Iklan

Iklan

Pertanyaan

Catatan Anak Bangsa: Menjaga Budaya Sunda

(...) Menilik acara kesenian serupa di beberapa daerah. Saya percaya bahwa ada bahasa implisit yang berusaha disampaikan oleh penyelenggara. Secara klise kalimat itu selalu saja : demi menjaga budaya kita (budaya daerah/leluhur)

(...) Akhir kata, daripada para tetua atau mereka yang melabeli diri penjaga budaya mengkritisi fenomena gangnam style (gaya menari dari Korea) dengan doktrin nasionalisme, sukuisme, atau provinsialisme. Hemat saya,  Biarlah gangnam style melesat dengan pangsa pasarnya sendiri, toh ia juga bagian dari kebudayaan, berasal dari manusia. Dengan mecekal secara langsung maupun tidak langsung sebuah kebudayaan apa bedanya kita dengan para anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan di bawah naungan PKI) yang memasung kebebasan bereskpersi para seniman non-kiri. Hal yang harus dan segera kita lakukan adalah memoles budaya daerah kita agar menarik di pasar nasional, regional sampai internasional, tentu tanpa menghilangkan sifat dasar dari budaya itu sendiri.

(...) Pamanahan yang merupakan organisasi dibawah Badan Musyawarah Masyarakat Sunda (BAMMUS) berhasil mengkonsolidasikan sebuah acara seni budaya yang tidak saja secara ekslusif mempertontonkan keadiluhungan budaya Sunda, tetapi juga budaya-budaya dari daerah lain. Hal ini dapat terlihat dari format acara yang berisi pertunjukan seni dari Lisma Universitas Pasundan, Viking Bali, Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara, Ikatan Keluarga Makassar Indonesia dan Muda Mudi Karo Sirulo.

(...) Menjaga Kebudayaan seolah menjadi jargon utama para pegiat budaya, dari lingkungan akademisi maupun umum. Semua yang memiliki hasrat budaya serupa pun biasanya mengekor dan –dalam contoh yang lebih ekstrim- berusaha untuk mengembalikan kedigdayaan budaya leluhur pada zaman moderen.

(...) Apakah hal ini mungkin? Sitok Srengenge dalam esainya yang berjudul “Identitas” pernah berkata : “Karena setiap orang adalah pencipta sekaligus pelaku budaya, padahal setiap orang berbeda dan semua orang berubah; maka kebudayaan sungguh tak bisa dipahami sebagai sesuatu yang pasti, statis, baku apalagi baka”

(...) Malam minggu kemarin (1/11), Art Center Kota Denpasar tampak sangat berbeda. Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan Bali (PAMANAHAN) menyelenggarakan Mini Karnival ke-2 yang bertajuk EUIS : Exicitement in Uniting Indonesia Sparks. Acara tersebut berisi rangkaian pertunjukan seni dari beberapa daerah, pameran fotografi dan pameran kuliner khas Sunda.

(...) Oleh karena itu kata menjaga dan turunannya harus dirubah menjadi merevitalisasi, merekonstruksi bahkan mendekonstruksi agar budaya kembali ke alam aktualitas, tidak tercerabut dari alam aslinya –masa kini. Budaya menjadi lebih aplikatif, berguna bagi kesejahteraan pemiliknya. Budaya menjadi lebih filosofis, berguna bagi pencerahan penikmatnya. Budaya menjadi lebih dinamis, nilainya disesuaikan dengan kaidah-kaidah agama.

(...) Jadi konsekuensi logisnya adalah segala daya upaya menjaga budaya, apalagi mewujudkan budaya leluhur yang pure pada zaman moderen adalah kesia-siaan. Perubahan itu pasti dan kita tidak bisa melawannya. Seperti sebuah adagium Sunda : Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman. Artinya kurang lebih, “menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman tanpa tercerabut dari akar budayanya.”

(Diadaptasi dari https://canaksaindonesia.wordpress.com/tag/budaya-sunda)space space space space 

Berikut adalah teks tanggapan kritis yang telah diacak paragrafnya. Urutkan paragraf acak di atas sesuai struktur teks tanggapan kritis yang runut. Diskusikan hasilnya dengan teman sebangkumu!

Berikut adalah teks tanggapan kritis yang telah diacak paragrafnya. Urutkan paragraf acak di atas sesuai struktur teks tanggapan kritis yang runut. Diskusikan hasilnya dengan teman sebangkumu!space space space space 

Iklan

A. Acfreelance

Master Teacher

Jawaban terverifikasi

Jawaban

susunan paragraf yang tepat adalah (1) Malam Minggu... (2) Panahan yang ... (3) Menilik acara ... (4) Menjaga kebudayaan ... (5) Apakah hal ... (6) Jadi konsekuensi ... (7) Oleh karena itu ... (8) Akhir kata, ....

susunan paragraf yang tepat adalah (1) Malam Minggu... (2) Panahan yang ... (3) Menilik acara ... (4) Menjaga kebudayaan ... (5) Apakah hal ... (6) Jadi konsekuensi ... (7) Oleh karena itu ... (8) Akhir kata, ....space space space space 

Iklan

Pembahasan

Soal tersebut menanyakan mengenai menentukan susunan yang tepatdalam membuat teks tanggapan,sehingga termasuk ke dalam salah satu bagian dalam teks tanggapan kritis. Teks tanggapan merupakan teks yang berisi pendapat, dapat berupa pujian atau kritik terhadap suatu fenomena, peristiwa, karya, ucapan, atau pun perbuatan seseorang. Di dalam sebuah tanggapan, terdapat informasi umum seperti kritik, sanggahan, alasan, maupun pujian. Berikut adalah langkah-langkah dalam membuat teks tanggapan. Tentukan tema teks tanggapan kritis yang akan disusun Kembangkan tema menjadi kalimat dengan kata-kata sendiri Susun dan gabungkan kalimat-kalimat tersebut menjadi teks tanggapan yang urut dan logis Baca kembali teks yang telah dibuat untuk mengecek penggunaan kebahasaannya Berikut adalah susunan yang tepat berdasarkan paragraf acak tersebut. Malam minggu kemarin (1/11), Art Center Kota Denpasar tampak sangat berbeda. Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan Bali (PAMANAHAN) menyelenggarakan Mini Karnival ke-2 yang bertajuk EUIS : Exicitement in Uniting Indonesia Sparks. Acara tersebut berisi rangkaian pertunjukan seni dari beberapa daerah, pameran fotografi dan pameran kuliner khas Sunda. Pamanahan yang merupakan organisasi dibawah Badan Musyawarah Masyarakat Sunda (BAMMUS) berhasil mengkonsolidasikan sebuah acara seni budaya yang tidak saja secara ekslusif mempertontonkan keadiluhungan budaya Sunda, tetapi juga budaya-budaya dari daerah lain. Hal ini dapat terlihat dari format acara yang berisi pertunjukan seni dari Lisma Universitas Pasundan, Viking Bali, Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara, Ikatan Keluarga Makassar Indonesia dan Muda Mudi Karo Sirulo. Menilik acara kesenian serupa di beberapa daerah. Saya percaya bahwa ada bahasa implisit yang berusaha disampaikan oleh penyelenggara. Secara klise kalimat itu selalu saja : demi menjaga budaya kita (budaya daerah/leluhur) Menjaga Kebudayaan seolah menjadi jargon utama para pegiat budaya, dari lingkungan akademisi maupun umum. Semua yang memiliki hasrat budaya serupa pun biasanya mengekor dan –dalam contoh yang lebih ekstrim- berusaha untuk mengembalikan kedigdayaan budaya leluhur pada zaman moderen. Apakah hal ini mungkin? Sitok Srengenge dalam esainya yang berjudul “Identitas” pernah berkata : “Karena setiap orang adalah pencipta sekaligus pelaku budaya, padahal setiap orang berbeda dan semua orang berubah; maka kebudayaan sungguh tak bisa dipahami sebagai sesuatu yang pasti, statis, baku apalagi baka” Jadi konsekuensi logisnya adalah segala daya upaya menjaga budaya, apalagi mewujudkan budaya leluhur yang pure pada zaman moderen adalah kesia-siaan. Perubahan itu pasti dan kita tidak bisa melawannya. Seperti sebuah adagium Sunda : Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman. Artinya kurang lebih, “menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman tanpa tercerabut dari akar budayanya.” Oleh karena itu kata menjaga dan turunannya harus dirubah menjadi merevitalisasi, merekonstruksi bahkan mendekonstruksi agar budaya kembali ke alam aktualitas, tidak tercerabut dari alam aslinya –masa kini. Budaya menjadi lebih aplikatif, berguna bagi kesejahteraan pemiliknya. Budaya menjadi lebih filosofis, berguna bagi pencerahan penikmatnya. Budaya menjadi lebih dinamis, nilainya disesuaikan dengan kaidah-kaidah agama. Akhir kata, daripada para tetua atau mereka yang melabeli diri penjaga budaya mengkritisi fenomena gangnam style (gaya menari dari Korea) dengan doktrin nasionalisme, sukuisme, atau provinsialisme. Hemat saya, Biarlah gangnam style melesat dengan pangsa pasarnya sendiri, toh ia juga bagian dari kebudayaan, berasal dari manusia. Dengan mecekal secara langsung maupun tidak langsung sebuah kebudayaan apa bedanya kita dengan para anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan di bawah naungan PKI) yang memasung kebebasan bereskpersi para seniman non-kiri. Hal yang harus dan segera kita lakukan adalah memoles budaya daerah kita agar menarik di pasar nasional, regional sampai internasional, tentu tanpa menghilangkan sifat dasar dari budaya itu sendiri. Dengan demikian, susunan paragraf yang tepat adalah (1) Malam Minggu... (2) Panahan yang ... (3) Menilik acara ... (4) Menjaga kebudayaan ... (5) Apakah hal ... (6) Jadi konsekuensi ... (7) Oleh karena itu ... (8) Akhir kata, ....

Soal tersebut menanyakan mengenai menentukan susunan yang tepat dalam membuat teks tanggapan, sehingga termasuk ke dalam salah satu bagian dalam teks tanggapan kritis. 

Teks tanggapan merupakan teks yang berisi pendapat, dapat berupa pujian atau kritik terhadap suatu fenomena, peristiwa, karya, ucapan, atau pun perbuatan seseorang. Di dalam sebuah tanggapan, terdapat informasi umum seperti kritik, sanggahan, alasan, maupun pujian.

Berikut adalah langkah-langkah dalam membuat teks tanggapan.

  1. Tentukan tema teks tanggapan kritis yang akan disusun
  2. Kembangkan tema menjadi kalimat dengan kata-kata sendiri
  3. Susun dan gabungkan kalimat-kalimat tersebut menjadi teks tanggapan yang urut dan logis
  4. Baca kembali teks yang telah dibuat untuk mengecek penggunaan kebahasaannya


Berikut adalah susunan yang tepat berdasarkan paragraf acak tersebut.

  1. Malam minggu kemarin (1/11), Art Center Kota Denpasar tampak sangat berbeda. Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan Bali (PAMANAHAN) menyelenggarakan Mini Karnival ke-2 yang bertajuk EUIS : Exicitement in Uniting Indonesia Sparks. Acara tersebut berisi rangkaian pertunjukan seni dari beberapa daerah, pameran fotografi dan pameran kuliner khas Sunda.
  2. Pamanahan yang merupakan organisasi dibawah Badan Musyawarah Masyarakat Sunda (BAMMUS) berhasil mengkonsolidasikan sebuah acara seni budaya yang tidak saja secara ekslusif mempertontonkan keadiluhungan budaya Sunda, tetapi juga budaya-budaya dari daerah lain. Hal ini dapat terlihat dari format acara yang berisi pertunjukan seni dari Lisma Universitas Pasundan, Viking Bali, Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara, Ikatan Keluarga Makassar Indonesia dan Muda Mudi Karo Sirulo.
  3. Menilik acara kesenian serupa di beberapa daerah. Saya percaya bahwa ada bahasa implisit yang berusaha disampaikan oleh penyelenggara. Secara klise kalimat itu selalu saja : demi menjaga budaya kita (budaya daerah/leluhur)
  4. Menjaga Kebudayaan seolah menjadi jargon utama para pegiat budaya, dari lingkungan akademisi maupun umum. Semua yang memiliki hasrat budaya serupa pun biasanya mengekor dan –dalam contoh yang lebih ekstrim- berusaha untuk mengembalikan kedigdayaan budaya leluhur pada zaman moderen.
  5. Apakah hal ini mungkin? Sitok Srengenge dalam esainya yang berjudul “Identitas” pernah berkata : “Karena setiap orang adalah pencipta sekaligus pelaku budaya, padahal setiap orang berbeda dan semua orang berubah; maka kebudayaan sungguh tak bisa dipahami sebagai sesuatu yang pasti, statis, baku apalagi baka”
  6. Jadi konsekuensi logisnya adalah segala daya upaya menjaga budaya, apalagi mewujudkan budaya leluhur yang pure pada zaman moderen adalah kesia-siaan. Perubahan itu pasti dan kita tidak bisa melawannya. Seperti sebuah adagium Sunda : Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman. Artinya kurang lebih, “menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman tanpa tercerabut dari akar budayanya.”
  7. Oleh karena itu kata menjaga dan turunannya harus dirubah menjadi merevitalisasi, merekonstruksi bahkan mendekonstruksi agar budaya kembali ke alam aktualitas, tidak tercerabut dari alam aslinya –masa kini. Budaya menjadi lebih aplikatif, berguna bagi kesejahteraan pemiliknya. Budaya menjadi lebih filosofis, berguna bagi pencerahan penikmatnya. Budaya menjadi lebih dinamis, nilainya disesuaikan dengan kaidah-kaidah agama.
  8. Akhir kata, daripada para tetua atau mereka yang melabeli diri penjaga budaya mengkritisi fenomena gangnam style (gaya menari dari Korea) dengan doktrin nasionalisme, sukuisme, atau provinsialisme. Hemat saya,  Biarlah gangnam style melesat dengan pangsa pasarnya sendiri, toh ia juga bagian dari kebudayaan, berasal dari manusia. Dengan mecekal secara langsung maupun tidak langsung sebuah kebudayaan apa bedanya kita dengan para anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan di bawah naungan PKI) yang memasung kebebasan bereskpersi para seniman non-kiri. Hal yang harus dan segera kita lakukan adalah memoles budaya daerah kita agar menarik di pasar nasional, regional sampai internasional, tentu tanpa menghilangkan sifat dasar dari budaya itu sendiri.


Dengan demikian, susunan paragraf yang tepat adalah (1) Malam Minggu... (2) Panahan yang ... (3) Menilik acara ... (4) Menjaga kebudayaan ... (5) Apakah hal ... (6) Jadi konsekuensi ... (7) Oleh karena itu ... (8) Akhir kata, ....space space space space 

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

2

Iklan

Iklan

Pertanyaan serupa

Surat pembaca yang sesuai dengan ilustrasi tersebut adalah ...

22

5.0

Jawaban terverifikasi

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

Coba GRATIS Aplikasi Roboguru

Coba GRATIS Aplikasi Ruangguru

Download di Google PlayDownload di AppstoreDownload di App Gallery

Produk Ruangguru

Hubungi Kami

Ruangguru WhatsApp

+62 815-7441-0000

Email info@ruangguru.com

[email protected]

Contact 02140008000

02140008000

Ikuti Kami

©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia