Iklan

Iklan

Pertanyaan

Pagi hari buruh Kasan Ngali dikejutkan: papan nama Bank Kredit tergeletak di tanah.. Mereka mengerumuni, membiarkan papan nama itu terbujur. Majikan harus diberi tahu. Mereka mulai menerka-nerka siapa yang gatal tangan itu. Mereka berbisik: "Paijo", "Sst, Zaitun", "Pak Mantri", "Polisi". Belum habis mereka menebak-nebak, orang-orang pasar di pekarangan itu pun ramai pula. Los-los pasar Kasan Ngali roboh! Tidak ada badai, tidak ada topan! Pasti tangan orang yang ingin pendek umurnya. Yang ingin cupet rezekinya, yang ingin dekat kuburnya. Para pedagang yang kehilangan los, lalu pergi ke pasar lama. di seberang. Kembali ke pasar lama! Mereka tidak mau kena perkara. Cari tempat lain, kalau tidak suka urusan. Buruh-buruh Kasan Ngali menegur mereka. Mereka mengangkat hahu. Tidak seorang pun tahu. Tentu malam-malam hal itu terjadi. Di, seberang jalan, Paijo berdiri keheranan pula. Ia melihat orang berjalan dengan dagangan ke pasar lama. Bagaimana los bisa terobrak-abrik macam itu? Gedek-gedek berantakan di tanah. Bambunya menyelonong ke mana-mana. Tidak ada yang bisa berbuat. Buruh-buruh itu hanya berdiri saja, menantikan Kasan Ngali bangun dan bersiap-siap. Mereka melihat juga Paijo berdiri di seberang jalan. Lalu dengan suara keras mereka omong. "Saya tempeleng, siapa orangnya." "Jotos!" "Patah tangannya!" Namun, mereka tidak berani dengan terus terang menuduh Paijo. Dan memang Pai jo pun keheranan. Dan tidak tahan mendengar omongan itu tukang parkir menyingkir. Mencari urusan dengan orang-orang konyol tidak ada gunanya, berpikirnya. Lalu ia pergi. Kasan Ngali sudah bangun. Ia diserbu buruh-buruhnya. "Bagaimana, Pak?" Kasan Ngali hanya mengawasi saja. Tidak tampak terkejut. Bayangan mereka ialah majikannya itu akan marah sejadi,-jadinya! Tidak, hanya diam memandang hasilnya. Orang-orang mulai lagi. "Siapa berbuat ini?" "Mau saya hantam!" "Cabik-cabik bajunya!" "Pukul kepalanya!" "Lumatkan tubuhnya!'° Muka Kasan Ngali pucat sedikit. Ia menatap . buruh itu satu-satu. Dan mereka diam. Kata Kasan Ngali mengakhiri: "Tutup mulut kalian. Tutup!" "Kami tak tahu apa-apa, Pak." "Kami datang sudah begini!" "Kalau saja kamu tahu!" Kasan Ngali meronta. "Tutup, kataku!" Tidak ada yang membantah lagi. Kasan Ngali memberi perintah. "Tidak usah diurus siapa yang berbuat ini. Tugasmu ialah usir semua orang dari pekarangan. Tutup pintu pagar. Jangan seorang pun dibolehkan lagi ke sini. Kerjakan, jangan bertanya. Aku benci pertanyaan!" Buruh-buruh itu masih belum bergerak. Belum jelas bagi. mereka bahwa itu memang keputusan Kasan Ngali. "Apalagi! Pergi. Kau kira aku tidak waras, ya!" Mereka pun bubar. Mereka bekerja juga. Orang-orang yang sedang mbeber dagangan di pekarangan itu diusir. Mereka memprotes. Siapa menyuruh kami ke sini dulu! Weh, enaknya saja. Siapa mau memperbaiki kalau begini. Ayo pergi! Mau enaknya tak mau susahnya! Mau nangka, tidak mau getahnya! Dasar! Dan yang merasa tak berhak pergi juga. Papan nama itu masih juga tergeletak. Mereka ingin tahu bagaimana sikap Kasan Ngali. Tetapi, laki-laki itu sudah bersembunyi di dalam rumah. Aneh juga. Kok, tenang-tenang saja, Pak Kasan! Paijo mengelilingi pasarnya. Tidak peduli lagi dengan pasar seberang jalan. Dilihatnya juga pedagang yang datang dari pasar baru di seberang. Pura-pura tidak tahu saja. Sekarangpasamya sudah bersih. Boleh lihat. Pedagang akan digiringnya ke dalam, tunggulah saatnya. Kemudian, penertiban soal karcis itu. Kerja itu harus bertahap. Kesabarannya akan membawa hasil. Pak Mantri semakin