Anindita A

03 Agustus 2024 01:09

Iklan

Anindita A

03 Agustus 2024 01:09

Pertanyaan

1. buatlah esai argumentatif sebanyak 650 kata dengan topik "Toxic Masculinity" terkait dengan perubahan sosial 2. Struktur esai meliputi : - pendahuluan (teoritis) - isi (teori & opini teoritis) - bukti (dapat berupa foto/gambar cetak) - Argumen tandingan (opini) - penutup

1. buatlah esai argumentatif sebanyak 650 kata dengan topik "Toxic Masculinity" terkait dengan perubahan sosial
2. Struktur esai meliputi :
- pendahuluan (teoritis)
- isi (teori & opini teoritis)
- bukti (dapat berupa foto/gambar cetak)
- Argumen tandingan (opini)
- penutup

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

02

:

21

:

48

:

48

Klaim

6

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Nanda R

Community

03 Agustus 2024 01:22

Jawaban terverifikasi

<p>### Toxic Masculinity: Dampak dan Perubahan Sosial</p><p>#### Pendahuluan</p><p>Toxic masculinity, atau maskulinitas toksik, adalah konsep yang merujuk pada norma-norma sosial dan budaya yang mempromosikan ekspresi maskulinitas yang merugikan baik bagi individu maupun masyarakat. Istilah ini mengacu pada pandangan bahwa sifat-sifat seperti kekuatan, dominasi, dan ketidakpekaan emosional dianggap sebagai standar maskulinitas yang ideal. Konsep ini pertama kali dipopulerkan dalam studi gender dan psikologi sosial untuk menjelaskan bagaimana norma-norma maskulinitas yang berlebihan dapat berdampak negatif pada pria dan masyarakat secara umum. Dalam konteks perubahan sosial, toxic masculinity dapat dianggap sebagai faktor utama dalam berbagai isu sosial, termasuk kekerasan berbasis gender, kesehatan mental pria, dan kesetaraan gender.</p><p>#### Isi</p><p>Maskulinitas toksik merujuk pada perilaku dan pandangan yang menganggap bahwa pria harus selalu kuat, tidak emosional, dan dominan. Teori psikososial dan gender menunjukkan bahwa norma-norma ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana pria berperilaku, tetapi juga bagaimana mereka berinteraksi dengan wanita dan sesama pria. Dalam banyak budaya, pria yang menunjukkan kelemahan emosional dianggap kurang maskulin dan sering kali dikucilkan. Penelitian menunjukkan bahwa pandangan ini dapat berkontribusi pada kesehatan mental yang buruk di kalangan pria, termasuk depresi dan kecemasan.</p><p>Salah satu aspek utama dari toxic masculinity adalah penekanan pada dominasi dan kekuasaan. Dalam konteks ini, pria sering merasa tertekan untuk menegakkan kekuasaan mereka di tempat kerja dan dalam hubungan pribadi. Pandangan ini tidak hanya merugikan pria itu sendiri tetapi juga dapat menyebabkan kekerasan dan penindasan terhadap wanita. Sebagai contoh, data dari PBB menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat maskulinitas toksik yang tinggi juga sering memiliki tingkat kekerasan gender yang tinggi.</p><p>Penelitian tambahan menunjukkan bahwa toxic masculinity dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius di kalangan pria. Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal *American Psychological Association*, pria yang terpengaruh oleh norma maskulinitas toksik lebih cenderung mengalami depresi dan gangguan stres pasca-trauma. Studi ini juga menunjukkan bahwa pria yang merasa tertekan untuk memenuhi standar maskulinitas tradisional sering kali mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat dan saling mendukung.</p><p>#### Bukti</p><p>Gambar berikut menunjukkan beberapa ilustrasi yang menggambarkan dampak toxic masculinity dalam kehidupan sehari-hari:</p><p>- **Gambar 1:** Seorang pria yang tampak tidak nyaman saat mencoba mengekspresikan emosinya di tempat kerja, yang mencerminkan norma sosial yang meremehkan ekspresi emosional pria.<br>- **Gambar 2:** Ilustrasi yang menunjukkan dampak kekerasan domestik sebagai hasil dari pandangan maskulinitas toksik, di mana pria merasa berhak untuk mendominasi dan mengendalikan.</p><p>#### Argumen Tandingan</p><p>Beberapa orang berpendapat bahwa maskulinitas toksik bukanlah masalah besar dan bahwa norma-norma maskulinitas ini sudah mengakar dalam budaya masyarakat. Mereka berpendapat bahwa menentang maskulinitas toksik dapat melemahkan kekuatan dan karakter pria, serta mengabaikan nilai-nilai tradisional yang telah ada selama bertahun-tahun. Ada juga yang berpendapat bahwa perubahan dalam norma maskulinitas tidak selalu mengarah pada hasil positif dan bahwa perubahan sosial ini bisa membawa dampak yang tidak diinginkan, seperti kebingungan identitas di kalangan pria muda.</p><p>Namun, penting untuk dicatat bahwa argumentasi ini sering kali mengabaikan kerugian nyata yang disebabkan oleh toxic masculinity. Penekanan pada dominasi dan kekuatan tidak hanya merugikan wanita tetapi juga membatasi potensi pria untuk mengembangkan hubungan yang sehat dan mendukung. Maskulinitas toksik dapat menyebabkan pria merasa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.</p><p>#### Penutup</p><p>Toxic masculinity merupakan isu penting dalam perubahan sosial yang memerlukan perhatian serius. Dampak negatif dari norma maskulinitas toksik, seperti kekerasan gender, masalah kesehatan mental, dan ketidakmampuan untuk membentuk hubungan yang sehat, menunjukkan perlunya perubahan dalam cara kita memahami dan menilai maskulinitas. Upaya untuk menantang dan mengubah norma-norma ini dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan mendukung, di mana pria dan wanita dapat berinteraksi dan berkembang tanpa tertekan oleh norma-norma berbahaya. Meskipun ada argumen yang menentang perubahan ini, penting untuk terus mendiskusikan dan mengeksplorasi cara-cara untuk mengatasi masalah maskulinitas toksik demi kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan.</p>

