Fathir M

27 November 2024 04:00

Iklan

Fathir M

27 November 2024 04:00

Pertanyaan

Semua organisme memiliki ciri-ciri bergerak meskipun tidak harus berpindah tempat. Gerak pada tumbuhan disebut gerak pasif sedangkan gerak pada manusia dan hewan merupakan gerak aktif karena otot diperintahkan oleh A. Rangsangan dari luar B. Fotosintesis di siang hari C. Otak untuk melakukan gerakan D. Rangsangan dari luar otot E. Respirasi tumbuhan pada malam hari

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

02

:

22

:

02

:

38

Klaim

26

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Johanna L

27 November 2024 04:29

Jawaban terverifikasi

Jawaban yang benar adalah: C. Otak untuk melakukan gerakan Penjelasan: Gerak aktif pada manusia dan hewan terjadi karena otot-otot mereka dipengaruhi oleh impuls saraf yang dikirimkan oleh otak atau sistem saraf pusat. Otak berfungsi mengoordinasikan perintah gerakan, baik yang disengaja (voluntary movement) maupun refleks.


Kian N

05 Desember 2024 10:35

c ka itu

Iklan

Wandi A

27 November 2024 06:03

<p>C itu kak</p>

C itu kak


Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Kisah Seorang Nelayan dan Kehidupan di Desa Desa kecil ini terletak di Semenanjung Minahasa Selatan. Desa ini menyimpan begitu banyak memori dalam benak orang-orang yang pernah berdiam di desa tersebut dalam kurun waktu yang relatif Iama, seperti saya. Begitu juga bagi mereka yang baru mengunjunginya meski hanya sebentar. Desa itu dinamai Lopana. Sore itu, saya tiba dari Amerika dengan satu keinginan kuat yang tak tertahankan lagi, yaitu untuk kembali mengunjungi desa tempat ibu saya dilahirkan, Lopana. Dari Kota Manado, saya memerlukan waktu 45 menit hingga 1 jam untuk sampai di Lopana. Itu tentu kalau jalanan tidak macet. Perjalanan menuju Lopana memang selalu mendebarkan. Kita harus melewati jalanan panjang nan berliku. Di beberapa Iokasi, terlihat jurang yang sangat dalam, bukit yang begitu tinggi, dan lereng yang amat terjal berkelok-kelok. Pohon kelapa (nyiur melambai) terlihat mendominasi tanaman di sepanjang jalan. Kalau ke Desa Sonder didominasi tanaman cengkih maka ke Lopana pohon kelapalah rajanya. Saya sangat menikmati perjalanan itu walaupun cuaca tak terlalu mendukung. Mendung dan gerimis. Ini menjadikan pemandangan mata saya terbatas dan kamera pun lebih banyak diistirahatkan saja. Tiga puluh menit perjalanan, kita sudah sampai di sekitar Desa Matani. Di desa ini. jalanan mulai lurus dan tak terlihat satu kelokan sekalipun. Di sebelah kanan jalan terlihat hamparan tanaman padi yang begitu luas. Konon, di tempat inilah letak Bandara Samratutangi akan dipindahkan. Desa Tumpaan adalah desa berkutnya setelah Matani. Setelah Tumpaan. baru sampailah kita di Desa Lopana. Tujuan saya berlibur kali ini adalah untuk menghilangkan kepenatan hidup dan sibuknya suasana perkotaan. Edy Sang Nelayan dl Lopana Mayoritas penduduk Lopana memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Hal ini dikarenakan desanya berada tepat di tepi pantai. Memasuki Desa Lopana, bila kita datang dari arah Manado. terlihat sangat jelas kekontrasannya. Di sebelah kiri jalan tampak jelas daerah perbukitan dan perkebunan. tempatnya bagi para petani. Sementara itu, di sebelah kanan jalan terlihat laut membiru yang begitu dekat. Indah tempatnya para nelayan bekerja demi sesuap nasi. Demi hidup keluarga serta pendidikan anak-anak. Ada seorang lelaki paruh baya. sebut saja namanya Edy, orang yang menemani saya selama didesa itu. Dari Edy saya mendapat banyak centa tentang kehidupan di Desa Lopana masa kini. la sendki adalah salah satu contoh warga desa yang senantiasa berharap suatu ketika nanti, hidup dan kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Kesejahteraan hidup akan meningkat walau beberapa saja. Edy sekarang bekerja sebagai seorang nelayan. Tadinya ia adalah seorang petani. la menanam rica (rawit). Tetapi, pengolahan lahan tanaman rawitnya masih sangat sederhana. la menyiram rawit yang ia tanam dengan menimba ai di sumur dengan bermodalkan dua buah ember. Bayangkan saja, berapa puluh kali ia harus botak-balik menimba air tersebut untuk menyirami seluruh tanaman rawit miliknya di kala musim kemarau tiba. Bahkan. jarak antara sumur dan lahan rawitnya lumayan jauh. Nah, setelah cukup gagal dengan bercocok tanam rawit ia alih profesi menjadi 'kuli panjar. Ya, ia mencari nafkah dengan memanjat pohon kelapa milik para petani kelapa besar dan menerima upah harian. Namun sayangnya, usia Edy tidaklah muda terus. Kini ia bertambah tua, dengan sendirinya staminanya juga sudah mulai berk urang. Tenaganya tidak sekuat dahulu lagi. "Sekarang kita so tako ja nae pohong kalapa tinggi (sekarang saya sudah takut memanjat pohon kelapa yang tinggi); demikianlah ia bertutur ketika saya tanya kenapa tidak lagi themanjat pohon kelapa. la mengakui bahwa usianya tidak muda lagi dan itu membuatnya takut berada di ketinggian. Banyak hal yang membuatnya harus berpikir panjang merrpertahankan profesi 'kuli panjar-nya itu. Menyiasati kehilangan pekerjaan, Edy pun secara kreatif berpindah lokasi. Kini seluruh upaya penghidupan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia gantungkan dad profesi barunya. Menjadi nelayan. Bermodalkan sebuah perahu sema-sema dan sebuah perahu motor pinjaman, ia kini sudah beralih dari petani, kuli, kemudian menjadi nelayan. Setiap subuh ia sudah keluar rumah. Baru kembali setelah mentari sudah mulai memasuki peraduannya. Kadang kala, ia keluar rumah melaut pada sore menjelang malam dan baru kembali menjelang subuh. Tak menentu. Tergantung musim dan keadaan, juga tergantung kesehatan tubuhnya yang tentu saja semakin menua. Menurut Edy, sudah setahun lebih ia menjadi seorang nelayan. Sebuah pekenaan yang ia yakini amat mulia. Benar. Hasil ikan yang ia dapatkan setiap hari memberi hidup bagi keluarganya dan memen uhi kebutuhan pasar ikan di lopana. yang dengan sendirinya tentu saja memberi hidup bagi warga Lopana lainnya. Tak pelak lagi. ia menekuni peiterjaannya itu dengan motivasi tinggi dan penuh ucapan syukur. Sore itu, dengan tubuh yang hanya dibalut celana pendek dan kaos tanpa lengan, Edy mengajak saya menuju pantai. Tubuhnya tedihat masih kekar. dengan kulit yang semakin berwarna cokelat karena dibakar terik matahari terus-menerus. Hari itu ia sengaja mengambil 'cuti melaut' demi menemani saya mengeliingi kampung. Kami berjalan beriringan di tepian pantai. la menjelaskan panjang lebarbahwa banyak sekak warga kamputg yang terus berganti profesi seiring dengan tuntutan hidup yang semakin menggila. Harga-harga naik tak menentu. Saya juga melihat di beberapa lokasi pinggir pantai ada banyak gerobak sapi diparkir di sana. Bahkan. ada truk-truk berukuran besar. Melihat mata saya memandang penuh tanda Tanya, sebelum perta nyaan keluar dari mulut saya. Edy sudah terlebia dahulu menjelaskan. "Oh iyo, skarang dorang so ganti profesi menjadi penjual paser (Iya, sekarang mereka-mereka itu sudah ganti profesi menjadi penjual pasir)." Ternyata meletusnya Gunung Soputan beberapa tahun yang lalu memben rezekiterserwan bagi warga sekitar. Banyak sekati pasir gunung yang hanyut melalui sungai menuju pantai. Di sana, pasir-pasir itu menumpuk. Warga pun menjadikannya sebagai 'proyek sementara'. Setiap hari ada saja warga yang bolak-balik dengan gerobak maupun mobil untuk mengambi pasir-pasir tersebut danakan menjualnya lagi. Menunitnya, hasi darijualan pasir lebih banyak daripada beroocok tanam kecil-kecilan. Makanya jangan heran kalau ada banyak orang yang mengangkut pasir di tepian Pantai Lopana. KeNdupan Tolong-menolong di Kampung Ternyata. centa tentang betapa kuatnya ikatan tolong-menolong di Desa Lopana bukan isapan jempol semata. Hampir di setiap rumah yang saya singgahi kala itu. saya akan terus-menerus ditawari makanan. Entah itu makanan berat.seperti nasi dan lauk-pauknya, juga makanan ringan sejenis kue-kue khas Lopana. Tawaran mereka bukan sekadar basa-basi. Kalau menawarkan sesuatu, pasti sesuatunya itu ada, bukan hanya 6 mulut. Satu hal yang pasti, tanpa memandang itu keluarga cukup berada atau yang miskin sekalipun, mereka akan tetap menawari Anda makan bila singgah di rumah mereka. Apa pun itu. Di mata mereka, tamuadatah seseorang yang mesti ditayani sebak mungkin. "Torang nyanda mungkin mo kaseh biar... malu torang kalu nyanda kaseh apa-apa,” demikian seorang ibu tua bilang ke saya. Artinya. Kita tidak mungkin untuk tidak melayani tamu matu kita sebagai tuan rumah kalau tidak memberikan apa-apa. Ada lagi kebiasaan menoolok lainnya yang semakin membuka mata saya. Di desa seperti ini, tingkat kekeluargaan dan persaudaraan masih begitu diperhitungkan. Ambil contoh, dalam kehidupan mereka masih ada istilah 'pinjam api’ atau ‘minta bara'. Tetangga lain yang memilikinya pasti akan memberikan dengan senang hati. Artinya, mereka masih sangat suka menolong dan sangat senang memberi. Tetangga yang lidak punya api di dodika (tungku perapian). mereka dapat memintanya ke tetangga sebetah tanpa perlu takut akan diomeli dan dimarahi. Memberi kehidupan bagi mereka adalah seperti membagikan berkat. Berkat yang dibagkan pasti akan mendatangkan kebahagiaan melimpah. Hal itu karena kebahagiaan yang tidak dibagikan ke orang lain, ke tetangga sebelah. ke siapa pun d luar sana misalnya, ku bukanlah kebahagiaan yang sejati. Dari kehidupan di Desa Lopana, saya belajar banyak hal. Mulai dari semangat juang yang amat tinggi dalam mencari kehidupan. daya juang yang tidak main-main, misalnya dari kisah seorang Edy, sampai kepada keluasan hati untuk memberi dan menolong sesama dariwarga Lopana. Dua minggu di sana. seakan-akan saya mendapati kembali apa artinya hidup dan menghidupkan orang lain (sesama kita). Sepertinya saya menemukan kembali 'rasa' yang sulit atau mungkin tidak pernah lagi saya jumpai di kota besar. Namun, kemesraan itu temyata harus cepat berlalu. Dua minggu liburan sudah usai. Kaki ini harus kembali meninggalkan jalan sunyi pedesaan menuju jalan ramai perkotaan. Tetapi, semua kenangan indah itu pasti akan seialu membekas di hati ini. Semoga mata air kehidupan pedesaan itu dapat saya bawa ke kota besar tempat saya tinggal. Meskipun hari-hari ini semakin terlihat bahwa nilai tulus persaudaraan dan kemanusiaan, serta nilai-nilai kepedulian sudah mulai memudar, saya masih akan tetap untuk terus berharap serta percaya bahwa nitai-nilai itu tetap ada di hati orang-orang dekat saya. di lingkungan saya. bahkan di hati pemimpin-pemimpin negeri ini. Semoga. Sumber: Michael Sendow dalam https://www.kompasiana.com 5. Apa saja nilai-nilai yang telah memudar di perkotaan?

7

0.0

Jawaban terverifikasi

Bacalah teks cerpen berikut dengan saksama. Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang jika dipuji. Tetapi akhir-akhir ini, dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, "lni Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang." Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, " Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar, berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar." Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, "Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri." Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. "Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya." Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa jika mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek, dia belum berbuat jasa apa pun. lni yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya. Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan. Seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi. Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. ljazahnya hanya SMP dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. "Pesawat musuh pasti akan meledak, kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini," selalu demikian yang dibayangkan Mardanu. Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya, Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana. Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun, pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal. Ketika tersadar, Mardanu kecewa berat, mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andai kata itu peristiwa nyata, dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian, Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi i tu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi. Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun, Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun. Pagi ini, Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak, napasnya terdengar megap-megap. Namun, seperti biasa, dia mengajak Mardanu bercakap-cakap. "Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos," kata si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa. Selama jadi tentara belum pernah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun. Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos, Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya . Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Setelah itu, terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kasau emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya . Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya: mencecet, mengibaskan sayap, dan merentang ekor sambil melompat - lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun, mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. ltu tangan Manik, cucu perempuan. "ltu burung apa, Kek?" tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati. "Namanya burung kutilang. Bagus, kan?" Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan. "O, jadi itu burung kutilang , Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi . Nyanyi burung kutilang." "Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar." Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.yang masih duduk di taman kanak-kanak. Di pucuk pohon cempaka , burung kutilang bernyanyi ... Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan . Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi. Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik , dipeluk, dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana, Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga, terulang-ulang suara cucunya. Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi .... Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Setelah itu, perlahan-lahan dia berdiri mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar, dia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi setelah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia seperti bingung berhadapan dengan udara bebas, tetapi akhirnya burung itu terbang ke arah pepohonan. Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong. "Kek, di mana burung kutilang itu?" tanya Manik dengan mata membulat. "Sudah Kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan." "Kek, kenapa kutilang itu dilepas?" Mata Manik masih membulat. "Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu." Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak namun belum ada satu kata pun yang keluar. "Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek," Manik melompat-lompat gembira. Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. ltu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita. Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong. (Cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji" karya Ahmad Tohari dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018) Pada cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji", terdapat beberapa latar. Latar terdiri dari waktu, tempat, dan suasana. Rumah termasuk pada latar ... Sertakan kutipan dari cerita yang membuktikan latar tersebut.

91

0.0

Jawaban terverifikasi

Iklan

Bacalah fabel berikut! Burung Tempua Pada zaman dahulu, di tanah Melayu hiduplah dua ekor burung yang saling bersahabat. Burung tersebut adalah Burung Tempua dan Burung Puyuh. Burung Tempua dan Burung Puyuh merupakan dua burung yang bersahabat sangat dekat. Di mana ada Burung Tempua di sana ada Burung Puyuh. Mereka selalu bepergian bersama, baik untuk mencari makan maupun untuk seke­ dar terbang bersama. Suka duka selalu mereka hadapi bersama, baik saat kehujanan maupun saat cuaca yang panas. Suatu hari, keduanya saling bertemu sambil membincangkan keistimewaan dari sarang ma­sing-masing. "Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi. Jadi, saat hujan tidak akan basah. Saat terik pun tidak akan kepanasan. Aku menghabiskan wak­tu berminggu-minggu untuk membuatnya," kata Burung Tempua. Kedua burung tersebut hanya berpisah pada saat tidur di malam hari. Mereka tidur di sarang mereka masing-masing. Meskipun dalam banyak hal mereka punya satu kesamaan, dalam hal berteduh dan bersarang di malam· hari, keduanya memiliki selera yang berbeda. Sarang Tempua bisanya tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jikalau pun rendah, pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Burung Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Burung Tempua bersarang pada posisi rendah, pastilah ada yang dapat menjaganya. Sebaliknya, Burung Puyuh lebih suka dengan jenis sarang yang praktis. Burung Puyuh merasa tak perlu bersusah payah membangun sarang yang nyaman seperti yang dilakukan oleh Burung Tempua. Ia lebih suka tinggal di sebuah bata,ng pohon yang tumbang. Apabila merasa tempat itu sudah tidak nyaman, biasanya ia akan mencari pohon yang lain. " Dengan sarang berpindah-pin­ dah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari," kata Burung Puyuh. Suatu hari, Burung Tempua ingin mencoba sarang Burung Puyuh. Demikian juga, Burung Puyuh ingin merasakan tinggal di sarang Burung Tempua. Saat Burung Puyuh tinggal di sarang Burung Tempua, Burung Puyuh kesusahan memanjat pohon sarang Burung Tempua yang tergan­ tung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman. Malam pun tiba. Burung Puyuh merasa haus. Ia meminta minum kepada Tempua. "Maaf, tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita," kata Burung Tempua. Puyuh pun tertidur dalam keadaan kehausan. Ketika Burung Puyuh dan Burung Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Po­ hon ternpat sarang Burung Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Bu­ rung Tempua pun terayun-ayun. Burung Puyuh ketakutan dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. "Tenanglah, kawan! Kita tidak akan jatuh," kata Burung Tempua menghibur Burung Puyuh. Tak lama angm pun reda. Keesokan harinya Burung Puyuh berkata, "Maafkan aku, kawan ..., aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh. Lagi pula aku tidak bisa menahan haus." Burung Tempua bisa me­ maklumi alasan Burung Puyuh. Hari berikutnya, Burung Tampua yang tinggal di sarang Burung Puyuh. Burung Tempua merasa tidak nyaman dengan bersarang di bawah batang pohon yang tumbang. Akan tetapi, ia tidak menampakkan rasa tidak nyaman itu. Pada tengah malam, hujan tiba-tiba turun. Tubuh Burung Tempua menggigil. "Kawan, badanku dingin sekali," kata Burung Tempua kepada Burung Puyuh sambil menggigil. "Tenang saja, kawan. Nanti kalau hujan sudah reda, badanmu tidak akan dingin lagi." Keesokan harinya, Burung Tempua pun akhirnya berkata kepada Burung Puyuh, "Maafkan aku, kawan. Sepertinya, aku tidak bisa"tinggal lagi di sarangmu." Dengan penuh pengertian, Bu­ rung Puyuh memahami hal tersebut. Kedua sahabat tersebut akhirnya sadar bahwa setiap makhluk mempunyai karakter dan kesu­ kaan yang berbeda. Keduanya tetap menghargai perbedaan masing-masing dan tetap bersyukur karena masih memiliki banyak kesamaan. 1. Sebutkan tokoh dan karakter tokoh pada cerita "Burung Tempua'' di atas! 2. Nama tokoh : Karakter tokoh : Bukti kutipan kalimat :

3

3.0

Jawaban terverifikasi

Bacalah fabel berikut! Burung Tempua Pada zaman dahulu, di tanah Melayu hiduplah dua ekor burung yang saling bersahabat. Burung tersebut adalah Burung Tempua dan Burung Puyuh. Burung Tempua dan Burung Puyuh merupakan dua burung yang bersahabat sangat dekat. Di mana ada Burung Tempua di sana ada Burung Puyuh. Mereka selalu bepergian bersama, baik untuk mencari makan maupun untuk seke­ dar terbang bersama. Suka duka selalu mereka hadapi bersama, baik saat kehujanan maupun saat cuaca yang panas. Suatu hari, keduanya saling bertemu sambil membincangkan keistimewaan dari sarang ma­sing-masing. "Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi. Jadi, saat hujan tidak akan basah. Saat terik pun tidak akan kepanasan. Aku menghabiskan wak­tu berminggu-minggu untuk membuatnya," kata Burung Tempua. Kedua burung tersebut hanya berpisah pada saat tidur di malam hari. Mereka tidur di sarang mereka masing-masing. Meskipun dalam banyak hal mereka punya satu kesamaan, dalam hal berteduh dan bersarang di malam· hari, keduanya memiliki selera yang berbeda. Sarang Tempua bisanya tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jikalau pun rendah, pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Burung Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Burung Tempua bersarang pada posisi rendah, pastilah ada yang dapat menjaganya. Sebaliknya, Burung Puyuh lebih suka dengan jenis sarang yang praktis. Burung Puyuh merasa tak perlu bersusah payah membangun sarang yang nyaman seperti yang dilakukan oleh Burung Tempua. Ia lebih suka tinggal di sebuah bata,ng pohon yang tumbang. Apabila merasa tempat itu sudah tidak nyaman, biasanya ia akan mencari pohon yang lain. " Dengan sarang berpindah-pin­ dah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari," kata Burung Puyuh. Suatu hari, Burung Tempua ingin mencoba sarang Burung Puyuh. Demikian juga, Burung Puyuh ingin merasakan tinggal di sarang Burung Tempua. Saat Burung Puyuh tinggal di sarang Burung Tempua, Burung Puyuh kesusahan memanjat pohon sarang Burung Tempua yang tergan­ tung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman. Malam pun tiba. Burung Puyuh merasa haus. Ia meminta minum kepada Tempua. "Maaf, tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita," kata Burung Tempua. Puyuh pun tertidur dalam keadaan kehausan. Ketika Burung Puyuh dan Burung Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Po­ hon ternpat sarang Burung Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Bu­ rung Tempua pun terayun-ayun. Burung Puyuh ketakutan dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. "Tenanglah, kawan! Kita tidak akan jatuh," kata Burung Tempua menghibur Burung Puyuh. Tak lama angm pun reda. Keesokan harinya Burung Puyuh berkata, "Maafkan aku, kawan ..., aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh. Lagi pula aku tidak bisa menahan haus." Burung Tempua bisa me­ maklumi alasan Burung Puyuh. Hari berikutnya, Burung Tampua yang tinggal di sarang Burung Puyuh. Burung Tempua merasa tidak nyaman dengan bersarang di bawah batang pohon yang tumbang. Akan tetapi, ia tidak menampakkan rasa tidak nyaman itu. Pada tengah malam, hujan tiba-tiba turun. Tubuh Burung Tempua menggigil. "Kawan, badanku dingin sekali," kata Burung Tempua kepada Burung Puyuh sambil menggigil. "Tenang saja, kawan. Nanti kalau hujan sudah reda, badanmu tidak akan dingin lagi." Keesokan harinya, Burung Tempua pun akhirnya berkata kepada Burung Puyuh, "Maafkan aku, kawan. Sepertinya, aku tidak bisa"tinggal lagi di sarangmu." Dengan penuh pengertian, Bu­ rung Puyuh memahami hal tersebut. Kedua sahabat tersebut akhirnya sadar bahwa setiap makhluk mempunyai karakter dan kesu­ kaan yang berbeda. Keduanya tetap menghargai perbedaan masing-masing dan tetap bersyukur karena masih memiliki banyak kesamaan. 2. di mana dan kapan latar tempat dan latar waktu pada cerita "Burung iempua": a. Latar Waktu: ....................................................................

10

0.0

Jawaban terverifikasi