Musik keroncong adalah perpaduan antara musik Portugis dengan musik Indonesia. Perpaduan musik seperti ini adalah bentuk dari akulturasi budaya. Akulturasi budaya menurut Koentjaraningrat adalah proses sosial yang umumnya timbul karena masuknya unsur budaya asing sedemikian rupa, dan terjadi dalam waktu terus menerus. Sehingga unsur-unsur budaya asing lambat laun pun diterima dan menjadi bagian dari budayanya sendiri.
Hal tersebut tergambar dari adanya pertemuan dua kebudayaan sehingga membentuk perpaduan tanpa menghilangkan unsur budaya asli. Kekalahan Portugis dari Belanda pada 1648 telah menyebabkan Portugis terusir dari Tanah Malaka dan Maluku yang mereka kuasai. Dalam kondisi tersebut, para budak-budak niaga mereka, yang merupakan bangsa Moor (etnis keturunan Arab-Afrika di Portugal), serta etnis India dari daerah Bengali, Malabar dan Goa, menjadi tawanan pihak Belanda. Oleh Belanda, para budak tersebut dibawa dan ditahan di Batavia, sebelum akhirnya dibebaskan pada 1661. Para budak yang tak punya pilihan akhirnya menetap di Batavia, di sekitar rawa-rawa Cilincing, lebih khusus di Kampung Tugu—tempat yang kemudian melahirkan varian keroncong tugu. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan berburu. Sesekali, ketika senggang, mereka memainkan kesenian fado, atau dalam tradisi bangsa Moor disebut Moresco, yakni tradisi bertutur dengan iringan musik. Umumnya, cerita yang dibawakan berbicara tentang kesedihan. Sejak saat itu, bermula dari Batavia, kesenian tersebut berakuluturasi dengan kebudyaan Indonesia dan mendapatkan nama baru: keroncong.
Jadi, jawabannya adalah A. Akulturasi