Iklan
Pertanyaan
Perhatikan kutipan buku fiksi berikut !
"Kau masih baru tamat sekolah. Kau belum pantas berpacaran. Aku tak ingin kau berhubungan dengan si tukang kredit itu."
Uni Ida hanya diam dengan menekukkan wajah ke lantai. Tak berani menatap wajah Abak.
"Aku tak ingin lagi mendengar bila kau berjumpa dengannya. Aku merasa dia bukan orang-orang baik jangan pernah berhubungan dengan orang yang tak tahu asal-usulnya. Kau mengerti?"
Uni Ida tak menyahut kata-kata Abak. Mulutnya membisu. Tubuhnya kaku. Ia serupa patung. Tapi air mata Uni Ida tumpah. Membasahi pipinya. Dan Abak tidak memikirkan air mata. Bagi Abak, keputusannya tak boleh dilanggar. Mak tak berani menyahut. Mak hanya diam. Kaku. Tapi di akhir pertemuan malam itu, Abak sempat menyalahkan Mak.
"Ini ulahmu, mengundang. si tukang kredit itu datang ke rumah," kata Abak.
Seperti Uni Ida. Mak juga hanya diam.
Di hari berikutnya, Mak tidak pernah lagi menitipkan uang pada Uni Ida. Ini adalah salah satu cara agar Uni Ida dan si Tukang kredit itu tidak pernah lagi berjumpa. Setiap tukang kredit itu datang ke rumah, Maklah yang memberikan uang cicilannya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada si tukang kredit itu setelah dia tidak berjumpa dengan Uni Ida untuk beberapa lama. Yang kuingat tentang Uni Ida adalah bahwa setiap malam datang, Uni Ida tidak pernah lagi keluar kamar. Mukanya terlihat murung setiap hari. Dia pun sudah tidak banyak bicara. Dan Abak, tidak pernah hirau pada perubahan sikap Uni Ida itu.
Aku tentu kasihan pada Uni Ida kala itu. Beberapa kali aku sengaja membawakan makanan ke kamarnya. Tapi setiap makanan yang pernah kubawakan, tak pernah dimakan Uni Ida. Begitu juga bila aku menyapanya. Uni Ida tak pernah menyahut.
Suatu sore, aku mendengar suara gaduh di depan rumah kami. Dengan langkah gegas aku menyusul asal suara itu. Sesampai di pohon nangka, di samping rumah, kulihat Abak sedang mendorong tubuh si tukang kredit itu agar meninggalkan rumah. Di teras rumah, Mak memegangi tubuh Uni Ida yang sedang menangis.
"Pergi kau! Pergi! Pergi!" Berulang-ulang Abak mengucapkan kata-kata itu dengan lantang.
"Jangan pernah lagi kau injak rumahku ini. Pergi! Pergi!" Abak baru berhenti berteriak setelah tubuh si tukang kredit itu hilang di balik semak dan sebatang pohon asam kandis. Sedangkan Uni Ida, tak henti-hentinya menangis, kadang seperti orang meraung. Suaranya mengalahkan kicauan suara burung. dan pekikan monyet-monyet liar yang hendak mencuri nasi basi jemuran Mak.
Dikutip dari: Farizal Sikumbang, "Penagih Hutang Bersepeda. Kumbang" dalam Kasur Tanah, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2018
Tentukan unsur-unsur intrinsik kutipan buku fiksi tersebut !
Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb
Habis dalam
02
:
14
:
45
:
55
Iklan
F. Saputri
Master Teacher
10
0.0 (0 rating)
Iklan
RUANGGURU HQ
Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860
Produk Ruangguru
Bantuan & Panduan
Hubungi Kami
©2025 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia