Pada masa Orde Baru, kebijakan dan regulasi pers di Indonesia dikontrol dengan sangat ketat oleh pemerintah. Dewan Pers, yang seharusnya menjadi lembaga independen untuk mengawasi kebebasan dan etika jurnalistik, pada kenyataannya seringkali tidak bisa berfungsi dengan optimal karena tekanan dari pemerintah.
Berikut adalah analisis apakah Dewan Pers pada masa Orde Baru sesuai dengan kebijakan atau regulasi pers yang ada:
Fungsi Dewan Pers Sesuai Regulasi, tetapi Tidak Independen:
- Secara hukum, Dewan Pers didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang dimaksudkan untuk menjamin kebebasan pers dan meningkatkan kualitas jurnalisme di Indonesia. Namun, selama masa Orde Baru, fungsi Dewan Pers ini lebih banyak diarahkan dan dikontrol oleh pemerintah.
- Pemerintah Orde Baru menggunakan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagai alat kontrol terhadap media massa. Setiap media harus mendapatkan izin dari Departemen Penerangan, dan pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut izin ini kapan saja jika dianggap tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Hal ini membatasi peran Dewan Pers untuk melindungi kebebasan pers.
Kontrol Ketat Terhadap Media:
- Di bawah pemerintahan Orde Baru, ada regulasi yang memperkuat kontrol pemerintah atas pers. Salah satunya adalah UU No. 21 Tahun 1982 yang merupakan amandemen dari UU No. 11 Tahun 1966, yang memperketat pengawasan pemerintah terhadap pers. Dewan Pers tidak dapat menjalankan peran yang efektif dalam mengadvokasi kebebasan pers karena sangat tergantung pada pemerintah.
- Dewan Pers menjadi lebih sebagai alat pemerintah untuk mengontrol pers dibanding sebagai lembaga independen yang melindungi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Penerapan Sensor dan Pengawasan Media:
- Salah satu ciri utama pers pada masa Orde Baru adalah adanya sensor yang ketat dan pengawasan terhadap berita yang diterbitkan. Pemerintah menetapkan batasan yang sangat ketat terhadap isu-isu yang boleh dan tidak boleh diliput, terutama yang terkait dengan kritik terhadap pemerintah. Dewan Pers tidak memiliki kekuatan untuk menolak kebijakan sensor ini.
- Media yang mencoba melanggar aturan ini akan mendapatkan sanksi, termasuk pembekuan atau pencabutan SIUPP mereka, sebagaimana dialami oleh beberapa media yang ditutup pemerintah seperti Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994.
Kebijakan Pembangunan Versus Kebebasan Pers:
- Pada masa Orde Baru, kebijakan pers diarahkan untuk mendukung agenda pembangunan pemerintah. Media massa dijadikan alat untuk menyebarkan propaganda pemerintah mengenai keberhasilan pembangunan. Dewan Pers, yang seharusnya menjadi pelindung kebebasan jurnalistik, terpaksa berperan sebagai "pengawas" agar media tetap sejalan dengan narasi pembangunan yang diinginkan pemerintah.
- Walaupun sesuai dengan regulasi yang ada, pendekatan ini justru meredam suara kritis pers dan membuat Dewan Pers tidak bisa menjalankan fungsinya secara penuh.
Kepentingan Politik dan Keterlibatan Pemerintah:
- Pada masa Orde Baru, Dewan Pers terdiri dari anggota yang ditunjuk oleh pemerintah, sehingga ada konflik kepentingan yang menghalangi independensi lembaga ini. Banyak anggota Dewan Pers yang berasal dari kalangan birokrat dan tokoh yang loyal pada pemerintah, sehingga perannya lebih sebagai perpanjangan tangan penguasa untuk mengatur media, bukan untuk melindungi kebebasan pers.
Kesimpulan:
Dewan Pers pada masa Orde Baru tidak berfungsi secara independen dan tidak mampu melindungi kebebasan pers karena adanya kontrol ketat dari pemerintah. Walaupun Dewan Pers berjalan sesuai regulasi yang ada, regulasi-regulasi tersebut didesain untuk membatasi kebebasan pers dan mengutamakan kepentingan pemerintah, bukan kepentingan umum atau kebebasan berekspresi.
Pemerintah Orde Baru memanfaatkan Dewan Pers sebagai alat untuk mengekang kebebasan pers dan memastikan bahwa pers hanya meliput berita yang sesuai dengan kepentingan rezim. Dengan demikian, pers pada masa Orde Baru mengalami pengekangan yang signifikan dan tidak sesuai dengan prinsip kebebasan pers yang seharusnya dijamin oleh konstitusi.