benar di matanya. Orang tua itu telah banyak mengajamya. Buktinya, sebagian orang kembali ke pasar lama. Mulai disenanginya orang-orang pasar. Kerja di pasar itu menyenangkan dan dimulai lagi ramah-tamah. Burung-burung sudah terbang tinggi, entah ke mana larinya. Tidak ada lagi tongkat-tongkat pemukul di pasar. Paijo kembali dengan senyurn..Mereka cepat melupakan keributan kemarin. Memang ada burung-burung, tetapi itu tidak mengganggu lagi. Apalagi Paijo memakai seragam yang baru. Soalnya, kerja kasar membersihkan pasar itu sudah selesai. Kantor sudah putih kapurnya, pasar sudah bersih dari sampah. Genting-genting sudah tidak pecah. "Wah, sekarang lain," tegur penjual nasi gulai. Paijo mengamati bajunya. "Apa yang lain?" "Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi!" Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali tampaknya. "Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang," katanya. "Karcis sudah lama ditarik?" "Habis!" "Salahmu sendiri? Malas!" "Sekarang, mana uang karcis!" Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar. Disahutnya tas yang tergantung dan ternyata berdebu. Dikeluarkannya karcis-karcis. Tanpa tas itu ia bergegas keluar. Pak Mantri melihatnya juga dengan heran. Paijo hanya tersenyum saja. Ditemuinya kembali orang-orang pasar. Dan beberapa orang mulai lagi membayar karcisnya! Penjual nasi itu membuatnya berani. Dan hari itu Paijo sibuk kembali. Tidak diduganya akan dimulai juga pekerjaan itu. Tukang karcis menarik karcis kembali! Hui! Kantong Paijo mulai terisi. Karcis-karcis diulurkan dan menerima uang. Tas itu mestinya dibawa, temyata diperlukan juga sebenarnya. Tangannya gemetar karena kegirangan. Hidup orang-orang pasar! Ah, hari besar apa ini! Pak Mantri akan memujinya. Pasar hidup kembali. Hui! Uang-uang kecil dari dompet pedagang berpindah ke saku Paijo. Karcis-karcis kecil berpindah dari tangan Paijo ke pedagang-pedagang. Mana uang karcis! Dan orang-orang mengulurkan! Keberuntungan itu dimulai dari menghormati diri sendiri dan pekerjaan. Pasar bersih, los-los terpelihara, kantor di kapur putih. Dan uang kembali mengalir. Orang-orang masih menghormatinya juga. Dan juga mereka yang dulu pindah ke pasar Ka,san Ngali telah membayar kembali uang karcis. Tidak seorang pun berdalih lagi. Paijo menarik uang dari orang-orang yang berjualan di jalan. "Sekarang boleh pergi ke los pasar. Ditanggung bersih! Teduh! Aman!" Sementara itu diliriknya rumah Kasan Ngali. Dan di toko itu terjadi keributan. Kasan Ngali sedang memarahi orang yang berderet antre. Mereka sedang menantikan giliran untuk mendapat kredit dari Bank Kredit. "Sekarang sudah bubar! Uang siapa kalian kira! Uang buyutmu! Uang kakekmu! Tidak ada lagi kredit! Tidak ada lagi uang! Pemerasan!" Mereka yang antre itu membubarkan diri. Malu juga mendapat umpatan macam itu. Mereka utang juga memberi bunga, dan akan dibayar kembali bukan dikemplang. Wah, mentang-mentang baru kaya! Tetapi mereka diam saja, hanya dalam hati mereka mengumpat. Yang tampak di muka Kasan Ngali ialah mereka mengundurkan diri dan menyelinap di antara orang banyak yang mengumpul di situ untuk menonton. Tidak ada bedanya, mereka yang menonton saja dan mereka yang mau utang. Di belakang Kasan Ngali, di tengah orang banyak, baru terdengar suara-suara: "Dasar kikir! Dasar riba! Uang panas! Dasar kere munggah bale! Tidak ingat asalnya, lu! Tidak ingat kalau dulu gombal saja tak punya!" Dikutip darl: Kuntowijoyo, Pasar , Yogyakarta, Diva Press, 2017 Jelaskan nilai-nilai dalam kutipan novel tersebut.

