Tegak di Tengah Hantaman Badai
Orang yang selalu teak di tengah hantaman badai, itulah potret kehidupan Affan Gaffar. Beliau adalah tipe orang desa nan udik yang sukses di kota perantauan. Menariknya, ia hijrah dari desa ke kota bukan dengan alasan bekerja, melainkan ingin belajar ataupun menuntut ilmu.
Affan Gaffar lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat pada 21 Juni 1947 dari ibu yang buta huruf dan ayah yang bekerja sebagai seorang pegawai pendidikan rendahan di kantor masyarakat setempat. Sewaktu kecil, saat ayahnya masih hidup, ia diarahkan untuk menjadi anak yang akrab dengan dunia keilmuan.
Minat baca Affan muda mulai tumbuh. la sering kali membaca buku-buku milik ayahnya, mulai dari cerita, buku ilmiah, hingga buku sastra dan budaya. Saat itu, rasa cintanya terhadap dunia keilmuan mulai tumbuh yang merupakan aset berharga bagi setiap orang untuk maju.
Setelah masuk usia sekolah, orang tuanya mengirimnya ke bangku sekolah dasar—dulu Sekolah Rakyat Tent II—di daerahnya dijalani dengan sukacita. Menjelang separuh dari sekolahnya di SR itu, ayahnya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarganya meninggal dunia. Saat itu, Affan Gaffar baru berusia sepuluh tahun. Fakta itu menjadi pukulan telak bagi perekonomian keluarganya. Ibarat bahtera yang sedang berlayar tenang di lautan kehidupan, tiba-tiba ia dilanda topan dan badai besar yang menimbulkan guncangan dahsyat.
Meskipun kekuatan perekonomian keluarga Affan Gaffar menurun, ia tetap melanjutkan sekolah. Karena Affan Gaffar hidup di daerah miskin, ia harus berjuang lebih beat daripada anak-anak lainnya yang hidup di daerah yang lebih maju. Karena di desanya belum ada SMP, ia terpaksa harus sekolah di Bima-Raba. Selama tiga tahun sekolah di SMP Negeri Tente yang dijalaninya sejak tahun 1959 hingga 1960, ia harus menempuh jarak sejauh lima kilometer dari rumah menuju sekolahnya. Jika dihitung dengan perjalanan pulang, jaraknya menjadi sepuluh kilometer. Setiap hari, ia melakukan semua itu. Jelaslah bahwa jarak tersebut bukanlah jarak dekat, apalagi ditempuh dengan berjalan kaki.
Pastilah, hal tersebut sangat melelahkan. Namun, a tetap tegar ditambah lagi ibunya selalu memberi motivasi dan sangat memedulikan pendidikannya.
Setelah lulus dari SMP, ibunya berniat menyekolahkannya ke SGA atau Sekolah Guru Atas, tetapi Affan Gaffar tidak mau. Ia ingin sekolah SMA. Ibunya langsung memarahinya dan memberikan ultimatum. Jika ingin sekolah di SMA, la harus membiayai sekolahnya sendiri. Ia pun nekat. Saat itulah, Affan Gaffar berangkat dari rumahnya hendak mencari tempat tinggal di dekat sekolahannya
dan tidak lagi berjalan sejauh lima kilometer. Setelah sempat pusing mencari biaya dan tempat tinggal, ia akhirnya menumpang di rumah seseorang di Bima-Raba dekat sekolah SMA-nya.
Affan Gaffar sadar bahwa menempati rumah orang lain itu tidaklah gratis. Makanya, selain belajar, la juga membantu si empunya rumah, baik dengan cara mencuci baju, mengepel, menyapu, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, profesi itu dijalani olen Affan sampai lulus SMA pada tahur 1966. Sampai disitu, ia telah membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia mampu membiayai SMA-nya sendiri, Namun, Affan tidak mampu memenuhi cita-cita ayahnya sebab sewaktu lulus SMA nilai aljabarnya (matematika) kecil sehingga ia tidak bisa meneruskan ke jurusan kedokteran. Selain itu, ia juga terlanjur menyenangi pelajaran sastra dan budaya.
Selepas SMA pada tahun 1966, ia dikirim ke Yogyakarta oleh ibunya untuk kuliah. Ia memilih masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, UGM meskipun dengan kondisi perekonomian memprihatinkan. Affan sadar bahwa di tengah kondisi sulit tersebut, kesempatan untuk meneruskan kuliah merupakan kesempatan yang sangat langka. Jika tidak digunakan sebaik-baiknya, cita-cita
dan mimpinya sejak kecil untuk menjadi pejabat akan sirna. Oleh karena itu, ia berusaha sekuat tenaga, memutar otak, peras keringat, dan banting tulang demi melanjutkan kuliah dan eksis di Yogyakarta.
Saat masuk UGM, Affan langsung bekerja sebagai penjaga malam di sebuah projek bangunan. Hall tersebut la lakoni hingga memperoleh gelar BA pada tahun 1970. Dari pekerjaan itu, ia diberi upah sebesar Rp50,00 per malam dan selama seminggu sebanyak Rp350,00. Karena penghasilannya kecil, Affan berusaha menghemat uangnya dengan selalu makan bersama buruh bangunan di lokasi proyek. Setelah lulus dan mendapat gelar BA pada tahun 1970, Affan Gaffar diangkat menjadi asisten dosen oleh almamaternya. Kemudian, setelah lulus sarjana pada tahun 1973, a resmi menjadi dosen tetap di Fisipol, UGM.
Pada masa kuliah di UGM, Affan berkenalan dengan Sudjiatmi Purwaningsih yang kemudian menjadi istrinya. la mengenalnya sejak tahun 1972 di Pagelaran Alun-alun Utara. Secara kebetulan, fakultas hukum, tempat Sudjiatmi kuliah, berdampingan dengan Fisipol sehingga keakraban kian tercipta di antara dua insan tersebut. Mereka pun menikah dan dikaruniai empat orang anak. la sangat membanggakan peran istri dalam perjalanan kariernya.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1976, Affan pun mendapatkan dua tawaran beasiswa S2. Salah satu beasiswa berasal dari Konrad Adenauer Stichtung untuk studi ke Jerman. Namun, tawaran ini tidak diambilnya karena ia berpikir akan mengalami kesulitan dalam bahasa Jerman. Tawaran beasiswa lainnya berasal dari The Rockefeller Foundation, Amerika Serikat. Ia memanfaatkan beasiswa ini dengan baik hingga meraih gelar Master of Art Political Science, Northern Illnois University (1978).
Ketika awal semester, Affan sempat merasa syok karena harus belajar ekstra keras sebab a tidak punya waktu untuk beradaptasi. Setibanya di AS, ia langsung kuliah. Selain harus belajar bahasa Inggris secara ekstra, pola belajar juga menuntutnya untuk banyak membaca buku, apalagi pada semester pertama. la juga terpaksa meninggalkan istri dan kedua anaknya di Indonesia.
Pada semester berikutnya, setelah mengenal situasi dan mendapatkan rumah yang layak, ia memboyong keluarga ke Amerika. Karena sudah terbiasa belajar sambil bekerja, Affan juga bekerja paruh waktu di perpustakaan meskipun nilai beasiswanya lebih dari cukup. Di sana, ia juga sempat menjabat sebagai Ketua Permias, organisasi mahasiswa Indonesia di Amerika.
Hampir sepuluh tahun berikutnya, Affan mengambil gelar doktor di Ohio State University (1988). Saat ia mengikuti program doktor tersebut, ibunya meninggal. Ia tidak sempat menungguinya. Inilah pengalaman yang amat menyakitkan baginya. Namun, ia berharap bahwa ibunya merasa bangga padanya karena ia telah memenuhi keinginan ibunya menjadi guru sekolah tinggi. Walaupun ia tidak berhasil memenuhi harapan ayahnya untuk menjadi dokter, ia berhasil menjadi doktor dan akhirnya bergelar profesor.
Kariernya di bidang pejabat tinggi seperti yang dicita-citakannya dulu juga tercapai. Affan Gaffar pernah menjadi anggota MPR-RI dari Fraksi Utusan Golongan (1998), Anggota Tim Tujuh Departemen Luar Negeri, Tim Anggota Tim Verifikasi Parpol Pemilu 2009, Anggota KPU 1999-2000, dan lain-lain.
Di bidang guru, sebagaimana yang dicita-citakan oleh ibunya, Affan Gaffar adalah dosen pascasarjana pada Program Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, serta dosen luar biasa pada Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara Universitas Tujuh Belas Agustus, Surabaya. Selain itu, ia pernah menjabat
sebagai Ketua Penyusun RU Keistimewaan Yogyakarta.
Sejak pindah dari Bima, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 1966, Affan Gaffar tidak pernah lagi benar-benar menetap di kampungnya. Kepindahannya ini rupanya merupakan titik balik dalam kehidupannya. Ia langsung diterima di Yogyakarta sebagai salah seorang pendatang yang sangat njawani, yakni berkepribadian layaknya orang Jawa tulen. Sungguh las pergaulannya. Ditambah lagi, karakternya bersahaja, yakni masih sering berkeliling menggunakan motor meskipun dirinya telah menjadi profesor.
Sayangnya, Affan Gaffar kini telah tiada. Secara tiba-tiba, ia meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 2003, saat ia berniat potong rambut di belakang rumahnya di Yogyakarta. Saat itu, jenazahnya sempat disemayamkan di
Balairung UGM dan dimakamkan di Sidoarur, Godean, Yogyakarta. Seluruh civitas academica UGM dan seluruh masyarakat Yogyakarta pada umumnya jelas merasa kehilangan atas meninggalnya sook sederhana ini.
Pencapaian selama hidupnya tidak lepas dari kerja kerasnya. la sama sekali tidak putus asa ketika keluarganya mengalami depresi semasa ditinggal pergi oleh ayahnya untuk selamanya dan ia pun menjadi yatim pada umur 10 tahun. Fakta itu bisa dilaluinya hingga selamat dan mampu menuntaskan
karier pendidikan dan akademisnya sampai dengan tingkat tertinggi.
Identifikasilah isi ungkapan kepedulian dan perasaan pribadi dalam teks cerita inspiratif yang berjudul 'Tegak di Tengah Hantaman Badai'
9