Kyo.Shoma.And.Thoru.Honda K

07 Juli 2025 11:43

Iklan

Kyo.Shoma.And.Thoru.Honda K

07 Juli 2025 11:43

Pertanyaan

Guys tolong jawab dong👉🥺👈, Apa saja tugas tugas sel kita, mulai dari sel darah merah sampai semua sel, cari di buku juga boleh By. Abdul jabbar hon🚨🚑🗿

Guys tolong jawab dong👉🥺👈, Apa saja tugas tugas sel kita, mulai dari sel darah merah sampai semua sel, cari di buku juga boleh

By. Abdul jabbar hon🚨🚑🗿

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

02

:

09

:

48

:

24

Klaim

5

2


Iklan

Dian-YgKedua D

07 Juli 2025 11:46

<p><strong>Tugas sel adalah..🗿</strong></p><p>Sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh&nbsp;</p><p>Sel darah putih berperang melawan penyakit,kuman,dll</p><p>Dah sekian maaf salah 🥲&nbsp;</p><p>&nbsp;</p><p>&nbsp;</p><p><strong>🌻By:Dian🐩❤️‍🔥💐</strong></p>

Tugas sel adalah..🗿

Sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh 

Sel darah putih berperang melawan penyakit,kuman,dll

Dah sekian maaf salah 🥲 

 

 

🌻By:Dian🐩❤️‍🔥💐


Kyo.Shoma.And.Thoru.Honda K

07 Juli 2025 11:47

Ya allah baru 2 men

— Tampilkan 3 balasan lainnya

Iklan

Amalia S

07 Juli 2025 12:10

<p>Sel Darah Merah (Eritrosit): Berperan dalam mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.&nbsp;</p><p>Sel Darah Putih (Leukosit): Berperan dalam sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi.</p><p>&nbsp;Sel Saraf (Neuron): Berperan dalam mengirimkan informasi dan sinyal ke seluruh tubuh.&nbsp;</p><p>Sel Otot: Berperan dalam gerakan tubuh dan fungsi internal seperti pergerakan makanan di saluran pencernaan.&nbsp;</p><p>Sel Kulit (Epidermis): Berperan sebagai pelindung tubuh dari lingkungan luar.&nbsp;</p><p>Sel Lemak (Adiposa): Berperan dalam menyimpan energi dan sebagai bantalan untuk melindungi organ.&nbsp;</p><p>Sel Kelenjar: Berperan dalam memproduksi dan melepaskan berbagai zat seperti hormon dan enzim.&nbsp;</p><p>Sel Tulang (Osteosit, Osteoblas, Osteoklas): Berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan tulang.&nbsp;</p><p>Sel Sperma: Sel reproduksi laki-laki yang berperan dalam proses pembuahan.</p><p>Sel Telur: Sel reproduksi perempuan yang berperan dalam proses pembuahan.&nbsp;</p><p>Mohon maaf nyalin di google:))🙏</p>

Sel Darah Merah (Eritrosit): Berperan dalam mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. 

Sel Darah Putih (Leukosit): Berperan dalam sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi.

 Sel Saraf (Neuron): Berperan dalam mengirimkan informasi dan sinyal ke seluruh tubuh. 

Sel Otot: Berperan dalam gerakan tubuh dan fungsi internal seperti pergerakan makanan di saluran pencernaan. 

Sel Kulit (Epidermis): Berperan sebagai pelindung tubuh dari lingkungan luar. 

Sel Lemak (Adiposa): Berperan dalam menyimpan energi dan sebagai bantalan untuk melindungi organ. 

Sel Kelenjar: Berperan dalam memproduksi dan melepaskan berbagai zat seperti hormon dan enzim. 

Sel Tulang (Osteosit, Osteoblas, Osteoklas): Berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan tulang. 

Sel Sperma: Sel reproduksi laki-laki yang berperan dalam proses pembuahan.

Sel Telur: Sel reproduksi perempuan yang berperan dalam proses pembuahan. 

Mohon maaf nyalin di google:))🙏


Kyo.Shoma.And.Thoru.Honda K

08 Juli 2025 04:18

Ok makasih!😇

Mau jawaban yang terverifikasi?

Tanya ke AiRIS

Yuk, cobain chat dan belajar bareng AiRIS, teman pintarmu!

Chat AiRIS

Roboguru Plus

Dapatkan pembahasan soal ga pake lama, langsung dari Tutor!

