Iklan
Pertanyaan
Taufiq Ismail adalah salah satu sastrawan yang menjadi pelopor Angkatan 66 dan puisi-puisi karyanya tak lekang oleh waktu. Salah satu kumpulan puisi Taufiq Ismail yang cukup fenomenal adalah Tirani dan Benteng. kumpulan puisi ini mampu memotret jalinan sejarah secara gamblang dan tanpa tedeng aling-aling. Kumpulan puisi ini terdiri atas tiga bagian. “Puisi-Puisi Menjelang Tirani dan Benteng” (bagian pertama), “Tirani” (bagian kedua), dan “Benteng” (bagian ketiga). Selain Tirani dan Benteng (1966), karyanya yang lain adalah Buku Tamu Musium Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Aku Hewan (sajak anak-anak,1976), Puisi-Puisi Langit (1990) dan Majoi. Beberapa dari puisinya telah dimusikalisasi oleh beberapa grup musik Indonesia, salah satunya Bimbo (Sejadah Panjang) dan alm. Nike Ardila (Panggung Sandiwara).
“Puisi-Puisi Menjelang Tirani dan Benteng” ditulis antara tahun 1960–1965. Ada 32 judul puisi yang melukiskan gejolak Indonesia menjelang peralihan orde lama menuju orde baru. Taufiq bercerita mengenai perseteruan antara pemerintah dan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada masa itu. “Elegi Buat sebuah Perang Saudara” menggambarkan kekacauan yang terjadi di negara kita. Kekacauan itulah yang menjadi “embrio” ketakutan dan ketidakberdayaan bangsa kita.
Dalam beberapa puisi yang lain, Taufiq menggambarkan kehidupan keluarganya dan masyarakat yang diimpit kesulitan ekonomi pada masa itu. Kesederhanaan yang dituangkan Taufiq pada bait-bait puisinya begitu mengesankan dan menarik kita untuk memasuki sekaligus memahami penderitaan rakyat karena lilitan kemiskinan yang begitu kental. Musim kemarau dan serangan hama yang terjadi pada masa itu membuat panen petani mengalami kegagalan. Keacuhan pemerintah menambah daftar hitam penyebab kelaparan yang terjadi di negeri tercinta ini. Hal ini terlihat jelas pada puisi “Potret di Beranda”, “Syair Orang Lapar”, dan “Catatan Tahun 1965”.
Ditegaskan pula dalam puisinya yang berbentuk catatan harian. Dalam puisi ini Taufiq benar-benar mendambakan kemerdekaan, baik kemerdekaan dalam berkarya maupun kemerdekaan dalam sendi-sendi kehidupan. Hal ini terlihat jelas dalam rangkaian puisinya yang berjudul “2 September 1965”, “Senja”, “Pikiran sesudah Makan Malam”, “September”, dan “Sesudah Dua Puluh Tahun” (setelah merdeka).
Tiran. Tirani. Hanura. Tiga kata yang tak asing. Bangsa kita pernah mengalaminya, menjalaninya, bahkan mengulangnya dalam dekade yang berbeda. Ketika negara membungkam rakyatnya, ketika negara menelanjangi hak warganya, dan ketika negara tak mampu menjadi rumah bagi penduduknya maka saat itulah tiran, tirani bahkan hanura diteriakkan di mana-mana. Delapan belas puisi yang ditulis oleh Taufiq dalam “Tirani” banyak mengungkapkan kepada kita apa yang terjadi pada tahun 1966. Tahun pergolakan, perubahan dan peralihan dari masa orde lama menuju ke orde baru.
Betapa beraninya pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung melalui KAMI dan KAPPI memperjuangkan ketidakadilan dan kebenaran yang dikungkung pada masa itu. Satu per satu dari mereka berjatuhan, merahnya darah mereka menjadi saksi bagi pertiwi. Awan kedukaan ketika pahlawan revolusi gugur belum lagi lenyap, kedukaan lain membayang. Indonesia kembali menangis ketika harus melepaskan tunas-tunas bangsa ke pemakaman (“Sebuah Jaket Berlumur Darah dan Percakapan Angkasa”).
Ketiga bagian dalarn buku kumpulan puisi ini menceritakan hal yang sama, yaitu penderitaan rakyat Indonesia pada masa-masa itu, kemiskinan dan ketidakadilan, perbedaan status antara si miskin dan si kaya, terbelenggunya pemikiran-pemikiran sastrawan, serta munculnya PKI di republik ini. Tirani dan benteng mampu merefleksikan kehidupan sosial masyarakat tempat puisi ini ditulis dengan apik. Kata demi kata, bait demi bait, puisi demi puisi, saling menjalin untuk melukiskan latar sosial, ekonomi, hingga sejarah dengan sangat tepat.
Di sisi lain, cobalah kita merenung sejenak peristiwa besar yang kembali menggores parut di wajah Indonesia. 12 Mei 1998. Mahasiswa kembali turun ke jalan. Peluru kembali ditembuskan. Darah kembali mengalir. Almamater kembali memerah. Tirani dan Benteng memang dipotret Taufik Ismail 42 tahun yang lalu. Namun, sejarah kembali terulang 32 tahun sesudahnya.
Membaca Tirani dan Benteng bagai menjalani napak tilas. Peristiwa lengsernya Soeharto adalah deja vu dari lengsernya Soekarno. Benar adanya ungkapan yang populer di kalangan guru sejarah. Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Semoga apa yang dipotret Taufik Ismail tentang kelamnya sejarah Indonesia tidak akan terulang untuk ketiga kalinya. Semoga dengan membaca Tirani dan Benteng kita mampu belajar banyak agar menjadi lebih bijak.
Sumber: https://zuhriindonesia.blogspot.com/, dengan pengubahan
Kritik sastra tersebut termasuk jenis kritik sastra...
analitik
pragmatik
ekspresif
mimetik
objektif
8 dari 10 siswa nilainya naik
dengan paket belajar pilihan
Habis dalam
01
:
07
:
23
:
11
Iklan
L. Indah
Master Teacher
Mahasiswa/Alumni Universitas Siliwangi
4
4.0 (2 rating)
Iklan
RUANGGURU HQ
Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860
Produk Ruangguru
Bantuan & Panduan
Hubungi Kami
©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia