Neva S

29 Oktober 2024 08:57

Iklan

Neva S

29 Oktober 2024 08:57

Pertanyaan

pembiayaan kegiatan pembangunan pada masa orde baru dan masa reformasi

pembiayaan kegiatan pembangunan pada masa orde baru dan masa reformasi

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

02

:

16

:

46

:

39

Klaim

1

1

Jawaban terverifikasi

Iklan

Rendi R

Community

30 Oktober 2024 00:09

Jawaban terverifikasi

<p>Pembiayaan kegiatan pembangunan pada masa Orde Baru dan masa Reformasi menunjukkan perbedaan dalam sumber dana, kebijakan ekonomi, serta transparansi dan akuntabilitasnya.</p><p>Pembiayaan Pembangunan pada Masa Orde Baru (1966–1998)</p><p>Masa Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto, yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan stabilitas politik dan keamanan sebagai dasar pembangunan. Sumber dana utama pembangunan pada masa ini mencakup:</p><p><strong>Pendapatan Minyak dan Gas Bumi (Migas):</strong> Di era Orde Baru, terutama pada tahun 1970-an, Indonesia mengalami kenaikan pendapatan besar dari minyak bumi seiring meningkatnya harga minyak dunia. Penerimaan ini dimanfaatkan untuk proyek infrastruktur, pengembangan sektor pertanian, serta program pembangunan lainnya.</p><p><strong>Utang Luar Negeri:</strong> Orde Baru memanfaatkan pinjaman luar negeri secara signifikan. Dukungan pinjaman ini berasal dari negara-negara Barat serta lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan Asian Development Bank. Namun, utang luar negeri yang besar ini juga menimbulkan ketergantungan ekonomi pada negara pemberi pinjaman.</p><p><strong>Program Bantuan Dana Asing (IGGI dan CGI):</strong> Indonesia menerima bantuan dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian diubah menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI). Dana ini membantu membiayai sektor-sektor strategis yang belum mampu dibiayai sepenuhnya oleh APBN.</p><p><strong>Investasi Asing (PMA):</strong> Orde Baru membuka peluang besar untuk investasi asing, khususnya di sektor pertambangan, migas, dan manufaktur. Ini dilakukan melalui deregulasi dan pemberian insentif bagi investor asing.</p><p><strong>Pelaksanaan Repelita:</strong> Pemerintah menyusun program pembangunan lima tahun yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Repelita digunakan sebagai pedoman pembiayaan dan pelaksanaan berbagai proyek pembangunan di sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.</p><p><strong>Sentralisasi Keuangan:</strong> Pada masa ini, pemerintah pusat memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola keuangan negara. Penggunaan dana lebih banyak dipusatkan ke proyek-proyek besar di tingkat pusat, dengan kontrol yang kuat oleh pemerintah pusat.</p><p><strong>Minim Akuntabilitas dan Transparansi:</strong> Pembiayaan Orde Baru sering kali kurang akuntabel, dengan praktik korupsi yang tinggi, dan transparansi yang minim, khususnya dalam proyek-proyek besar. Hal ini berdampak pada peningkatan utang negara dan masalah ekonomi di akhir masa Orde Baru.</p><p>Pembiayaan Pembangunan pada Masa Reformasi (1998–sekarang)</p><p>Masa Reformasi membawa perubahan besar dalam pembiayaan pembangunan, terutama dengan adanya desentralisasi dan akuntabilitas yang lebih kuat.</p><p><strong>Diversifikasi Sumber Pendapatan:</strong> Reformasi mengurangi ketergantungan pada migas, dengan meningkatkan kontribusi sektor non-migas. Pemerintah lebih mengutamakan pendapatan dari pajak, bea cukai, dan sumber lain untuk mendanai pembangunan.</p><p><strong>Pengelolaan Utang yang Terkendali:</strong> Utang luar negeri tetap digunakan, namun dengan pengelolaan yang lebih terkontrol dan hati-hati untuk menghindari ketergantungan yang besar pada negara lain. Penggunaan utang juga lebih terarah, dengan pengawasan yang lebih ketat oleh lembaga pengawas negara.</p><p><strong>Otonomi Daerah (Desentralisasi Fiskal):</strong> Kebijakan desentralisasi fiskal diperkenalkan melalui otonomi daerah, sehingga daerah mendapat dana dari pusat untuk pembangunan lokal, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Ini memberi kesempatan bagi daerah untuk lebih mandiri dalam pengelolaan pembangunan.</p><p><strong>Partisipasi Swasta melalui Public-Private Partnership (PPP/KPBU):</strong> Pada masa Reformasi, peran sektor swasta dalam pembiayaan pembangunan semakin besar. Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi strategi untuk mengundang investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara.</p><p><strong>Optimalisasi Penerimaan Pajak dan Bea Cukai:</strong> Pemerintah gencar meningkatkan penerimaan pajak dan memperkuat sistem perpajakan untuk mendanai pembangunan secara mandiri. Berbagai program reformasi pajak dilakukan untuk mendorong kepatuhan pajak dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.</p><p><strong>Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Negara:</strong> Di era Reformasi, pengelolaan keuangan negara lebih akuntabel dan transparan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diaudit secara terbuka oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan pelaksanaan anggaran diawasi oleh lembaga independen untuk meminimalkan korupsi.</p><p><strong>Kebijakan Bantuan Sosial dan Pembangunan Berkelanjutan:</strong> Pada masa Reformasi, anggaran juga dialokasikan untuk program-program bantuan sosial yang berkelanjutan, seperti bantuan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Program ini mendukung pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.</p><p>Kesimpulan Perbandingan</p><p>Pada masa Orde Baru, pembiayaan pembangunan sangat bergantung pada pendapatan migas dan utang luar negeri, dengan kontrol penuh oleh pemerintah pusat dan minim transparansi. Sebaliknya, masa Reformasi menerapkan desentralisasi, mengurangi ketergantungan pada migas, dan memprioritaskan transparansi serta keterlibatan swasta dalam pembiayaan pembangunan.</p>

