Hubungan antara VOC dan Kesultanan Gowa Tallo sempat berlangsung baik, hal ini ditandai dengan adanya pembukaan kantor dagang VOC di Makassar. Akan tetapi, dalam perkembangannya hubungan ini retak akibat keinginan balas dendam VOC karena Gowa Tallo tidak membantunya dalam melawan Portugis dan Spanyol. Di samping itu, kebijakan monopoli dagang VOC,terutama rempah-rempah, yang merugikan rakyat Makassar karena tidak diperbolehkan berdagang di Maluku dan Kep. Banda.
Perlawanan terhadap VOC semakin membesar setelah Sultan Hasanuddin (1653-1669), yang dikenal juga dengan julukan "Ayam Jantan dari Timur". Ia adalah raja Gowa Tallo yang menolak monopoli dan keberadaan VOC di Makassar. Dalam menghadapi perlawanan rakyat Makassar, VOC menggunakan strategi divide et impera. VOC memanfaatkan penguasa wilayah taklukan Makassar untuk membantu melawan Sultan Hasanuddin. Salah satunya adalah Raja Bone, Aru Palaka. Perlahan-lahan, perlawanan Sultan Hasanuddin pun berakhir setelah satu per satu benteng pertahanannya direbut. Pada 18 November 1667, ditandatangani Perjanjian Bongaya yang berisi sebagai berikut:
- Kesultanan Gowa-Tallo mengakui monopoli perdagangan VOC.
- Pedagang asing, selain Belanda, dilarang berniaga di wilayah kekuasaan Gowa-Tallo.
- Kesultanan Gowa-Tallo harus membayar ganti rugi perang.
- VOC diperbolehkan mendirikan benteng pertahanan (Benteng Rotterdam).
- Kesultanan Gowa-Tallo harus mengakui kedaulatan Kerajaan Bone.
Pada pelaksanaannya, Sultan Hassanudin merasa perjanjian Bongaya banyak merugikan Kesultanan Gowa-Tallo, oleh sebab itu dilakukan serangan kembali kepada VOC pada 1668. Akan tetapi, serangan Sultan Hassanudin tersebut dapat dipatahkan oleh VOC dan membuat perjanjian Bongaya ditandatangani ulang pada 1669. Setelah penandatanganan ulang dan sepeninggal Sultan Hassanudin, pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo semakin berkurang di wilayah Indonesia Timur.
Jadi, jawabannya yang tepat adalah B