### Toxic Masculinity: Dampak dan Perubahan Sosial

#### Pendahuluan

Toxic masculinity, atau maskulinitas toksik, adalah konsep yang merujuk pada norma-norma sosial dan budaya yang mempromosikan ekspresi maskulinitas yang merugikan baik bagi individu maupun masyarakat. Istilah ini mengacu pada pandangan bahwa sifat-sifat seperti kekuatan, dominasi, dan ketidakpekaan emosional dianggap sebagai standar maskulinitas yang ideal. Konsep ini pertama kali dipopulerkan dalam studi gender dan psikologi sosial untuk menjelaskan bagaimana norma-norma maskulinitas yang berlebihan dapat berdampak negatif pada pria dan masyarakat secara umum. Dalam konteks perubahan sosial, toxic masculinity dapat dianggap sebagai faktor utama dalam berbagai isu sosial, termasuk kekerasan berbasis gender, kesehatan mental pria, dan kesetaraan gender.

#### Isi

Maskulinitas toksik merujuk pada perilaku dan pandangan yang menganggap bahwa pria harus selalu kuat, tidak emosional, dan dominan. Teori psikososial dan gender menunjukkan bahwa norma-norma ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana pria berperilaku, tetapi juga bagaimana mereka berinteraksi dengan wanita dan sesama pria. Dalam banyak budaya, pria yang menunjukkan kelemahan emosional dianggap kurang maskulin dan sering kali dikucilkan. Penelitian menunjukkan bahwa pandangan ini dapat berkontribusi pada kesehatan mental yang buruk di kalangan pria, termasuk depresi dan kecemasan.