Pembiayaan kegiatan pembangunan pada masa Orde Baru dan masa Reformasi menunjukkan perbedaan dalam sumber dana, kebijakan ekonomi, serta transparansi dan akuntabilitasnya.

Pembiayaan Pembangunan pada Masa Orde Baru (1966–1998)

Masa Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto, yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan stabilitas politik dan keamanan sebagai dasar pembangunan. Sumber dana utama pembangunan pada masa ini mencakup:

Pendapatan Minyak dan Gas Bumi (Migas): Di era Orde Baru, terutama pada tahun 1970-an, Indonesia mengalami kenaikan pendapatan besar dari minyak bumi seiring meningkatnya harga minyak dunia. Penerimaan ini dimanfaatkan untuk proyek infrastruktur, pengembangan sektor pertanian, serta program pembangunan lainnya.

Utang Luar Negeri: Orde Baru memanfaatkan pinjaman luar negeri secara signifikan. Dukungan pinjaman ini berasal dari negara-negara Barat serta lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan Asian Development Bank. Namun, utang luar negeri yang besar ini juga menimbulkan ketergantungan ekonomi pada negara pemberi pinjaman.

Program Bantuan Dana Asing (IGGI dan CGI): Indonesia menerima bantuan dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian diubah menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI). Dana ini membantu membiayai sektor-sektor strategis yang belum mampu dibiayai sepenuhnya oleh APBN.

Investasi Asing (PMA): Orde Baru membuka peluang besar untuk investasi asing, khususnya di sektor pertambangan, migas, dan manufaktur. Ini dilakukan melalui deregulasi dan pemberian insentif bagi investor asing.

