Deskripsikan Jalannya Pemilu pada mas Orde Baru!

Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan rutin enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) dengan penyelenggara di bawah pemerintah (LPU), peserta dipersempit menjadi tiga (Golkar, PPP, PDI) melalui fusi partai, kampanye dan materi politik dibatasi ketat, PNS/aparatur dimobilisasi mendukung Golkar, ABRI menjalankan dwifungsi serta memiliki kursi jatah di DPR/MPR, asas LUBER diberlakukan secara formal namun praktiknya tidak jurdil, dan hasilnya Golkar selalu menang besar sementara presiden ditetapkan MPR sehingga pemilu tidak benar‑benar menentukan kekuasaan eksekutif. Mula-mula rezim menyusun ulang sistem politik lewat penyederhanaan partai (1973) agar kompetisi terkendali dengan dominasi Golkar yang didukung birokrasi, Korpri, dan ABRI; penyelenggaraan ditempatkan pada LPU di bawah eksekutif sehingga kontrol administratif kuat; tahap kampanye dibatasi (waktu, rute, tema) disertai politik massa mengambang dan asas tunggal Pancasila (1985) untuk menekan organisasi sosial‑keagamaan agar tidak menjadi kendaraan politik; menjelang pemungutan suara, aparatur negara dan kepala daerah memobilisasi pemilih, PNS diarahkan “monoloyalitas” ke Golkar, sementara ABRI selain memengaruhi lapangan juga memiliki kursi non‑terpilih di DPR/MPR; pemungutan dan penghitungan suara berlangsung dengan asas LUBER di atas kertas, namun terjadi ketimpangan akses, penggunaan sumber daya negara, dan intimidasi, sehingga Golkar konsisten unggul; akhirnya MPR yang beranggotakan campuran hasil pemilu, utusan golongan, dan jatah ABRI menetapkan presiden, membuat pemilu lebih berfungsi sebagai legitimasi rezim ketimbang mekanisme pergantian kekuasaan yang kompetitif.