Chat Tutor

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Bacalah teks cerpen berikut dengan saksama. Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang jika dipuji. Tetapi akhir-akhir ini, dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, "lni Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang." Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, " Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar, berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar." Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, "Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri." Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. "Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya." Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa jika mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek, dia belum berbuat jasa apa pun. lni yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya. Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan. Seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi. Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. ljazahnya hanya SMP dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. "Pesawat musuh pasti akan meledak, kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini," selalu demikian yang dibayangkan Mardanu. Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya, Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana. Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun, pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal. Ketika tersadar, Mardanu kecewa berat, mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andai kata itu peristiwa nyata, dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian, Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi i tu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi. Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun, Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun. Pagi ini, Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak, napasnya terdengar megap-megap. Namun, seperti biasa, dia mengajak Mardanu bercakap-cakap. "Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos," kata si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa. Selama jadi tentara belum pernah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun. Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos, Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya . Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Setelah itu, terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kasau emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya . Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya: mencecet, mengibaskan sayap, dan merentang ekor sambil melompat - lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun, mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. ltu tangan Manik, cucu perempuan. "ltu burung apa, Kek?" tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati. "Namanya burung kutilang. Bagus, kan?" Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan. "O, jadi itu burung kutilang , Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi . Nyanyi burung kutilang." "Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar." Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.yang masih duduk di taman kanak-kanak. Di pucuk pohon cempaka , burung kutilang bernyanyi ... Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan . Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi. Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik , dipeluk, dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana, Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga, terulang-ulang suara cucunya. Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi .... Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Setelah itu, perlahan-lahan dia berdiri mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar, dia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi setelah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia seperti bingung berhadapan dengan udara bebas, tetapi akhirnya burung itu terbang ke arah pepohonan. Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong. "Kek, di mana burung kutilang itu?" tanya Manik dengan mata membulat. "Sudah Kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan." "Kek, kenapa kutilang itu dilepas?" Mata Manik masih membulat. "Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu." Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak namun belum ada satu kata pun yang keluar. "Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek," Manik melompat-lompat gembira. Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. ltu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita. Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong. (Cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji" karya Ahmad Tohari dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018) Pada cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji", terdapat beberapa latar. Latar terdiri dari waktu, tempat, dan suasana. Rumah termasuk pada latar ... Sertakan kutipan dari cerita yang membuktikan latar tersebut.

8

0.0

Jawaban terverifikasi

Pelajaran-Pelajaran Para Pelaku: 1. Sang Pemuda 2. Sepuluh orang pemuda berpakaian seragam Panggung menggambarkan sebuah ruang yang luas, tidak ada perlengkapan apa-apa. Kekosongan ruang itu menampilkan suatu situasi: nganga yang menentang, nganga yang mencemooh, bahkan nganga yang menuntut suatu nilai yang bakal diberikan oleh para pemain nantinya. Situasi demikian itu menjadi sumber inspirasi munculnya para pemain nantinya. (Sepuluh orang pemuda, yang berpakaian seragam, masuk berbaris seperti tentara. Sesudah mereka berjalan di tempat, barisan itu memecah menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas lima orang. Satu kelompok menuju ke kanan, satunya menuju samping kiri. Secara bersama-sama mereka membungkuk. Secara bersama-sama pula mereka mengucapkan salam, "Selamat pagi, Pak. Selamat siang, Bu. Selamat sore semuanya." Kemudian mereka kembali menjadi statis, menampilkan kehadiran seperti patung-patung.) (Dua orang petugas perlengkapan masuk membawa sebuah knap, menempatkannya di tempat kedua kelompok manusia-manusia patung itu.) Pemuda : (Seorang pemuda dengan pakaian rapi, lengkap dengan sepatu yang rapi, dua bolpoin merah dan hitam di saku bajunya yang putih, masuk ke panggung dengan cara berjalan yang berlagak gagah. Ia menjinjing buku setumpuk, yaitu buku-buku pelajaran sekolah. Sesampainya di depan knap, ia menempatkan diri sejajar dengan kelompok itu, menghadang ke arah yang sama pula dengan mereka. Pemuda itu berdiri tegak dan tegap.) (Kedua kelompok manusia patung membungkuk bersama, sambil berkata secara bersama-sama pula, "Selamat pagi, Pak. Selamat siang, Bu. Selamat sorelah semuanya.") Pemuda : "Selamat pagi. Terima kasih." (Pemuda itu lalu menempatkan buku-bukunya di knap.) "Nah, sekarang mulai dengan pelajaran-pelajaran." (Kedua kelompok manusia patung lalu berjalan urut ke depan pemuda, kemudian duduk mendengarkan kata-katanya.) Pemuda : "Bagus. Terpujilah engkau generasi baru, yang dapat mewarisi disiplin yang baik." (Menatap arloji, mengerutkan dahi.) "Tepat saatnya kita ucapkan Panca Prasetia Siswa." (Kelompok manusia patung lalu berdiri dengan tegap. Salah seorang di antara mereka menghadap si Pemuda, menjadi wakil kelompok.) Pemuda: (Memberikan secarik kertas.) Wakil : (Menerima kertas tersebut, kemudian membacanya dengan keras.) "Satu: Kami siswa-siswa SMTA bersemangat satu, berkesetiaan satu, bercita-cita satu." Kelompok : (Menirukan) Wakil : "Dua: Kami siswa-siswa SMTA ber-Tuhan satu." Kelompok : (Menirukan) Wakil : "Tiga: Kami siswa-siswa SMTA bejalan pada rel satu." Kelompok : (Menirukan) Wakil : "Empat: Kami siswa-siswa SMTA berkepribadian satu." Kelompok : (Menirukan) Wakil : "Lima: Kami siswa-siswa SMTA adalah satu, dan bakal tetap menjadi satu." Kelompok : (Menirukan) Wakil : (Kembali ke barisannya) Pemuda : "Pelajaran yang kedua, kita mengenangkan dan merenungkan serta mendoakan arwah nenek moyang kita. Mulai ... cukup." (Pemuda memberi istirahat agar kelompok manusia patung duduk dengan tenang.) Pemuda : "Pelajaran ketiga untuk pagi ini adalah mengingat peraturan-peraturan sekolah kita. Satu: pakaian seragam, tidak boleh merokok, tidak boleh memakai narkoba, tidak boleh pacaran, tidak boleh membaca buku-buku porno, tidak boleh pakai sandal. Kedua: harus ada izin setiap tidak masuk, harus menghormati guru, harus menurut kata-kata guru. Ya?!" Kelompok : (Memandang sang Pemuda.) Pemuda : (Memberi aba-aba seperti seorang dirigen.) Kelompok : (Serentak) "Yaaaaaa." Pemuda : "Nah, ini namanya satu bahasa. Jadi, tidak dua bahasa." Kelompok : (Memandang Lagi kepada sang Pemuda.) Pemuda : (Memberi aba-aba) Kelompok : (Berkata bersama) "Bukaaaaan." Pemuda : "Hebat. Pelajaran Budi Pekerti dimulai. Semua telinga dipersiapkan." Kelompok : (Meraba-raba telinganya sendiri secara bersama-sama.) Pemuda : "Generasi kalian tengah mengalami dekadensi moral. Banyak yang ngebut, banyak yang merokok, banyak yang tidak disiplin. Oleh karena itu, kalian harus menjauhi mereka yang suka ngebut, agar kalian tidak kena pengaruh. Kalian harus berjalan di atas satu rel, agar sampai pada kebahagiaan, tidak hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat nanti. Mengapa begitu?" Kelompok : (Diam) Pemuda : "Mengapa?" Kelompok : (Berkata bersama) "Mengapa?" Pemuda : "Jadi kalian juga tidak mengerti bahwa begitu itu adalah, apa ... sebabnya ... a ... aa ... dekadensi moral, apa itu subversi kebudayaan ... ? Tidak ?" Kelompok : "Tidaaaak." Pemuda : "Bagus. Saya juga tidak mengerti itu. Kita punya buku-buku peraturan." (Mengambil buku yang teratas) "Di sini dikatakan bahwa di negara-negara Barat telah timbul dekadensi moral. Dan kita kena pengaruhnya." (Mengambil buku kedua) "Di sini dikatakan yang dimaksudkan orang-orang Hippies itu, bahwa mereka menunggu maut sambil menghabiskan waktunya." (Mengambil buku ketiga) "Di sini dikatakan, kita harus membangun. Dengar?" Kelompok : "Dengaaaar." Pemuda : "Ya, membangun." Kelompok : "Membanguuuun." Pemuda : "Membangun itu tidak hanya membangun gedung saja, tetapi juga membangun mental." Kelompok : "Mental." Pemuda : "Di samping bahaya dekadensi moral, ada lagi bahaya lain, ialah bahaya teroris." Kelompok : "Bahaya teroris." Pemuda : (Mengambil buku keempat) "Di sini dikatakan membendung bahaya itu. Dengan apa?" Kelompok : "Dengan apaaaa?" Pemuda : "Dengan apa?" Kelompok : "Dengan apaaaa?" Pemuda : "Saya bertanya." Kelompok : "Saya bertanya." Pemuda : "Dengan bertoleransi." Kelompok : "Dengan bertoleransi." Pemuda : "Hebat." Kelompok : "Hebaaaat." Pemuda : "Di samping itu, kita harus ingat sejarah Majapahit." Kelompok : "Majapahit." Pemuda : "Gajah Mada ." Kelompok : "Gajah Mada ." Pemuda : "Baik." Kelompok : "Baik." Pemuda : "Cukup." Kelompok : "Cukup." Pemuda : (Mengambil buku kelima) "Pelajaran lanjutannya. A, i, u, e, o." Kelompok : "A, i, u, e, o." Pemuda : "En , i, en , i, ... ni-ni." Kelompok : "En, i, en , i, ... ni-ni." Pemuda : "Bagus." Kelompok : "Bagus." Pemuda : (Menata buku) Kelompok : (Berdiri, berjalan ke samping kanan dan kiri, lalu berkata) "Selamat pagi, Pak. Selamat siang, Bu. Selamat sorelah semuanya." Pemuda : (Pergi membawa buku-buku.) (Dua orang petugas perlengkapan masuk, mengambil knap, membawanya pergi.) Kelompok berbaris berkeliling dua kali sambil berkata, "A, i, e, u, e, i, ni-ni. A, i, u, e, o, ni-ni." Mereka menuju ke luar panggung. Tinggal seorang yang masih berkeliling sendirian. Semakin lama dia berjalan semakin cepat, sambil terus berkata, "i, u, e, o, ni-ni." Ia berputar, berpusingan, lalu rebah. Sesaat kemudian ia bangkit, memandang berkeliling. Ruangan kosong menganga, menantang arti. Lalu ia berteriak lantang: "Siapa aku?" (Diadaptasi dari naskah drama "Pelajaran-Pelajaran " karya Bakdi Soemanto) 2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan benar! a. Adakah unsur satiris atau humor dalam drama tersebut? Jelaskan!

