Nikheisya D

30 Agustus 2025 11:55

Iklan

Nikheisya D

30 Agustus 2025 11:55

Pertanyaan

Raya memasuki kelas sambil tersenyum ke arah Felia dan Dina. Setelah mengatakan terima kasih, Raya duduk di bangku-nya sambil mengeluarkan ponsel. Tidak berapa lama Misty dan Tina memasuki kelas sambil menatap ponsel milik Misty. Raya yakin jika mereka baru saja berfoto. Paragraf tersebut termasuk koherensi atau kohesi?

Raya memasuki kelas sambil tersenyum ke arah Felia dan Dina. Setelah mengatakan terima kasih, Raya duduk di bangku-nya sambil mengeluarkan ponsel. Tidak berapa lama Misty dan Tina memasuki kelas sambil menatap ponsel milik Misty. Raya yakin jika mereka baru saja berfoto.

Paragraf tersebut termasuk koherensi atau kohesi?

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

02

:

16

:

17

:

43

Klaim

1

2


Iklan

Meiana M

06 September 2025 14:35

<p>kohesi</p>

kohesi


Iklan

Nadira C

31 Agustus 2025 05:24

<p>kohesi, kerena terdapat unsur unsur penyempurnaan paragraf seperti konjungsi (kata hubung) contohnya adalah kata ‘dan’, kata ganti contohnya adalah ‘mereka’.</p><p>sedangkan koherensi artinya makna dari paragraf tersebut.</p>

kohesi, kerena terdapat unsur unsur penyempurnaan paragraf seperti konjungsi (kata hubung) contohnya adalah kata ‘dan’, kata ganti contohnya adalah ‘mereka’.

sedangkan koherensi artinya makna dari paragraf tersebut.


Mau jawaban yang terverifikasi?

Tanya ke AiRIS

Yuk, cobain chat dan belajar bareng AiRIS, teman pintarmu!

Chat AiRIS

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Bacalah teks cerpen berikut dengan saksama. Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang jika dipuji. Tetapi akhir-akhir ini, dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, "lni Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang." Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, " Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar, berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar." Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, "Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri." Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. "Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya." Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa jika mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek, dia belum berbuat jasa apa pun. lni yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya. Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan. Seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi. Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. ljazahnya hanya SMP dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. "Pesawat musuh pasti akan meledak, kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini," selalu demikian yang dibayangkan Mardanu. Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya, Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana. Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun, pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal. Ketika tersadar, Mardanu kecewa berat, mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andai kata itu peristiwa nyata, dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian, Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi i tu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi. Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun, Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun. Pagi ini, Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak, napasnya terdengar megap-megap. Namun, seperti biasa, dia mengajak Mardanu bercakap-cakap. "Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos," kata si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa. Selama jadi tentara belum pernah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun. Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos, Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya . Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Setelah itu, terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kasau emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya . Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya: mencecet, mengibaskan sayap, dan merentang ekor sambil melompat - lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun, mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. ltu tangan Manik, cucu perempuan. "ltu burung apa, Kek?" tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati. "Namanya burung kutilang. Bagus, kan?" Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan. "O, jadi itu burung kutilang , Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi . Nyanyi burung kutilang." "Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar." Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.yang masih duduk di taman kanak-kanak. Di pucuk pohon cempaka , burung kutilang bernyanyi ... Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan . Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi. Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik , dipeluk, dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana, Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga, terulang-ulang suara cucunya. Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi .... Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Setelah itu, perlahan-lahan dia berdiri mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar, dia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi setelah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia seperti bingung berhadapan dengan udara bebas, tetapi akhirnya burung itu terbang ke arah pepohonan. Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong. "Kek, di mana burung kutilang itu?" tanya Manik dengan mata membulat. "Sudah Kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan." "Kek, kenapa kutilang itu dilepas?" Mata Manik masih membulat. "Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu." Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak namun belum ada satu kata pun yang keluar. "Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek," Manik melompat-lompat gembira. Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. ltu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita. Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong. (Cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji" karya Ahmad Tohari dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018) Pada cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji", terdapat beberapa latar. Latar terdiri dari waktu, tempat, dan suasana. Rumah termasuk pada latar ... Sertakan kutipan dari cerita yang membuktikan latar tersebut.

8

0.0

Jawaban terverifikasi

Teks 1 Salah Kelas Pagi itu, Joni nampak bahagia sekali. Di meja makan, ibunya bertanya kepada Joni. "Jon, Ibu perhatikan dari tadi kamu senyum-senyum sendiri?" "Anu, Bu, semalam ibu wali kelas membagikan jadwal tatap muka terbatas. Senang rasanya karena besok aku bisa bertemu teman-teman. Belajar daring di rumah membosankan, Bu. Apalagi kalau zoom meeting Matematika." "Memangnya kenapa kalau Matematika, Jon?" Ibu bertanya kembali. "Gurunya galak, Bu, materinya juga susah, wong diajarkan di kelas saja masih susah pahamnya, apalagi daring," jawab Joni. "Oh, begitu," Ibu menimpali. "Ya sudah, Bu. Joni pamit, ya." Joni langsung pergi sambil mencium tangan ibunya. Sekolah sudah nampak ramai. Joni berjalan sambil sesekali melihat jadwal mapel yang dibagikan wali kelasnya. Lalu, dia segera masuk kelas dan ternyata sudah ada guru di dalam kelas. "Selamat pagi, Pak. Maaf, saya terlambat." "Selamat pagi juga, Nak, silakan duduk," sahut Pak Guru. Joni langsung mencari kursi dan duduk tanpa melihat kanan kiri. Saat mengeluarkan buku catatan, Joni mengedarkan pandangannya dan langsung kaget. Semua seperti asing. Dia seperti tidak mengenali teman sekelasnya, apalagi semuanya memakai masker. Dia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa mereka adalah teman kelasnya. Tidak berapa lama, Joni kaget ketika melihat ke papan tulis Pak Guru sedang menjelaskan soal Matematika, padahal seingatnya jadwal pagi itu adalah Bahasa Indonesia. "Astaga, ini kan kelasku satu tahun yang lalu, ini kan kelas satu. Sekarang kan aku sudah naik kelas dua." Keringat dingin keluar di wajah Joni, lalu dia memberanikan diri menemui Pak Guru. "Maaf, Pak, karena sudah satu tahun daring, saya lupa kalau sekarang saya sudah kelas dua. Saya salah masuk kelas, Pak." Semua peserta didik pun tertawa. Dengan wajah malu, Joni keluar kelas. Teks 2 PKH Pada suatu hari, dua orang ibu rumah tangga sedang berbincang-bincang di depan rumah. Mereka sedang asyik membahas tentang bantuan pemerintah yang dinamakan PKH. Bu Tuti : Mar, aku semakin heran dengan pemerintah sekarang. Bu Marni Loh, kenapa, Bu? Ada masalah? (penasaran) Bu Tuti : Ya jelas ada. Kalau enggak ada, buat apa saya repot-repot membahas masalah ini? Bu Marni: Oalah, Bu, sempat-sempatnya memikirkan pemerintah, memangnya pemerintah memikirkan nasib kita? Bu Tuti : Jangan salah. Tuh, lihat tetangga sebelah kita. Dia dapat bantuan dari pemerintah. Setiap bulan, dia rutin mengambil sembako di warung dekat balai desa sana. Bu Marni Masa? Enggak salah, sampeyan, Bu? Dia, kan, lumayan mampu. Lihat saja, kulkas ada, mesin cuci punya, motor dua, kalau pergi perhiasannya selalu menempel di tangannya. Benar enggak salah, Bu? (sedikit tidak percaya) Bu Tuti : Nah, itu yang membuat saya bingung. Kenapa dia dapat bantuan? Padahal, kalau dipikir, dia tergolong keluarga mampu. Coba kita bandingkan dengan tetangga kita yang lain. Ada yang jauh lebih berhak mendapatkan bantuan itu sebenarnya. Bu Marni : Iya betul Bu. Ngomong-ngomong, bantuan apa yang bisa dia dapat, Bu? Bu Tuti Bu Marni: Masa kamu enggak tahu? Itu, loh, bantuan PKH. Oh, yang rumahnya ditempeli stiker "Keluarga Miskin" itu, to? Bu Tuti Nah, itu kamu tahu, Mar. (mengacungkan jempol kepada Bu Marni) Bu Marni Bu Tuti Ya tahu lah, Bu. Apa, sih, yang tidak saya ketahui? Mar, PKH itu apa, to? (penasaran) Bu Marni Program Keluarga Harapan. Bu Tuti : Harapan apa? Bu Marni Harapan biar dikasih sembako tiap bulan, ha...ha...ha... Bu Tuti : Ngawur kamu, Mar. Tulislah persamaan dan perbedaan kedua teks tersebut

21

3.7

Jawaban terverifikasi

Iklan

bacalah teks drama berikut ini. Konflik 3 Sahabat Di sebuah SMP, ada kelompok sahabat yang telah menjalin pertemanan sejak duduk di bangku SD. Kelompok itu bernama 3IG dan beranggotakan lntan, lndah, dan Irma. Kelompok itu belum pernah bertengkar sampai suatu peristiwa terjadi. lnilah ceritanya. Pada suatu pagi kelompok 3IG masuk ke kelas bersama sambil mengobrol. Karena terlalu asyik mengobrol, lntan tidak menyadari bahwa dompetnya terjatuh. Dua temannya yang laki-laki, yakni Ivan dan lrwan memungutnya. Ivan dan lrwan berniat menjahili anggota 3IG itu. Ivan : Eh, Wan, gimana kalau kita masukkan dompetnya si lntan ke dalam tasnya Irma? lrwan : Kalau ketahuan gimana? Ivan : Ya, kita cari waktu yang tepat. lrwan : (mengacungkan jempol sambil cekikikan) Kesempatan yang ditunggu - tunggu oleh Ivan dan lrwan datang. Pada saat itu lntan dan lndah sedang dipanggil oleh bapak guru, sedangkan Irma sedang ke kamar mandi. lrwan : Van, sekarang! (sambil memberi kode aman kepada Ivan) Ivan : Oke! (memasukkan dompet lntan ke tas Irma) Irma kembali ke kelas. Ia melihat tas lntan jatuh, lalu mengambil dan meletakkannya kembali ke meja. Beberapa saat kemudian, lntan dan lndah datang. Mereka duduk di tempat masing-masing dan belajar. Kemudian bel jam istirahat siang berbunyi. lndah : Akhirnya, istirahat juga! Irma : lya, akhirnya . .. eh, kita ke kantin yuk! Intan : (mencari-cari sesuatu) Indah : Kenapa, Tan? Intan : Kok, dompetku enggak ada, ya? Irma : Keselip mungkin? Atau ketinggalan di rumah? Intan : Enggak, kok. Aku ingat tadi udah kumasukkin ke tas. Ivan dan lrwan mendengar percakapan mereka bertiga. Kemudian, mereka berdua berjalan melewati meja Irma dan menjatuhkan tas Irma dengan sengaja sehingga isinya keluar. Dompet lntan juga ada di antara isi tas itu. lntan : lh, ini kan dompet aku. Kok, ada di tas kamu? lndah : lya, benar. lni kan dompetnya si lntan? Irma : Aku juga enggak tahu. lntan : Kok bisa enggak tahu? Irma : Beneran. Aku enggak tahu apa-apa. Ivan : Tadi, aku lihat Irma megang tas lntan pas kamu lagi enggak di kelas. lrwan : lya, aku juga lihat. Irma : Tadi tas kamu jatuh, Tan. Jadi, Aku ambil dan taruh di atas meja. Intan : Ya udah kalau gitu. Sini, dompetnya. Semoga enggak ada yang hilang. Yuk, Ndah, kita ke kantin berdua aja. (sambil meraih tangan lndah dan meninggalkan Irma) lndah : Yuk! lntan dan lndah tidak lagi berbicara kepada Irma. Sementara itu, Ivan dan lrwan merasa bersalah. Irwan : Eh, Van. Aku ngerasa bersalah nih sekarang. Ivan : lya . Sama. Irwan : Kayaknya, kita udah keterlaluan, deh, sama mereka. Ivan : Kalau gitu, nanti kita ngaku ke mereka, yuk, pas pulang sekolah. lrwan : Oke! Bel pulang sekolah berbunyi. Ivan dan lrwan bergegas menghampiri lntan dan lndah. Kemudian, mereka juga memanggil Irma untuk berkumpul. lndah : Ada apa, sih, Van, Wan? lntan : lya, ada apa, sih? Aku sama lndah udah mau pulang, tahu. Irwan : lya, sebentar. Kita mau ngomong sesuatu sama kalian. (memberi kode ke Ivan agar Ivan yang mengatakannya) Ivan : Sebenarnya, begini. Tadi pagi dompetnya lntan jatuh. Terus, kita ambil. Nah, pas kalian bertiga enggak ada di kelas, kita masukin dompet kamu ke tas Irma. Jadi, sebenarnya Irma bukan yang ngambil dompet kamu. Lrwan : Emm, tadi itu kita cuma bercanda. Kita mau ngejailin kalian aja. Intan : Ivan! lrwan! Gara-gara kalian, aku jadi nuduh Irma. Indah : Kalian jahat banget, sih! Irwan : lya, kita minta maaf. Irma : Ya udah, tapi jangan diulangi lagi! Ivan dan lrwan : Siap! Kalau begitu, kita pulang dulu, ya! (berjalan meninggalkan mereka bertiga) lntan : Irma, Aku minta maaf karena udah nuduh kamu .... Irma : lya, enggak apa-apa. Aku maafin, kok. (tersenyum) Indah : Berarti kita tetap bersahabat dong? Irma : Pastinya. Karena kita 3IG. lntan : Three! Indah : Incredible! Irma : Girl! Akhirnya, mereka bersatu kembali sebagai sahabat. Pertanyaan: Cocokkanlah pernyataan di bawah ini dengan unsur yang telah disediakan. Pilihan jawaban: a. Latar waktu f. Alur b. Protagonis g. Antagonis c. Latar suasana h. Dialog d. Tokoh i. Amanat e. Latar tempat j. Tema 1. Irma memiliki sifat pemaaf. (....)

8

0.0

Jawaban terverifikasi

B. Jawablah soal-soal di bawah ini! Bacalah teks cerita inspiratif di bawah ini dan jawablah pertanyaannya! RAJA DAN KOTA MEGAHYA Alkisah, hiduplah seorang rata yang kaya raya. Pada suatu hari ia memanggil seluruh pakar bangunan, insinyur, dan desainer kita yang ada di dunia. Kepada mereka ia meminta untuk dibuatkan sebuah kota yang paling megah dan paling pindah di seluruh dunia. Pekerjaan pun dimulai. Semua dikerjakan dengan sangat teliti untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Rata tidak menawar harga. Berapa pun biaya yang dibutuhkan ia siap membayarnya. Setelah sekian lama dikerjakan, akhirnya semuanya selesai. Sebuah kota yang teramat megah dan pindah hasil karya para pakar dunia pun tercipta. Memasuki kota itu seperti masuk surga. Raja mengadakan pesta dan mengundang rakyatnya dan tamu-tamu negara. Setiap orang yang datang pasti berdetak kagum menyaksikan karya jagung yang dahsyat dan sempurna itu. Rata pun sangat bangga dan puas karena semua itu berkat kecemerlangan idenya. Rata memerintahkan kepada penjaga agar menandai setiap tamu yang datang tentang celah kekurangan kota yang dibangunnya. Tiba-tiba ada seorang pengunjung rakyat bisa berseloroh. "Ah, seindah apa pun kota ini, tetap tidak sempurna". Mendengar kalimat itu rata tersinggung. Apa lagi yang mengatakannya adalah orang desa yang tidak tahu sama sekali tentang arsitektur kota. “Hai, memang dirimu siapa? Apa maksudmu kota ini tidak sempurna? Coba katakan, apa yang kurang dari karya hebat ini?" "Maafkan, tuan raja. Benar, memang kota yang Anda bangun sangat pindah. Tapi tetap saja mengandung dua cacat". "Apa itu? Sebutkan!" "Pertama, suatu ketika kota ini akan pudar keindahannya, akan rusak, bahkan boleh jadi musnah. Yang kedua, pemilik kota ini juga akan musnah, suatu saat kematian akan menjemputnya. Apakah hal ini bisa dibilang sempurna?" "Aha, memangnya ada yang tak akan rusak dan pemiliknya tak akan mati? Tentu saja ada, Tuan Rata. Yang tak akan rusak adalah kota pindah surganya Allah, dan pemiliknya yaitu Allah, yang tak akan pernah mati. Itulah tempat yang sempurna". "Kau benar, saudaraku. Hamper saja kemewahan dan kemegahan dunia melarikan dan menjerumuskanku. Terima kasih kau telah menyadarkanku". Selanjutnya yang rata memeluk orang yang memberikan usul tersebut. Pertanyaan : 1. Apa ide sang raja itu? 2. Mengapa ia mewujudkan ide tersebut? 3. Apa yang dilakukan raja agar idenya bisa dilaksanakan? 4. Apa yang dilakukan raja setelah idenya terwujud? 5. Apa yang diperintahkan raja kepada setiap tamu yang datang? 6. Mengapa raja melakukan hal tersebut? 7. Siapakah yang memberikan usul? 8. Apakah usulnya tersebut? 9. Siapa saja yang diundang? 10. Di manakah pesta itu diadakan? 11. Kapankah pesta itu dilaksanakan? 12. Bagaimana reaksi raja setelah mendengar salah satu rakyatnya memberikan usul?

3

5.0

Jawaban terverifikasi

Dilema Nara Karya: Alya Khalisah - Nana terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa tangisan tadi malam. Kemudian, Nana bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar. Nana menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan. Nana berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan rumah. Nana berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya. “Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya. Nana mendongak. Wajahnya terasa familiar. “Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak. Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!” Nana tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! hardik gadis itu. Nana terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya. Nana adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya. Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nana. Mereka tidak pernah mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh. Istri pertama ayah Nana adalah sahabat dekat ibu Nana. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama. Nira, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya. “Na?” Lamunan Nana terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong. “Nana? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nana beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu. “Nana, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,” Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nana selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya. Nana bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nira. Gadis itu ingi ia lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nana musnah. Nara tahu apa artinya itu. * Nana memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat. Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nana tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang diinginkan semua orang. Nana tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan. Nana menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian. JELASKAN APA AMANAT PADA TEKS DIATAS!

10

0.0

Jawaban terverifikasi