Budaya merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia. Ada berbagai macam suku dan budaya yang dapat kita temukan di berbagai pulau di Indonesia. Budaya tersebut tidak hanya mencerminkan kekayaan seni yang ada di Indonesia. Tetapi juga mengajari bagaimana keragaman budaya berbagai suku di Indonesia dalam menghadapi bencana atau sering kita sebut dengan kearifan lokal.Letak Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia berdampak terhadap tingginya potensi bencana. Tingginya potensi bencana ini memaksa nenek moyang kita untuk belajar bagaimana cara menghadapi atau memitigasi bencana dan saat ini cara tersebut menjadi satu budaya yang terbalut dalam kearifan lokal bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih dipelihara oleh masyarakat lokal di Indonesia.
Kearifan lokal smong di Pulau simeulue telah ada sejak 1907 dan telah terbukti mampu menyelamatkan puluhan ribu jiwa dari smong atau tsunami pada 26 Desember 2004. Kearifan lokal smong memiliki hubungan dekat dengan mitigasi bencana tsunami secara tradisional, dan telah disampaikan melalui puisi-puisi yang terkandung dalam manafi-nafi (cerita rakyat), mananga-nanga (lagu pengantar tidur), nandong (bersenandung) yang telah diperkenalkan pada keturunan dari buaian sampai usia tua (Gadeng et al. 2017) kearifan lokal ini terbukti efektiv mengingat pada saat itu belum ada system peringatan dini terhadap ancaman bencana tsunami di pulau tersebut. Jika di Simelue ada kearifan lokal bernama smong, di Pariaman ada tradisi bernama “hoyak tabuik” (prosesi mengguncaang patung Tabot), adanya penanaman tanaman cemara dan mangrove di pesisir pantai, serta keyakinan akan terlindungi oleh pulau-pulau kecil di sekitar laut Kota Pariaman.Tradisi yang dilakukan masyarakat Kota Pariaman sebagai antisipasi dalam mitigasi bencana tsunami dan gempa bumi di kota pariaman.
Dalam menghadapi gempa bumi masyrakat di berbagai daerah di Indonesia juga mempunyai kearifan lokal yang hingga saat ini masih dipertahankan, salah satu yang paling terkenal adalah kearifan lokal dalam menghadapi gempa bumi yang di pertahankan oleh Suku Baduy. Dalam mengahadapi bencana gempa bumi Masyarakat Baduy menyiasatinya dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah. Dalam hal ini, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan-bahan yang lentur, seperti bambu, ijuk, dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak. Rumah juga tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah. Hal ini dilakukan supaya rumah tidak mudah roboh selain itu dalam pembuatannya rumah tidak boleh menggunakan paku dan hanya menggunakan sasak dan tali ijuk (Suparmini dkk, 2014). Hingga saat ini tradisi tersebut masih dipegang.
Perubahan iklim membawa dampak yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak akibat perubahan iklim tersebut adalah curah hujan yang tinggi dan tidak beraturan hal ini diperparah lagi dengan penebangan pohon yang dilakukan oleh manusia sehingga menyebabkan Banjir bandang dan longsor. Salah satu Desa yang siap akan hal itu adalah Desa Kampung Naga di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Di Desa ini Kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga sekarang.