulihat dua titik air bening di kedua sudut mata Ibu.

”Apakah Ibu tidak bahagia?” tanyaku.

Ia membawa telapak tanganku ke pipinya yang basah dan hangat oleh air mata.

”Ibu hanya rindu pada bumi tempat ari-ari Ibu dikubur. Bumi yang sudah berulang-ulang kuceritakan padamu. Tidakkah kamu bosan, anak perempuanku?”

Aku menggeleng. Aku senang melihat Ibu bahagia saat menceritakannya. Ibu rindu pada sebuah desa dengan sawah membentang, sambung-menyambung, menyundul bukit dan gunung. Harum padi yang siap dipanen, di bawah gerimis senja, kata Ibu, tak bisa dimasukkan ke dalam botol atau menjadi aroma tisu basah. Hanya bisa dinikmati masa lalunya, kala Ibu berjalan di pematang sawah dengan kaki telanjang, bertudung daun pisang. Lalu lembayung muncul di sela dua bukit, di langit sebelah selatan.

 

[2] Sinar Mata Ibu

Harris Effendi Thahar

Tuhan punya kehendak lain. Tiba-tiba saja Rudi meninggal dalam waktu beberapa menit setelah mobilnya menghantam bus kota sewaktu menuju kantornya di pagi Senin yang naas itu. Agaknya Tuhan juga memperlihatkan kekuasaan-Nya. Rudi yang baru berusia empat puluhan dan paling bungsu dari tujuh bersaudara dipanggil paling awal olehNya. Kami semua terpukul, apalagi ibu. Padahal, seminggu sebelumnya, Rudi telah menyampaikan gagasannya kepada kami untuk memberikan hadiah istimewa di hari ulang tahun ibu yang ke-80 beberapa bulan lagi.

Sejak kepergian Rudi, ibu sangat berubah. Pandangan matanya terlihat kosong. Ibu jadi pendiam dan amat perasa. Dan, ibu bisa tidak tidur semalaman jika siangnya tidak ada yang bersedia mengantarnya ke kuburan Rudi di bulan pertama setelah kepergian Rudi. Di bulan pertama itu, kalau hari tidak hujan, acara ziarah ke kubur itu menjadi wajib bagi ibu. Kami, mantu-mantu ibu, secara bergantian mengantar ibu ke pemakaman umum yang terletak di pinggir kota.

Selain menangis dan berdoa di kubur Rudi, ibu bercakap-cakap dengan batu nisan. Gerombolan pengemis, petugas kebersihan pemakaman, dan penjual kembang seperti sudah menjadi langganan ibu. Untuk itu, kami selalu membekali ibu uang receh secukupnya. Soalnya ibu, hampir-hampir tidak mengenal lagi nilai mata uang. Ibu akan memberikan uang berapapun jika ada pengemis meminta, tidak peduli lembaran lima puluh ribuan atau seratus ribuan.“Ah, apakah artinya kertas-kertas itu. Lebih baik dikasihkan kepada orang yang lebih membutuhkannya,” jawab ibu ketika istri saya menyoal ibu setelah nekat memberikan uang lima puluh ribuan kepada pengemis buta di gerbang pemakaman.

 

Nilai budaya yang terdapat pada kutipan cerpen [2] adalah….

  1. Tradisi menyantuni fakir miskin dan anak-anak telantar

  2. Ziarah kubur pada bulan pertama wafatnya anggota keluarga

  3. Upaya membersihan pekuburan keluarga setiap tahun

  4. Tradisi tabur bunga di makam jelang bulan Ramadhan

  5. Kesedihan yang dalam dari hati seorang ibu

Iklan

A. Rizky

Master Teacher

Mahasiswa/Alumni Universitas Indonesia

Jawaban terverifikasi

Iklan

Pembahasan

Nilai budaya yang tampak pada kutipan cerpen tersebut adalah ziarah kubur pada bulan pertama wafatnya anggota keluarga karena kegiatan itu adalah semacam kebiasaan yang sudah sering dilakukan masyarakat tertentu.

Nilai budaya yang tampak pada kutipan cerpen tersebut adalah ziarah kubur pada bulan pertama wafatnya anggota keluarga karena kegiatan itu adalah semacam kebiasaan yang sudah sering dilakukan masyarakat tertentu.

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

2

Iklan

Iklan

Pertanyaan serupa

Bacalah teks berikut ! [1] Rindu Ibu pada Bumi Cerpen: Ida Ahdiah Di awal musim gugur itu Ibu duduk di tepi jendela, menyaksikan daun-daun lepas dari tangkainya. Daun-daun yang telah berubah ...

1

0.0

Jawaban terverifikasi

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

Coba GRATIS Aplikasi Roboguru

Coba GRATIS Aplikasi Ruangguru

Download di Google PlayDownload di AppstoreDownload di App Gallery

Produk Ruangguru

Hubungi Kami

Ruangguru WhatsApp

+62 815-7441-0000

Email info@ruangguru.com

info@ruangguru.com

Contact 02140008000

02140008000

Ikuti Kami

©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia