Pada masa Orde Baru, Pancasila dijadikan sebagai dasar dari demokrasi, yaitu bernama Demokrasi Pancasila. Demokrasi ini didasarkan pada semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mencapai kesejahteraan sosial. Untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila secara total, Presiden Soeharto menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bangsa Indonesia. Pancasila dijadikan sebagai satu-satunya asas bagi semua partai politik dan juga Golkar. Selain partai politik, Pancasila juga wajib dijadikan asas bagi semua organisasi kemasyarakatan. Pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal menimbulkan banyak dampak, seperti penolakan dari berbagai umat beragama, khususnya umat Islam. Pada tanggal 6 November 1982, lima organisasi yang mewakili lima agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha) mengeluarkan pernyataan bahwa tetap mempertahankan asas keagamaan masing-masing dan menolak untuk menggunakan asas tunggal Pancasila.
Muncul pula reaksi keras dari Kelompok 50 dengan mengeluarkan ‘Petisi 50’. Tokoh-tokoh dalam Kelompok 50 seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, M. Jasin, A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan lain-lain. Mereka membubuhkan tanda tangan di atas pernyataan yang diberi nama “Ungkapan Keprihatinan”. Petisi tersebut berisi mengenai Presiden Soeharto telah keliru dalam menafsirkan Pancasila untuk mengancam lawan-lawan politiknya.
Jadi, dampak dari diberlakukannya asas tunggal Pancasila di bidang politik adalah adanya ketegangan antara pemerintah dengan partai-partai serta organisasi kemasyarakatan.