Salah satu aspek utama dari toxic masculinity adalah penekanan pada dominasi dan kekuasaan. Dalam konteks ini, pria sering merasa tertekan untuk menegakkan kekuasaan mereka di tempat kerja dan dalam hubungan pribadi. Pandangan ini tidak hanya merugikan pria itu sendiri tetapi juga dapat menyebabkan kekerasan dan penindasan terhadap wanita. Sebagai contoh, data dari PBB menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat maskulinitas toksik yang tinggi juga sering memiliki tingkat kekerasan gender yang tinggi.

Penelitian tambahan menunjukkan bahwa toxic masculinity dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius di kalangan pria. Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal *American Psychological Association*, pria yang terpengaruh oleh norma maskulinitas toksik lebih cenderung mengalami depresi dan gangguan stres pasca-trauma. Studi ini juga menunjukkan bahwa pria yang merasa tertekan untuk memenuhi standar maskulinitas tradisional sering kali mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat dan saling mendukung.

#### Bukti

Gambar berikut menunjukkan beberapa ilustrasi yang menggambarkan dampak toxic masculinity dalam kehidupan sehari-hari:

- **Gambar 1:** Seorang pria yang tampak tidak nyaman saat mencoba mengekspresikan emosinya di tempat kerja, yang mencerminkan norma sosial yang meremehkan ekspresi emosional pria.
- **Gambar 2:** Ilustrasi yang menunjukkan dampak kekerasan domestik sebagai hasil dari pandangan maskulinitas toksik, di mana pria merasa berhak untuk mendominasi dan mengendalikan.

#### Argumen Tandingan

Beberapa orang berpendapat bahwa maskulinitas toksik bukanlah masalah besar dan bahwa norma-norma maskulinitas ini sudah mengakar dalam budaya masyarakat. Mereka berpendapat bahwa menentang maskulinitas toksik dapat melemahkan kekuatan dan karakter pria, serta mengabaikan nilai-nilai tradisional yang telah ada selama bertahun-tahun. Ada juga yang berpendapat bahwa perubahan dalam norma maskulinitas tidak selalu mengarah pada hasil positif dan bahwa perubahan sosial ini bisa membawa dampak yang tidak diinginkan, seperti kebingungan identitas di kalangan pria muda.

Namun, penting untuk dicatat bahwa argumentasi ini sering kali mengabaikan kerugian nyata yang disebabkan oleh toxic masculinity. Penekanan pada dominasi dan kekuatan tidak hanya merugikan wanita tetapi juga membatasi potensi pria untuk mengembangkan hubungan yang sehat dan mendukung. Maskulinitas toksik dapat menyebabkan pria merasa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

#### Penutup

Toxic masculinity merupakan isu penting dalam perubahan sosial yang memerlukan perhatian serius. Dampak negatif dari norma maskulinitas toksik, seperti kekerasan gender, masalah kesehatan mental, dan ketidakmampuan untuk membentuk hubungan yang sehat, menunjukkan perlunya perubahan dalam cara kita memahami dan menilai maskulinitas. Upaya untuk menantang dan mengubah norma-norma ini dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan mendukung, di mana pria dan wanita dapat berinteraksi dan berkembang tanpa tertekan oleh norma-norma berbahaya. Meskipun ada argumen yang menentang perubahan ini, penting untuk terus mendiskusikan dan mengeksplorasi cara-cara untuk mengatasi masalah maskulinitas toksik demi kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan.


Iklan

Rendi R

Community

27 Oktober 2024 04:51

Jawaban terverifikasi

<p>Toxic Masculinity dan Dampaknya pada Perubahan Sosial</p><p>Pendahuluan</p><p>Dalam konteks perubahan sosial, konsep <strong>toxic masculinity</strong> atau maskulinitas beracun menjadi topik yang semakin sering dibahas, terutama seiring dengan perkembangan nilai-nilai gender yang lebih inklusif dan setara. Toxic masculinity merujuk pada standar maskulinitas yang dianggap “beracun” karena menuntut pria untuk menunjukkan karakteristik yang kaku, agresif, dominan, dan menolak sifat-sifat yang dianggap feminin. Secara historis, maskulinitas tradisional memiliki peran penting dalam masyarakat patriarkal, di mana pria dianggap pemimpin yang tegas, kuat, dan emosinya terkendali. Namun, dalam masyarakat modern, pemahaman ini mulai dipandang usang dan merugikan, bukan hanya bagi perempuan yang sering menjadi korban kekerasan atau pelecehan, tetapi juga bagi laki-laki sendiri yang dibatasi oleh standar yang menekan kebebasan berekspresi dan empati.</p><p>Seiring dengan perubahan sosial yang mendorong kesetaraan gender, toxic masculinity semakin dipertanyakan sebagai nilai yang relevan dalam masyarakat. Maskulinitas beracun menempatkan tekanan emosional besar pada laki-laki untuk mematuhi peran tradisional, yang dapat menghambat perkembangan pribadi dan sosial mereka. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku, sehingga konsep maskulinitas yang lebih sehat dan inklusif dipandang sebagai salah satu langkah penting dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil.</p><p>Isi</p><p>Konsep toxic masculinity pertama kali dibahas dalam teori gender dan psikologi untuk menjelaskan cara pandang maskulinitas yang merugikan laki-laki dan perempuan. Karakteristik yang melekat pada maskulinitas beracun, seperti menekan emosi, menolak kelembutan, dan agresivitas, bertujuan untuk mempertahankan dominasi dalam masyarakat. Sayangnya, sikap ini malah menjadi penghalang bagi kemajuan sosial karena mempersempit peran yang bisa diambil laki-laki dalam konteks sosial yang lebih inklusif.</p><p>Dalam kajian psikologi, toxic masculinity dipandang sebagai masalah karena membentuk pola pikir yang tidak fleksibel dalam memandang peran gender, sehingga berdampak pada relasi antar-gender di berbagai bidang, mulai dari keluarga, tempat kerja, hingga kehidupan sosial secara umum. Sebagai contoh, laki-laki yang merasa ditekan untuk menunjukkan ketangguhan dan menolak empati sering kali mengalami kesulitan dalam membina hubungan yang sehat, baik dengan pasangan maupun keluarga. Sikap agresif dan dominan yang dipupuk melalui standar maskulinitas beracun juga berpotensi memperkuat kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk perilaku negatif lainnya.</p><p>Bukti</p><p>Ilustrasi tentang toxic masculinity sering kali ditemukan dalam media populer dan budaya sehari-hari, yang secara tidak langsung mempromosikan nilai-nilai maskulinitas beracun. Misalnya, karakter-karakter pria dalam film dan serial TV sering digambarkan sebagai pahlawan yang tangguh, agresif, dan jarang menunjukkan sisi emosional atau empati. Selain itu, statistik menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental seperti depresi, tetapi banyak yang tidak mencari bantuan profesional karena merasa lemah jika melakukannya.</p><p>Gambar yang dapat menggambarkan toxic masculinity adalah poster kampanye kesehatan mental yang menunjukkan seorang pria yang enggan meminta bantuan meskipun jelas dia sedang mengalami tekanan berat. Pesan ini menunjukkan bahwa laki-laki juga butuh dukungan mental dan emosional yang sama seperti perempuan, tetapi stigma maskulinitas beracun seringkali menjadi penghalang.</p><p>Argumen Tandingan</p><p>Namun, ada pihak yang berpendapat bahwa maskulinitas tradisional sebenarnya memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai yang positif, seperti keberanian, disiplin, dan ketangguhan, yang sangat dibutuhkan dalam berbagai situasi hidup. Menurut pandangan ini, masyarakat membutuhkan peran maskulin yang stabil untuk mempertahankan keseimbangan, terutama dalam menghadapi tekanan eksternal. Bagi sebagian orang, maskulinitas dianggap sebagai kekuatan yang mendorong laki-laki untuk melindungi keluarga, bertanggung jawab, dan menghadapi tantangan.</p><p>Mereka yang mendukung pandangan ini mungkin menganggap perubahan standar maskulinitas sebagai ancaman terhadap fondasi sosial yang telah terbentuk sejak lama. Namun, pendukung konsep maskulinitas sehat berargumen bahwa keberanian dan ketangguhan tidak harus disertai dengan penindasan terhadap emosi atau sifat-sifat yang dianggap feminin. Maskulinitas bisa tetap kokoh tanpa menekan sisi manusiawi, seperti empati dan kepekaan.</p><p>Penutup</p><p>Perdebatan mengenai toxic masculinity dan perubahan sosial mengajarkan kita bahwa identitas maskulinitas adalah konsep yang dinamis dan perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern. Maskulinitas beracun bukan hanya menekan kebebasan pria dalam mengekspresikan perasaan mereka, tetapi juga berdampak negatif pada hubungan sosial, kesehatan mental, dan relasi antar-gender. Dengan mendorong pemahaman yang lebih inklusif dan sehat tentang maskulinitas, masyarakat dapat bergerak menuju lingkungan yang lebih adil dan mendukung, di mana setiap orang—baik pria maupun wanita—dapat merasakan kebebasan dalam menjalani peran mereka sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.</p><p>Maskulinitas yang sehat bukan hanya bermanfaat bagi laki-laki, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini memungkinkan perubahan sosial yang mengarah pada relasi yang lebih setara dan mendalam, sehingga mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul akibat standar gender yang kaku.</p>

Toxic Masculinity dan Dampaknya pada Perubahan Sosial

Pendahuluan

Dalam konteks perubahan sosial, konsep toxic masculinity atau maskulinitas beracun menjadi topik yang semakin sering dibahas, terutama seiring dengan perkembangan nilai-nilai gender yang lebih inklusif dan setara. Toxic masculinity merujuk pada standar maskulinitas yang dianggap “beracun” karena menuntut pria untuk menunjukkan karakteristik yang kaku, agresif, dominan, dan menolak sifat-sifat yang dianggap feminin. Secara historis, maskulinitas tradisional memiliki peran penting dalam masyarakat patriarkal, di mana pria dianggap pemimpin yang tegas, kuat, dan emosinya terkendali. Namun, dalam masyarakat modern, pemahaman ini mulai dipandang usang dan merugikan, bukan hanya bagi perempuan yang sering menjadi korban kekerasan atau pelecehan, tetapi juga bagi laki-laki sendiri yang dibatasi oleh standar yang menekan kebebasan berekspresi dan empati.

Seiring dengan perubahan sosial yang mendorong kesetaraan gender, toxic masculinity semakin dipertanyakan sebagai nilai yang relevan dalam masyarakat. Maskulinitas beracun menempatkan tekanan emosional besar pada laki-laki untuk mematuhi peran tradisional, yang dapat menghambat perkembangan pribadi dan sosial mereka. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku, sehingga konsep maskulinitas yang lebih sehat dan inklusif dipandang sebagai salah satu langkah penting dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil.

Isi

Konsep toxic masculinity pertama kali dibahas dalam teori gender dan psikologi untuk menjelaskan cara pandang maskulinitas yang merugikan laki-laki dan perempuan. Karakteristik yang melekat pada maskulinitas beracun, seperti menekan emosi, menolak kelembutan, dan agresivitas, bertujuan untuk mempertahankan dominasi dalam masyarakat. Sayangnya, sikap ini malah menjadi penghalang bagi kemajuan sosial karena mempersempit peran yang bisa diambil laki-laki dalam konteks sosial yang lebih inklusif.

Dalam kajian psikologi, toxic masculinity dipandang sebagai masalah karena membentuk pola pikir yang tidak fleksibel dalam memandang peran gender, sehingga berdampak pada relasi antar-gender di berbagai bidang, mulai dari keluarga, tempat kerja, hingga kehidupan sosial secara umum. Sebagai contoh, laki-laki yang merasa ditekan untuk menunjukkan ketangguhan dan menolak empati sering kali mengalami kesulitan dalam membina hubungan yang sehat, baik dengan pasangan maupun keluarga. Sikap agresif dan dominan yang dipupuk melalui standar maskulinitas beracun juga berpotensi memperkuat kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk perilaku negatif lainnya.

Bukti

Ilustrasi tentang toxic masculinity sering kali ditemukan dalam media populer dan budaya sehari-hari, yang secara tidak langsung mempromosikan nilai-nilai maskulinitas beracun. Misalnya, karakter-karakter pria dalam film dan serial TV sering digambarkan sebagai pahlawan yang tangguh, agresif, dan jarang menunjukkan sisi emosional atau empati. Selain itu, statistik menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental seperti depresi, tetapi banyak yang tidak mencari bantuan profesional karena merasa lemah jika melakukannya.

Gambar yang dapat menggambarkan toxic masculinity adalah poster kampanye kesehatan mental yang menunjukkan seorang pria yang enggan meminta bantuan meskipun jelas dia sedang mengalami tekanan berat. Pesan ini menunjukkan bahwa laki-laki juga butuh dukungan mental dan emosional yang sama seperti perempuan, tetapi stigma maskulinitas beracun seringkali menjadi penghalang.

Argumen Tandingan

Namun, ada pihak yang berpendapat bahwa maskulinitas tradisional sebenarnya memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai yang positif, seperti keberanian, disiplin, dan ketangguhan, yang sangat dibutuhkan dalam berbagai situasi hidup. Menurut pandangan ini, masyarakat membutuhkan peran maskulin yang stabil untuk mempertahankan keseimbangan, terutama dalam menghadapi tekanan eksternal. Bagi sebagian orang, maskulinitas dianggap sebagai kekuatan yang mendorong laki-laki untuk melindungi keluarga, bertanggung jawab, dan menghadapi tantangan.

Mereka yang mendukung pandangan ini mungkin menganggap perubahan standar maskulinitas sebagai ancaman terhadap fondasi sosial yang telah terbentuk sejak lama. Namun, pendukung konsep maskulinitas sehat berargumen bahwa keberanian dan ketangguhan tidak harus disertai dengan penindasan terhadap emosi atau sifat-sifat yang dianggap feminin. Maskulinitas bisa tetap kokoh tanpa menekan sisi manusiawi, seperti empati dan kepekaan.

Penutup

Perdebatan mengenai toxic masculinity dan perubahan sosial mengajarkan kita bahwa identitas maskulinitas adalah konsep yang dinamis dan perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern. Maskulinitas beracun bukan hanya menekan kebebasan pria dalam mengekspresikan perasaan mereka, tetapi juga berdampak negatif pada hubungan sosial, kesehatan mental, dan relasi antar-gender. Dengan mendorong pemahaman yang lebih inklusif dan sehat tentang maskulinitas, masyarakat dapat bergerak menuju lingkungan yang lebih adil dan mendukung, di mana setiap orang—baik pria maupun wanita—dapat merasakan kebebasan dalam menjalani peran mereka sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.

Maskulinitas yang sehat bukan hanya bermanfaat bagi laki-laki, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini memungkinkan perubahan sosial yang mengarah pada relasi yang lebih setara dan mendalam, sehingga mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul akibat standar gender yang kaku.


Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Assalamualaikum, ini untuk tugas PJJ besok : 1. buatlah esai argumentatif sebanyak 650 kata dengan topik "Toxic Masculinity" terkait dengan perubahan sosial 2. Struktur esai meliputi : - pendahuluan (teoritis) - isi (teori &amp; opini teoritis) - bukti (dapat berupa foto/gambar cetak) - Argumen tandingan (opini) - penutup 3. Carilah referensi melalui jurnal googleschoolar / googlecendekia (tidak boleh menggunakan google biasa) 4. Tulis tangan dengan kertas polio bergaris (sertakan nama dan kelas) 5. Dikumpulkan Sabtu Depan 6. Tidak diperbolehkan menggunakan chatgpt karena akan dicek melalui Turnitin 7. Tidak diperkenankan menjiplak Terima kasih

1

5.0

Jawaban terverifikasi

Pro dan Kontra Puisi Esai Selama ini, kita mengenal beberapa jenis puisi seperti puisi deskriptif, puisi lirik, puisi naratif, dan lain sebagainya. Namun, bagaimana jika kemudian muncul puisi esai sebagai jenis puisi baru. Hal inilah yang menjadi polemik atau kontroversi di kalangan penyair dan pemerhati sastra pada beberapa tahun lalu. Perdebatan pun terjadi cukup ramai di media masa cetak maupun elektronik hingga menimbulkan berbagai pro dan kontra. Kalangan penyair dan sastrawan pun beberapa ada yang bersikap mendukung/pro tetapi tidak sedikit pula yang menentang/kontra. Pihak yang mendukung beranggapan bahwa perpuisian Indonesia saat ini mirip dengan kondisi Amerika Serikat sekitar tahun 2006. Pada saat itu, puisi makin sulit dipahami dan seakan berada di wilayah yang lain. Penulisannya mengalami kebuntuan dan tidak mengalami perubahan berarti selama puluhan tahun. Munculnya puisi esai dianggap sebagai upaya menjadikan puisi dekat dan dapat mudah dipahami masyarakat umum. Hal ini terutama ditunjukan dengan kehadiran catatan kaki yang merupakan upaya menjelaskan dan mengaitkan isi puisi dengan konteks sosial di luar puisi. Beberapa pihak yang mendukung bahkan tergerak untuk memunculkan angkatan baru puisi esai selain angkatan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini ditunjukan dengan penerbitan 34 buku puisi esai di 34 provinsi di seluruh Indonesia yang melibatkan 170 orang dari kalangan penyair, aktivis, penulis, jurnalis, hingga peneliti. Dalam penyebarannya, puisi esai saat ini bahkan sudah mencapai beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, dan Thailand. Adapun, pihak yang menentang berargumen bahwa puisi pada dasarnya identik dengan tulisan fiksi dan bersifat imajinatif. Hal ini berbeda dengan esai yang merupakan teks yang bersifat faktual dan realistis sehingga keduanya tidak bisa gabungkan. Selain itu, terkait klaim beberapa pihak sebagai pencipta pertama jenis puisi esai yang beredar dianggap menyesatkan. Hal ini karena puisi semacam itu bukanlah hal yang baru sebab sebenarnya telah ada sejak masa Alexander Pope, penyair Inggris abad ke 18. Beberapa penyair Indonesia juga pernah menulis puisi dengan tema sosial berbentuk transparan dan memiliki catatan kaki sejenis puisi esai. Beberapa pihak juga menyoroti masifnya gerakan puisi esai karena adanya pihak tertentu yang menjadi sponsor dan mendanai dengan maksud dan tujuan tertentu seperti popularitas dan elektabilitas. Apapun itu, pro kontra kemunculan puisi esai saat ini memang tak terhindarkan. Perdebatan pun tetap berlanjut hingga kini. Sekali pun demikian, diakui atau tidak, aksistensi puisi esai akhirnya menjadi fenomena tersendiri dalam dunia sastra. Dalam sudut pandang positif, hal ini menunjukan kreativitas sastrawan Indonesia dan dapat mengaktifkan kembali diskusi intelektual sesama penyair, sastrawan, maupun masyarakat luas tentang perpuisian Indonesia. Mungkin suatu nanti ada penjelasan dan tempat tersendiri puisi esai. Bahkan hal ini mungkin menjadi pembuka kemunculan jenis puisi- puisi baru lainnya yang menambah dinamika perpuisian dan sastra Indonesia. Semoga. Setelah itu analisislah 1.bagian isu 2.bagian isi/argumen 3.kesimpulan 4.saran

2

0.0

Jawaban terverifikasi

Iklan