    Pagi hari buruh Kasan Ngali dikejutkan: papan nama Bank Kredit tergeletak di tanah.. Mereka mengerumuni, membiarkan papan nama itu terbujur. Majikan harus diberi tahu. Mereka mulai menerka-nerka siapa yang gatal tangan itu. Mereka berbisik: "Paijo", "Sst, Zaitun", "Pak Mantri", "Polisi". Belum habis mereka menebak-nebak, orang-orang pasar di pekarangan itu pun ramai pula. Los-los pasar Kasan Ngali roboh! Tidak ada badai, tidak ada topan! Pasti tangan orang yang ingin pendek umurnya. Yang ingin cupet rezekinya, yang ingin dekat kuburnya.
    Para pedagang yang kehilangan los, lalu pergi ke pasar lama. di seberang. Kembali ke pasar lama! Mereka tidak mau kena perkara. Cari tempat lain, kalau tidak suka urusan. Buruh-buruh Kasan Ngali menegur mereka. Mereka mengangkat hahu. Tidak seorang pun tahu. Tentu malam-malam hal itu terjadi. Di, seberang jalan, Paijo berdiri keheranan pula. Ia melihat orang berjalan dengan dagangan ke pasar lama. Bagaimana los bisa terobrak-abrik macam itu? Gedek-gedek berantakan di tanah. Bambunya menyelonong ke mana-mana.
    Tidak ada yang bisa berbuat. Buruh-buruh itu hanya berdiri saja, menantikan Kasan Ngali bangun dan bersiap-siap. Mereka melihat juga Paijo berdiri di seberang jalan. Lalu dengan suara keras mereka omong.
    "Saya tempeleng, siapa orangnya."
    "Jotos!"
    "Patah tangannya!"
    Namun, mereka tidak berani dengan terus terang menuduh Paijo. Dan memang Pai jo pun keheranan. Dan tidak tahan mendengar omongan itu tukang parkir menyingkir. Mencari urusan dengan orang-orang konyol tidak ada gunanya, berpikirnya. Lalu ia pergi.
     Kasan Ngali sudah bangun. Ia diserbu buruh-buruhnya.
    "Bagaimana, Pak?"
    Kasan Ngali hanya mengawasi saja. Tidak tampak terkejut. Bayangan mereka ialah majikannya itu akan marah sejadi,-jadinya! Tidak, hanya diam memandang hasilnya. Orang-orang mulai lagi.
    "Siapa berbuat ini?"
    "Mau saya hantam!"
    "Cabik-cabik bajunya!"
    "Pukul kepalanya!"
    "Lumatkan tubuhnya!'°
    Muka Kasan Ngali pucat sedikit. Ia menatap . buruh itu satu-satu. Dan mereka diam. Kata Kasan Ngali mengakhiri: "Tutup mulut kalian. Tutup!"
    "Kami tak tahu apa-apa, Pak."
    "Kami datang sudah begini!"
    "Kalau saja kamu tahu!"
    Kasan Ngali meronta.
    "Tutup, kataku!" Tidak ada yang membantah lagi. Kasan Ngali memberi perintah.
    "Tidak usah diurus siapa yang berbuat ini. Tugasmu ialah usir semua orang dari pekarangan. Tutup pintu pagar. Jangan seorang pun dibolehkan lagi ke sini. Kerjakan, jangan bertanya. Aku benci pertanyaan!"
    Buruh-buruh itu masih belum bergerak. Belum jelas bagi. mereka bahwa itu memang keputusan Kasan Ngali.
   "Apalagi! Pergi. Kau kira aku tidak waras, ya!"
    Mereka pun bubar. Mereka bekerja juga. Orang-orang yang sedang mbeber dagangan di pekarangan itu diusir. Mereka memprotes. Siapa menyuruh kami ke sini dulu! Weh, enaknya saja. Siapa mau memperbaiki kalau begini. Ayo pergi! Mau enaknya tak mau susahnya! Mau nangka, tidak mau getahnya! Dasar!
    Dan yang merasa tak berhak pergi juga.
    Papan nama itu masih juga tergeletak. Mereka ingin tahu bagaimana sikap Kasan Ngali. Tetapi, laki-laki itu sudah bersembunyi di dalam rumah. Aneh juga. Kok, tenang-tenang saja, Pak Kasan!
    Paijo mengelilingi pasarnya. Tidak peduli lagi dengan pasar seberang jalan. Dilihatnya juga pedagang yang datang dari pasar baru di seberang. Pura-pura tidak tahu saja. Sekarangpasamya sudah bersih. Boleh lihat. Pedagang akan digiringnya ke dalam, tunggulah saatnya. Kemudian, penertiban soal karcis itu. Kerja itu harus bertahap. Kesabarannya akan membawa hasil. Pak Mantri semakin benar di matanya. Orang tua itu telah banyak mengajamya. Buktinya, sebagian orang kembali ke pasar lama.
    Mulai disenanginya orang-orang pasar. Kerja di pasar itu menyenangkan dan dimulai lagi ramah-tamah. Burung-burung sudah terbang tinggi, entah ke mana larinya. Tidak ada lagi tongkat-tongkat pemukul di pasar. Paijo kembali dengan senyurn..Mereka cepat melupakan keributan kemarin. Memang ada burung-burung, tetapi itu tidak mengganggu lagi.
    Apalagi Paijo memakai seragam yang baru. Soalnya, kerja kasar membersihkan pasar itu sudah selesai. Kantor sudah putih kapurnya, pasar sudah bersih dari sampah. Genting-genting sudah tidak pecah.
    "Wah, sekarang lain," tegur penjual nasi gulai.
    Paijo mengamati bajunya.
    "Apa yang lain?"
    "Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi!"
    Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali tampaknya. "Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang," katanya.
    "Karcis sudah lama ditarik?"
    "Habis!"
    "Salahmu sendiri? Malas!"
    "Sekarang, mana uang karcis!"
    Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar. Disahutnya tas yang tergantung dan ternyata berdebu. Dikeluarkannya karcis-karcis. Tanpa tas itu ia bergegas keluar. Pak Mantri melihatnya juga dengan heran. Paijo hanya tersenyum saja. Ditemuinya kembali orang-orang pasar. Dan beberapa orang mulai lagi membayar karcisnya!
    Penjual nasi itu membuatnya berani. Dan hari itu Paijo sibuk kembali. Tidak diduganya akan dimulai juga pekerjaan itu. Tukang karcis menarik karcis kembali! Hui! Kantong Paijo mulai terisi.
    Karcis-karcis diulurkan dan menerima uang. Tas itu mestinya dibawa, temyata diperlukan juga sebenarnya. Tangannya gemetar karena kegirangan. Hidup orang-orang pasar! Ah, hari besar apa ini! Pak Mantri akan memujinya. Pasar hidup kembali. Hui! Uang-uang kecil dari dompet pedagang berpindah ke saku Paijo. Karcis-karcis kecil berpindah dari tangan Paijo ke pedagang-pedagang. Mana uang karcis! Dan orang-orang mengulurkan!
    Keberuntungan itu dimulai dari menghormati diri sendiri dan pekerjaan. Pasar bersih, los-los terpelihara, kantor di kapur putih. Dan uang kembali mengalir. Orang-orang masih menghormatinya juga. Dan juga mereka yang dulu pindah ke pasar Ka,san Ngali telah membayar kembali uang karcis. Tidak seorang pun berdalih lagi.
    Paijo menarik uang dari orang-orang yang berjualan di jalan.
    "Sekarang boleh pergi ke los pasar. Ditanggung bersih! Teduh! Aman!"
    Sementara itu diliriknya rumah Kasan Ngali. Dan di toko itu terjadi keributan. Kasan Ngali sedang memarahi orang yang berderet antre. Mereka sedang menantikan giliran untuk mendapat kredit dari Bank Kredit.
    "Sekarang sudah bubar! Uang siapa kalian kira! Uang buyutmu! Uang kakekmu! Tidak ada lagi kredit! Tidak ada lagi uang! Pemerasan!" Mereka yang antre itu membubarkan diri. Malu juga mendapat umpatan macam itu. Mereka utang juga memberi bunga, dan akan dibayar kembali bukan dikemplang. Wah, mentang-mentang baru kaya! Tetapi mereka diam saja, hanya dalam hati mereka mengumpat. Yang tampak di muka Kasan Ngali ialah mereka mengundurkan diri dan menyelinap di antara orang banyak yang mengumpul di situ untuk menonton. Tidak ada bedanya, mereka yang menonton saja dan mereka yang mau utang. Di belakang Kasan Ngali, di tengah orang banyak, baru terdengar suara-suara: "Dasar kikir! Dasar riba! Uang panas! Dasar kere munggah bale! Tidak ingat asalnya, lu! Tidak ingat kalau dulu gombal saja tak punya!"

