Tuntuan reformasi untuk menurunkan Presiden Soeharto terjadi akibat penyimpangan bidang politik terutama pada sistem pemilu. Selama 6 kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) Golkar selalu memenangkan pemilu dan otomatis menjadikan Soeharto sebagai presiden. Hal tersebut terjadi karena pembatas partai politik yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu, yaitu Golongan Karya, Partai persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selain pembatasan tersebut Golkar memobilisasi PNS untuk memilih Golkar, apabila tidak jenjang karir menjadi ancaman. Pemilu yang terus dimenangkan oleh Golkar menyebabkan tidak adanya suksesi kepemimpinan ke presiden selanjutnya.
Pada Pemilu 1997 terjadi pemboikotan terhadap hasil pemilu yang dianggap curang. Hal tersebut lahir dari serangkai peristiwa mulai dari kisruh PDI yang melahirkan PDIP hingga protes mahasiswa yang memuncak pada Mei 1998.
Selain itu, pemerintah juga membatasi kebebasan pers dan organisasi kemasyarakatan sehingga masyarakat tidak bisa menyampaikan aspirasinya. Jika ada yang melanggar, maka akan ada sanksi yang menimpanya.
Di bidang hukum, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Tragedi Trisakti, Tragedi Priok, dan peristiwa lainnya yang dilakukan pada masa Orde Baru. Selain itu, penegakan hukum cenderung tidak adil bagi masyarakat kurang mampu.
Dengan demikian, penyimpangan yang dilakukan Orde Baru adalah kecurangan dalam pemilu, membatasi kebebasan pers dan organisasi masyarakat, serta melanggar HAM.