1

5.0

Jawaban terverifikasi

Iklan

Bacalah cerpen berikut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tepat. SECARIK SURAT Dalam sebuah perang besar-besaran yang tidak sempat dicatat oleh sejarah, seorang prajurit berpangkat paling rendah dengan tidak diduga tiba-tiba mendapat panggilan dari jenderal peperangan yang tertinggi. Tergopoh-gopoh prajurit itu menemui jenderal yang selama hidupnya belum pernah dilihat, tetapi sudah sering didengar nama dan keistimewaannya melalui cerita dari mulut ke mulut dan kuping ke kuping. Sebagaimana layaknya seorang bawahan yang paling rendah bertemu dengan seorang atasan yang paling tinggi dan sangat dihormati dan dikagumi, maka prajurit itu pun memberi hormat yang berlebih-lebihan sehingga untuk sekilas, jenderal tertinggi yang terlalu sering menerima sanjungan itu merasa kurang senang. Namun, seperti telah dinasihatkan oleh stafnya, maka jenderal itu pun segera terkesan oleh daya tarik prajurit yang kabarnya setia, terpercaya, dan cakap itu. Ketika prajurit itu melepas topinya yang tentu saja dilakukan atas perintah jenderal tertinggi itu, tampaklah rambutnya yang berombak mengilat, matanya yang hitam menyalakan sinar syahdu, hidungnya yang mancung seperti hidung jenderal itu sendiri, bibirnya yang indah, dan sorot wajahnya yang mengagumkan. Apalagi ketika prajurit terendah itu tersenyum yang tentu saja dilakukannya atas perintah jenderal tertinggi itu, amat memesona senyumnya. "Hai, Prajurit, untuk apakah kau ikut perang?" kata jenderal. "Tidak tahu, Jenderal," kata prajurit. "Saya kira karena dalam keadaan seperti ini mencari pekerjaan yang paling mudah adalah mencari pekerjaan sebagai prajurit. Lagi pula, saya masih muda dan merasa senang mendapat kesempatan untuk memanggul senapan dan sekali tempo menembakkan senapan untuk menunjukkan bahwa saya betul-betul jantan." "Tidakkah kau tahu bahwa perang ini dapatmenghancurkan seluruh umat manusia, Prajurit?" kata jenderal tertinggi. "Begitulah kata orang, Jenderal," kata prajurit terendah, "Tapi apakah itu urusan saya? Urusan saya adalah senang-senang dalam berperang, menembak musuh, memukuli musuh." "Tidakkah kau takut tertembak, cacat, mati, atau tersiksa bila engkau tertangkap musuh?" "Saya kira, saya masih muda, Jenderal," kata prajurit terendah. "Kesempatan untuk celaka semacam itu selalu dapat saya hindari. " "Dan, kalau kau menjadi tua dan perang belum juga selesai, bagaimana, Prajurit?" kata jenderal tertinggi. "Saya akan keluar menjadi prajurit, Jenderal," kata prajurit terendah. " Tidakkah kau tahu bahwa orang-orang yang tidak menjadi prajurit pun banyak yang hidup konyol dan mati konyol?" "Itu belum pernah saya pikirkan, Jenderal," kata prajurit terendah. Seseorang yang tidak dikenal oleh prajurit terendah itu masuk tergopohgopoh, lalu memberi hormat kepadajenderal tertinggi itu tergopoh-gopoh. Orang-orang lain berdiri, memagari jenderal tertinggi, lalu beberapa orang membisikkan kata-kata yang tidak dapat ditangkap oleh prajurit terendah. Jenderal yang paling tinggi itu berdiri, diikuti oleh yang lain-lain, lalu bergegas meninggalkan ruangan. Tinggallah prajurit yang paling rendah itu sendirian di dalam ruangan yang besar dan mewah itu. Perasaan kagum akan ruangan itu timbul pada diri prajurit terendah itu yang tidak pernah membayangkan bahwa di dunia ada ruangan sehebat ruangan itu. Begitu terkesiapnya prajurit itu sehingga jenderal tertinggi dan stafnya masuk, prajurit itu masih memandangi lukisan indah mengenai pertempuran sangkur yang terpacak di tembok. "Hai, Prajurit," kata jenderal tertinggi. Prajurit terendah itu terperanjat, lalu memberi hormat dengan cara yang berlebih-lebihan pula. "Perang dapat memusnahkan seluruh kita, Prajurit," kata jenderal tertinggi, "Dan sekarang, perhubungan putus. Sampaikanlah surat ini kepada perwira di ajang pertempuran di sebelah sana." Prajurit terendah menerima surat ini dengan hormat yang berlebih-lebihan. "Kalau kau berhasil menyampaikan surat ini, akan berhentilah perang ini dan akan hiduplah semua kita," kata jenderal tertinggi. "Kalau tidak, sebaliknyalah yang terjadi." Dengan dikawal oleh beberapa orang, prajurit itu meninggalkan markas jenderal tertinggi itu menuju ujung pertempuran. Para pengantar merasa kagum akan kecekatan dan keberanian prajurit yang masih muda itu. Barulah prajurit itu dilepas sendirian ketika memasuki mulut daerah musuh. Tugas prajurit itu adalah menyelundup di daerah musuh untuk mencapai perwira teman yang berada di ajang sana untuk menyampaikan surat yang katanya sangat penting. Maka, berjalanlah serdadu itu hatihati. Sementara itu, tembakan-tembakan pun menggencar di sana sini. Matahari mulai tenggelam dan langit mulai kemerah-merahan. Prajurit yang sehat itu berjalan terus dengan hati-hati. Ketika langit telah menjadi gelap karena matahari telah tenggelam, mata prajurit itu tertarik pada cahaya di langit. Peluru-peluru besar yang melesat-lesat di langit sana sangat indah dan memesonakan hati prajurit yang senang keindahan itu. prajurit itu menelentangkan tubuh di atas sana. Dan, ketika dengan sengaja prajurit itu menggaruk-garuk tubuhnya yang terasa gatal, tersentuhlah surat dari jenderal tertinggi yang disimpan di lipatan celananya. Dan, ketika prajurit itu melihat tubuhnya, sadarlah prajurit itu bahwa tubuhnya menjadi terang pada malam hari itu karena kilatan-kilatan yang berseliweran di langit sana. Alangkah indah warna bajunya. Baju hijau yang sudah diganti dengan hitam itu tampak indah tertimpa cahaya yang berwarna-warna yang datang dari atas sana. Dan, prajurit yang sekarang hanya bersenjata pisau lipat kecil itu merogoh saku celananya untuk mengambil pisau itu. Pisau yang sebetulnya tidak indah itu pun tampak indah tertimpa cahaya berwarna-warna dari atas sana. Maka, tiba-tiba timbullah keinginan prajurit itu untuk membedah lipatan celana, dan melihat surat yang ditulis oleh jenderal yang selama ini dikagumi. Dengan cekatan, prajurit terendah itu dapat membedah lipatan celana, lalu mengambil surat berwarna biru yang dilipat kecil. Dengan hati-hati, prajurit itu membuka surat itu, tetapi yang didapati hanyalah kertas kosong berwarna biru. Indah benar warna biru yang tertimpa oleh sinar berwarna-warna dari atas. Untuk beberapa saat, prajurit itu bergantian memandang kertas di tangan dan peluru-peluru di atas sana. Pergantian-pergantian warna makin memesonakan hatinya. Prajurit itu membaringkan tubuh lagi, menghirup udara dalam-dalam, lalu menutup kelopak matanya. Tercium bau peluru yang baginya terasa sedap. Surat dari jenderal tertinggi tetap dipegang di tangannya. Tiba-tiba, tubuh prajurit itu terguncang hebat karena ledakan besar yang tidak pernah diduga akan terjadi begitu dekat dengan dirinya. Prajurit itu terbangun, lalu lari merunduk-runduk. Ledakan-ledakan itu di sekitar dirinya makin memadat. Dan, prajurit yang hanya bersenjata pisau itu merasa menyesal mengapa orang-orang yang mengantarkannya tadi melarangnya untuk membawa senapan setelah mengganti pakaian yang disenanginya dengan pakaian tua berwarna buruk. Prajurit itu pun terus berlari-lari di tanah berdebu sampai akhirnya mencapai tembok yang tidak jelas warnanya. Setelah prajurit itu membaringkan tubuh dekat tembok dan setelah ledakan lain yang membawa sinar terang terjadi, tahulah serdadu itu bahwa tembok di dekatnya berwarna ungu. Dan, ketika sebuah ledakan lain yang juga membawakan sinar terang menyusul, tahulah prajurit itu bahwa tembok itu terletak di pojok jalan. Dan, ketika sebuah ledakan dengan sinar terang meradang lagi, tahulah prajurit itu bahwa di tembok ungu itu tertempel cipratan-cipratan darah. Tepat pada waktu prajurit itu berusaha akan berdiri, sebuah ledakan yang juga mengirimkan sinar terang menyalak. Di luar dugaan, prajurit itu melihat jenderal yang sangat dikaguminya lari di sebelah sana dan dikejar oleh peluru-peluru yang mengirimkan sinar-sinar terang dan ledakan-ledakan yang memekakkan telinga. Prajurit itu pun terjerembap ke atas tanah berdebu yang segera mengirimkan debu ke atas. Sementara itu, pasukan jenderal yang sangat dikagumi oleh prajurit muda itu dapat memasuki daerah musuh dalam waktu yang tidak begitu lama. Esok paginya, tubuh prajurit terendah itu ditemukan oleh orang-orang yang kemarin mengantarkannya sampai ke mulut daerah musuh. Tanpa bercakap banyak, mereka pun mengemasi mayat prajurit itu, lalu mengirimkannya kepada jenderal mereka. Jenderal itu membuka kain yang menutupi wajah mayat prajurit itu, lalu mengagumi wajah yang sudah menjadi mayat itu sebentar. Jenderal itu pun membuka kain yang menutup bagian dada mayat prajurit itu. Mata jenderal tertinggi melihat kertas biru tersembul dari saku mayat prajurit terendah. Dengan sabar, jenderal itu menarik kertas biru -dari saku mayat, lalu membaca tulisan tangan yang tertera di atasnya. Dan, setelah menyobek surat itu hati-hati, jenderal itu pun melihat tulisan lain yang tertera di bagian dalam kertas berwarna biru itu. Jenderal itu membaca lagi tulisan tangan serdadu itu, lalu dengan hati-hati memasukkan kertas itu ke dalam sakunya. "Dia menganggap saya kebal peluru," kata jenderal itu perlahan-lahan. Tidak ada orang satu pun yang mendengar apa yang dikatakan oleh jenderal tertinggi itu. "Makamkanlah penyair yang melibatkan diri ke dalam perang ini dengan upacara yang layak," kata jenderal itu dengan suara jelas. Jenderal itu pun pergi meninggalkan mayat itu, lalu pergi ke gedung besar diiringi oleh sekian belas orang pengawalnya. Pada waktu pemakaman mayat prajurit itu dilakukan, jenderal itu sedang sibuk mengadakan perundingan dengan bawahan-bawahannya. Dan, ketika jenderal itu merasa capai dan bosan akan pekerjaannya, berkatalah jenderal itu, "Penyair itu menganggap saya kebal peluru." Beberapa orang yang mengelilingi jenderal itu mengerti maksud jenderal itu, tetapi beberapa orang lainnya tidak mengerti. Mereka semua mengangguk-angguk dan ketika jenderal itu minum kopi, yang lain pun ikut-ikut minum kopi. Kumpulan Cerpen Kritikus Adinan karya Budi Darma Apa kemenarikan yang Anda temukan dalam cerpen tersebut?

1

5.0

Jawaban terverifikasi

Berita 1 Pasien Lupa Orang Tua karena Kecanduan Ponsel Kamis, 17 Okt 2019 Selain di Bandung Barat, Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr. Arif Zainudin Surakarta juga menerima pasien kecanduan ponsel. Tahun ini, jumlah pasien tersebut semakin meningkat. Kepala Instalasi Kesehatan Jiwa Anak Remaja RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta, Aliyah Himawati, mengatakan fenomena tersebut sudah terjadi sejak tiga tahun lalu. Namun belakangan, fenomena tersebut memang makin marak. “Tiga tahun lalu ada tapi sedikit. Sejak tahun ajaran baru ini ada sekitar 35 anak remaja. Sehari ada 1-2 anak yang berobat,” kata Aliyah,Kamis (17/10/2019). Kondisi gangguan kejiwaan mereka berbeda-beda. Pasien dengan kondisi yang sangat parah bahkan tidak mengakui dan menganiaya orang tuanya. “Orang tuanya tidak dianggap. Dia bilang kalau dia itu turun dari langit. Isi pikirannya itu yang ada di gim itu, bahasanya bahasa di gim itu,” ujarnya. Kebanyakan pasien tersebut kecanduan gim ekstrem. Mereka tidak mau makan hingga tak mau sekolah. Kalaupun sekolah, mereka ingin segera pulang untuk bermain gim. “Ada yang niat ke sekolah itu untuk main gim. Karena di sekolah ada wifi gratis. Sedangkan di rumah sudah diputus orang tuanya,” kata Aliyah. Penanganan pasien kecanduan ponsel ini dilakukan sesuai dengan gejalanya. Pertama, pasien harus mengakui jika dirinya kecanduan ponsel. Setelah itu, pasien diberi obat. “Kondisi kecanduan ini membuat cairan otak atau kerja saraf tidak seimbang. Langkah farmakoterapi atau pemberian obat ini yang paling cepat bisa menyeimbangkan,” ujar dia. Kemudian pasien akan menjalani terapi perilaku. Secara berangsur, dosis obat juga diturunkan. “Untuk pasien rawat jalan, kita evaluasi dua minggu sekali. Mereka kita beri kontrak kegiatan. Sehari ngapain saja. Sehari pegang ponsel itu hanya dua jam,” katanya. Sebagai langkah pencegahan, dia mengimbau kepada orang tua agar menjauhkan ponsel dari anak sejak dini. Saat ini banyak orang tua yang mengenalkan ponsel terlalu dini. (Sumber: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4749582/ pasien-kecanduan-ponsel-di-rsj-solo-juga-bertambah-ada-yang-sampai-lupa-ortu dengan penyesuaian) Berita 2 Pasien Anak Kecanduan Ponsel Bertambah di RS Jiwa Solo Kamis : 17 Oktober 2019 Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr. Arif Zainudin, Solo, Jawa Tengah, mencatat adanya kenaikan signifikan jumlah pasien kecanduan ponsel. Bahkan dalam tiga bulan terakhir sudah ada 35 pasien kecanduan ponsel yang berobat ke RSJD Solo. Kepala Instalasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja RSJD dr. Arif Zainudin, Aliyah Himawati, mengatakan, dulu pasien kecanduan ponsel baru ada mungkin satu orang dalam sepekan. Sekarang, dalam satu hari bisa satu sampai dua pasien. Semuanya merupakan anak-anak usia sekolah. “Ini kan tahun ajaran baru, baru mid semester itu sudah kira-kira ada 35 anak bahkan sampai rawat inap. Yang rawat inap kemarin ada dua anak, sekarang sudah pulang,” kata Aliyah kepada wartawan, Kamis (17/10). Pasien yang rawat inap tersebut terdiri dari satu siswa SMP dan satu siswa SMA. Sedangkan pasien rawat jalan paling kecil usianya 10 tahun. Puluhan pasien tersebut berasal dari Solo dan sekitarnya. Dia menyebutkan, ciri-ciri anak kecanduan ponsel biasanya orang tuanya sudah tahu si anak pegang ponsel terus. Kemudian, anak sudah tidak bisa melakukan fungsi tugasnya sebagai anak sekolah seperti sudah membolos sekolah, tidak mau sekolah, tidak mau belajar. Selain itu, anak mengalami gangguan emosi dan kesulitan tidur. Menurutnya, dalam menangani pasien kecanduan ponsel disesuaikan dengan gejala yang muncul. Gejala bisa berbeda pada setiap anak. Misalnya, gangguan emosi dan sulit tidur diatasi terlebih dahulu. “Ada beberapa langkah yang kami lakukan untuk mengatasi gangguan emosi itu salah satunya dengan obat farmakoterapi, setelah itu langsung masuk ke terapi perilaku,” ungkapnya. Pada awalnya, terkadang anak merasa tidak kecanduan ponsel dan merasa baik-baik saja. Langkah pertama sebelum masuk ke terapi perilaku, lanjutnya, anak harus mengakui kalau kecanduan ponsel. Aliyah menyatakan, proses terapi tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Untuk farmakoterapi paling tidak dua pekan agar pasien lebih stabil. Sepekan pertama sudah bisa mulai terapi perilaku dan berlanjut paling tidak enam bulan. “Ada daftar kontrak apa yang harus dilakukan pasien. Misalnya untuk anak yang masih sekolah jam belajar sepulang sekolah harus ngapain, kalau dulu pegang ponsel setiap waltu sekarang harus dibatasi. Pegang ponsel hanya boleh jam tertentu maksimal satu hari hanya dua, jam apapun alasannya,” tegasnya. Aliyah menambahkan, orang tua perlu melakukan upaya dan memberi contoh untuk mencegah agar anak tidak kecanduan ponsel. Meskipun, praktiknya agak susah karena tugas-tugas sekolah terkadang memakai gawai. Cara mencegahnya dengan menggunakan gawai hanya untuk tugas-tugas sekolah. Kemudian, pada jam-jam tertentu harusnya di keluarga tidak pegang ponsel semua. “Kalau orang tua pegang ponsel, anaknya tidak boleh ya sama saja,” ujarnya. (Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pzilao430/pasien-anak-kecanduan-ponsel-di-rs-jiwa-solo-bertambah dengan penyesuaian) 1. Tuliskan informasi yang sama dari berita 1, berita 2 dan komik berikut.

46

5.0

Jawaban terverifikasi

Impian Anak Desa Bermimpilah selagi langit masih sanggup menampung mimpimu. Kata-kata itulah yang selalu membuatku semangat untuk bermimpi. Orang sering mengatakan bahwa "Bermimpilah setinggi langit". Aku sempat mempertanyakan hal tersebut pada guruku. Kenapa harus bermimpi setinggi langit? Apakah tidak boleh kalau mau bermimpi setinggi kecambah? Ya, kini baru kusadari bahwa langit itu sangat tinggi. Jadi, wajar saja kalau orang mengatakan untuk bermimpi setinggi langit bukan setinggi kecambah. Maklum saja, pertanyaan itu terlontar dari mulutku saat usiaku menginjak 5 tahun. Angan-anganku dahulu mengatakan bahwa kecambah jauh lebih tinggi daripada langit. Dahulu, aku tidak tahu yang manakah yang disebut kecambah. Setelah bertanya kepada ibuku, ternyata kecambah itu nama lain dari taoge. Berikut ini, saya akan membahas tentang mimpi, langit, dan kecambah atau nama lainnya taoge. Namaku Dino. Usiaku saat ini adalah 10 tahun. Sekarang aku telah duduk di bangku kelas V SD. Aku adalah seorang anak desa yang tidak pernah berhenti untuk bermimpi. Bagiku mimpi itu hak setiap orang. Mau dia bermimpi jadi astronaut. Mau jadi ilmuwan. Mau jadi psikolog. Mau jadi guru. Bahkan, mimpi sama seperti aku yang ingin menjadi seorang arkeolog. Tetanggaku sering mengatakan kepadaku untuk apa bermimpi ja di arkeolog. Di desa kan tidak ada yang namanya universitas. Tetapi itu bukan halangan bagi ku. Menurutku, ada atau tidak adanya sebuah universitas itu bukan halangan. Sekarang, aku harus giat membaca buku untuk menambah ilmu. Karena pada dasarnya, buku merupakan jendela ilmu. Pagi ini, aku mulai melakukan penel usuran untuk menambah ilmuku. Aku melewati jalan kecil yang di kiri dan kanannya merupakan sawah. Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan jauh, akhirnya aku sampai di perpustakaan desa ku. Aku mengambil sebuah buku. Saat sedang asyik membaca, aku dikejutkan dengan sebuah suara yang muncul tiba-tiba. "Mau jadi arkeolog, ya?" tanya orang tersebut kepadaku sambil melemparkan seulas senyuman yang indah. Aku pun menganggukkan kepala yang menandakan bahwa aku memang ingin menjadi seorang a rkeolog. la tampak memperhati kan diriku. Aku hanya memandangnya dengan heran. Akan tetapi, aku tidak terlalu mempersa lahkannya karena aku ya ki n dia orang ba ik. "Kenapa mau jadi arkeolog?" dia bertanya lagi. "Arkeolog itu keren, Kak. Kita bisa tahu keadaan masa lampau itu bagaimana. Kita juga bisa tahu bahasa apa saja yang dipakai mereka. Kita juga tahu tentang zaman dahulu. Kita bisa menemukan fosil dan benda-benda berharga masa lampau lainnya” aku menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang cukup panjang. Namun, dia masih tetap setia mendenga rkan semua jawaban ya ng kel uar dari mul utku. Dan setelah selesa i aku menjawab pertanyaannya, ia tersenyum sambil memperli hatkan gigi puti hnya. "Tahukah kamu, siapa aku?"tanya dia. Aku memperhati kan orang ini dengan sa ngat detail. Aku meli hat dia dari atas sampai bawah dan mengulanginya lagi. Setelah Ieiah memperhati kan orang ini, aku pun menutup buku yang ada digenggamanku. "Aku tidak tahu, Kak” jawabku yang akhirnya menyerah. Toh, aku memang tidak mengenalnya. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan satu kertas kecil. Lalu, memberikan kertas itu kepadaku. Aku membaca kertas yang diberikannya kepadaku itu. Seketika senyumku langsung mengembang bagaikan bunga yang layu disiram air langsung mekar kembali. "Wah kakak arkeolog, ya?" ucapku denga n nada yang sangat semangat serta antusias. Dia pun tersenyum lalu menganggu kkan kepala seolah berkata, "Ya” "Kalau besar nanti, aku pasti bisa jadi seperti Kakak” jawabku sambil melihat ke atas seolah ada bayanganku ketika aku besar nanti. "Ha ha teruslah bermimpi dan belajar ka rena kakak keti kakecil dahulu sama sepertimu. Kakak selalu bermimpi bisa jadi arkeolog, tetapi kakak sadar mimpi saja tidak cukup. Kakak juga harus berusaha, ya salah satu caranya adalah kakak harus rela menghabiskan waktu hanya untuk membaca. Di sekolah, kakak juga selalu bertanya kepada guru tentang sejarah. Berkat usaha kakak dan doa dari kedua orangtua, kakak bisa seperti sekarang” jawab dia dengan ucapan yang sangat panjang. Aku hanya tersenyum bahagia mendengar semua ucapannya. Ucapannya seperti penyemangat baru bagiku. "Baiklah Kak, aku yakin suatu saat nanti kita bertemu lagi dalam sebuah profesi yang sama, yaitu sebagai arkeolog” tuturku sambil berdiri dan tersenyum kepadanya. Akhirnya, ia pun pamit pulang kepadaku karena ingin kem bali ke kotanya untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Aku melangkahkan kaki sambil tersenyum pada hamparan sawah serta burung-burung yang berterbangan. Aku yakin bahkan sangat yakin bahwa suatu saat nanti aku akan menjadi seorang seperti yang aku impikan selama ini. Waktu begitu cepat berlalu. Aku yang dahulu masih kecil sekarang telah dewasa. Desaku yang dahulu belum ada perubahan, sekarang telah menjadi sebuah kota. Perpustakaan yang dahulu sebagai tempatku mencari ilmu sekarang menjadi tambah besar dan bagus. Tidak kupungkiri, semua ini terjadi sebagai akibat adanya globalisasi yang terjadi dalam kehidupan. Sekarang, aku duduk di dalam perpustakaan ini, membaca buku sejarah yang pernah kubaca beberapa tahun yang lalu. Terlintas sebuah kenangan saat aku bertemu dengan Kak Zaki seorang arkeolog yang pernah aku temui di perpustakaan ini. Aku merindukan dia sebagai seorang kakak. Aku telah mencoba mencari tahu keadaanya, tetapi aku tidak pernah menemukan dirinya. "Dino” Merasa namaku dipanggil, aku menoleh ke belakang. Saat aku melihat ke belakang, betapa terkejutnya aku. ltu dia Kakak arkeolog itu datang meng hampiriku. "Kak Zaki?" ucapku sambil mengajaknya untuk duduk. "lya, bagaimana kabarmu?" ucap Kak Zaki sambil memperhati kan diriku. "Seperti yang kakak lihat, aku baik-baik saja. Kakak ke mana saja. Aku telah mencari Kakak, tetapi aku tidak menemukan Kakak. Sekarang, Kakak datang sendiri padaku” ucapku kepada Kak Zaki. Kak Zaki pun langsung tertawa. Entahlah apa yang ada dalam benaknya hingga membuat ia tertawa mendengar ucapanku tadi. "Tingkahmu masih sama seperti beberapa tahun tahun yang lalu. Maafkan aku. Aku sibuk bekerja di luar negeri. Bagaimana dirimu sudah jadi arkeolog?" ucap Kak Zaki sembari mempertanya kan hal tersebut kepadaku. Aku pun mengeluarkan sebuah kertas sama seperti yang Kak Zaki laku kan kepadaku dahulu. la pun memberikan seluas senyuman dan selamat kepadaku. Aku telah menepati janjiku dahulu. Saat bertemu dengan Kak Zaky kembali, aku telah menjadi seorang arkeolog. Terima kasih untuk semuanya Kak Zaki karena berkat kakak jugalah aku bersemangat untuk bisa meraih impianku menjadi seora ngarkeolog. Teruslah bermimpi karena mimpi adalah kunci untuk meraih impian kita. Mimpi itu sebagai pupuk yang akan membuat bunga makin tumbuh dengan subur sehingga bunga yang dihasilkan akan lebih indah daripada bunga yang tidak diberi pupuk. Sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-motivasi/impian-anak-desa.html, dengan pengubahan seperlunya soal Siapa saja yang menjadi tokoh pendamping?

1

0.0

Jawaban terverifikasi