Dikutip darl: Kuntowijoyo, Pasar, Yogyakarta, Diva Press, 2017


Jelaskan nilai-nilai dalam kutipan novel tersebut. 

  1. ...undefined 

  2. ...undefined 

Iklan

A. Tyas

Master Teacher

Mahasiswa/Alumni Universitas Sebelas Maret

Jawaban terverifikasi

Iklan

Pembahasan

Pembahasan Nilai-nilai dalam kutipan novel adalah nilai moral yaitu harus ramah dengan orang sekitar apalagi yang sering kita temui seperti misalnya di tempat kita kerja maka kebaikan akan menyertai. Bukti :terdapat pada paragraf yang menuliskan bahwa "Kerja itu harus bertahap. Kesabarannya akan membawa hasil" serta paragraf yang menuliskan "Keberuntungan itu dimulai dari menghormati diri sendiri dan pekerjaan".

Pembahasan 

Nilai-nilai dalam kutipan novel adalah nilai moral yaitu harus ramah dengan orang sekitar apalagi yang sering kita temui seperti misalnya di tempat kita kerja maka kebaikan akan menyertai.
Bukti :  terdapat pada paragraf yang menuliskan bahwa "Kerja itu harus bertahap. Kesabarannya akan membawa hasil" serta paragraf yang menuliskan "Keberuntungan itu dimulai dari menghormati diri sendiri dan pekerjaan".

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

7

Iklan

Iklan

Pertanyaan serupa

Nilai yang terkandung dalam kutipan novel tersebut adalah ....

130

3.5

Jawaban terverifikasi

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

Coba GRATIS Aplikasi Roboguru

Coba GRATIS Aplikasi Ruangguru

Download di Google PlayDownload di AppstoreDownload di App Gallery

Produk Ruangguru

Hubungi Kami

Ruangguru WhatsApp

+62 815-7441-0000

Email info@ruangguru.com

info@ruangguru.com

Contact 02140008000

02140008000

Ikuti Kami

©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia