Kebijakan politik etis lahir setelah sistem tanam paksa di Hindia Belanda dikritik oleh C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum Belanda dan kemudian menjadi tokoh politik etis. Politik etis atau politik balas budi adalah pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Sebenarnya, banyak pihak yang menghubungkan kebijakan politik etis ini dengan tulisan-tulisan dan pemikiran van Deventer, salah satunya pada tulisan yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan). Kritikan tersebut berisi perlunya pemerintah Belanda membayar utang budi dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan. Kritik-kritik ini menjadi perhatian serius dari pemerintah kolonial Belanda dan membuat Ratu Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah jajahan, yang dikenal dengan politik etis. Kebijakan ini dituangkan dalam program Trias van Deventer. Program ini diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander W. F. Idenburg pada tahun 1909 sampai tahun 1916. Ada tiga program penting dalam politik etis, yaitu irigasi, imigrasi, dan edukasi. Irigasi diperlukan untuk membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk pertanian. Migrasi dilakukan untuk mendorong transmigrasi demi keseimbangan jumlah penduduk di berbagai kota pada masa itu. Sedangkan edukasi dilaksanakan untuk memperluas bidang pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Dari tiga program Trias van Deventer, program edukasi menjadi program yang paling berpengaruh bagi masyarakat di Hindia Belanda. Adanya program edukasi ini melahirkan golongan elit baru di Indonesia yang disebut sebagai golongan priyayi. Sekolah-sekolah yang dibentuk oleh pemerintah kolonial ini menerapkan pendidikan gaya barat. Sesuai sekolah, golongan priyayi tersebut banyak yang berprofesi sebagai dokter, guru, jurnalis, dan pegawai pemerintahan. Pergerakan nasional dipimpin oleh para kaum terpelajar. Menurut mereka, perlawanan fisik sudah tidak lagi relevan untuk melawan penindasan pemerintah kolonial. Akhirnya, lahirlah berbagai organisasi kebangsaan untuk pertama kalinya pada kurun waktu 1908 hingga 1920. Terdapat tiga organisasi pergerakan nasional yang lahir pada periode ini, yaitu Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Organisasi-organisasi ini lebih mengedepankan diplomasi ketimbang kekerasan. Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan semakin terarah setelah berbagai organisasi ini lahir. Maka, kebijakan politik etnis berhubungan dengan kebangkitan nasional, karena membawa pengaruh besar bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan. Adanya golongan terpelajar, lahirlah berbagai organisasi kebangsaan yang merupakan dimulainya kebangkitan nasional.
Dengan demikian hubungan politik etis dan Kebangkitan Nasional adalah kebijakan politik etnis membawa pengaruh besar bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat Indonesia mendappatkan pendidikan. Adanya golongan terpelajar, lahirlah berbagai organisasi kebangsaan yang merupakan dimulainya kebangkitan nasional.