Pelaksanaan Repelita: Pemerintah menyusun program pembangunan lima tahun yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Repelita digunakan sebagai pedoman pembiayaan dan pelaksanaan berbagai proyek pembangunan di sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Sentralisasi Keuangan: Pada masa ini, pemerintah pusat memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola keuangan negara. Penggunaan dana lebih banyak dipusatkan ke proyek-proyek besar di tingkat pusat, dengan kontrol yang kuat oleh pemerintah pusat.

Minim Akuntabilitas dan Transparansi: Pembiayaan Orde Baru sering kali kurang akuntabel, dengan praktik korupsi yang tinggi, dan transparansi yang minim, khususnya dalam proyek-proyek besar. Hal ini berdampak pada peningkatan utang negara dan masalah ekonomi di akhir masa Orde Baru.

Pembiayaan Pembangunan pada Masa Reformasi (1998–sekarang)

Masa Reformasi membawa perubahan besar dalam pembiayaan pembangunan, terutama dengan adanya desentralisasi dan akuntabilitas yang lebih kuat.

Diversifikasi Sumber Pendapatan: Reformasi mengurangi ketergantungan pada migas, dengan meningkatkan kontribusi sektor non-migas. Pemerintah lebih mengutamakan pendapatan dari pajak, bea cukai, dan sumber lain untuk mendanai pembangunan.

Pengelolaan Utang yang Terkendali: Utang luar negeri tetap digunakan, namun dengan pengelolaan yang lebih terkontrol dan hati-hati untuk menghindari ketergantungan yang besar pada negara lain. Penggunaan utang juga lebih terarah, dengan pengawasan yang lebih ketat oleh lembaga pengawas negara.

Otonomi Daerah (Desentralisasi Fiskal): Kebijakan desentralisasi fiskal diperkenalkan melalui otonomi daerah, sehingga daerah mendapat dana dari pusat untuk pembangunan lokal, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Ini memberi kesempatan bagi daerah untuk lebih mandiri dalam pengelolaan pembangunan.

Partisipasi Swasta melalui Public-Private Partnership (PPP/KPBU): Pada masa Reformasi, peran sektor swasta dalam pembiayaan pembangunan semakin besar. Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi strategi untuk mengundang investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara.

Optimalisasi Penerimaan Pajak dan Bea Cukai: Pemerintah gencar meningkatkan penerimaan pajak dan memperkuat sistem perpajakan untuk mendanai pembangunan secara mandiri. Berbagai program reformasi pajak dilakukan untuk mendorong kepatuhan pajak dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.

Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Negara: Di era Reformasi, pengelolaan keuangan negara lebih akuntabel dan transparan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diaudit secara terbuka oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan pelaksanaan anggaran diawasi oleh lembaga independen untuk meminimalkan korupsi.

Kebijakan Bantuan Sosial dan Pembangunan Berkelanjutan: Pada masa Reformasi, anggaran juga dialokasikan untuk program-program bantuan sosial yang berkelanjutan, seperti bantuan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Program ini mendukung pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Kesimpulan Perbandingan

Pada masa Orde Baru, pembiayaan pembangunan sangat bergantung pada pendapatan migas dan utang luar negeri, dengan kontrol penuh oleh pemerintah pusat dan minim transparansi. Sebaliknya, masa Reformasi menerapkan desentralisasi, mengurangi ketergantungan pada migas, dan memprioritaskan transparansi serta keterlibatan swasta dalam pembiayaan pembangunan.


Iklan

Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Jumlah penjualan minuman teh dalam empat jam pertama berturut-turut adalah 12, 7, 16, 11 Pada jam ke-6 jumlah penjualan minuman teh adalah 25. Adapun jumlah penjulan kopi empat jam pertama berturut-turut adalah 36, 36, 18, 15 Pada jam ke-6 jumlah penjualan kopi adalah 12 Jika tren penjulan teh dan kopi bersitat konsisten, berapakah jumlah penjualan teh dan kopi pada jam ke-5? (A) 15 dan 45 (B) 20 dan 60 (C) 20 dan 45 (D) 15 dan 50 (E) 22 dan 60

38

0.0

Jawaban terverifikasi