Perlawanan Raja Sisimangaraja XII di Sumatera Utara terhadap Belanda disebabkan karena raja tidak senang dengan daerah kekuasaannya yang diperkecil oleh pemerintah kolonial sebagai dampak dari usaha Pax Netherlandica Belanda. Selain itu, Raja Sisimangaraja XII juga menolak kehadiran misionaris yang mulai mengembangkan agama Kristen di Silindung.
Pada bulan Februari 1878, raja melancarkan serangan kepada pos pasukan Belanda di Bahal Baru, dekat Tarutung, Tapanuli Utara, Sulawesi Utara. Pertempuran meluas hingga ke beberapa daerah seperti Buntur, Bahal Batu, Balige, Si Borang-Borang, dan Lumban. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Batak atau Perang Tapanuli. Di tahun 1894, Belanda berusaha untuk menguasai Bakkara yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Batak sehingga membuat Raja Sisimangaraja XII harus melarikan diri beserta pengikutnya ke Dairi Pakpak.
Sejak tahun 1904, perlawanan mulai melemah dengan Belanda yang berhasil memukul mundur pasukan Raja Sisimangaraja XII. Walaupun istri dan dua anaknya berhasil ditangkap oleh pasukan gerak cepat Belanda, Marsose, pada tahun 1907, namun sang raja berhasil melarikan diri ke Simsim. Perlawanan berakhir setelah Raja Sisingamaraja XII gugur dalam pertempuran pada tanggal 17 Juni 1907.
Jadi, perlawanan Raja Sisimangaraja XII dari Kerajaan Batak disebabkan oleh kebijakan Pax Netherlandica Belanda yang memperkecil daerahnya. Selain itu, raja juga menolak kehadiran para misionaris yang menyebarkan agama Kristen di daerah kekuasaannya. Perang dimulai pada bulan Februari 1878 dengan pasukan Raja Sisimangaraja yang menyerang pos pasukan Belanda di Bahal Baru. Setelah bertahun-tahun lamanya, Perang Batak berakhir dengan gugurnya Raja Sisimangaraja XII dalam pertempuran pada tanggal 17 Juni 1907.