Hanifa N

Ditanya 3 hari yang lalu

Iklan

Hanifa N

Ditanya 3 hari yang lalu

Pertanyaan

cerpen tema kebudayaan tolong pils aku butuh

cerpen tema kebudayaan tolong pils aku butuh

8 dari 10 siswa nilainya naik

dengan paket belajar pilihan

Habis dalam

00

:

09

:

28

:

28

Klaim

7

1

Jawaban terverifikasi

Iklan

Zahrand Z

Dijawab 3 hari yang lalu

Jawaban terverifikasi

<p><strong>Jejak Saron di Tanah Leluhur</strong></p><p>Matahari mulai turun perlahan di ufuk barat, menyisakan semburat jingga di langit desa Ngayogyakarta. Dalam keheningan yang magis, denting suara saron dari balai desa mulai terdengar. Angga, seorang pemuda yang baru kembali dari Jakarta setelah menyelesaikan studinya, berdiri di pinggir lapangan, mengamati latihan karawitan yang dipimpin oleh Pak Gito, sesepuh desa yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam memainkan gamelan.</p><p>Sudah lima tahun Angga meninggalkan kampung halamannya demi mengejar pendidikan yang lebih baik di kota besar. Setiap kali ia kembali, desa selalu menyambutnya dengan irama lembut gamelan yang mengalun di angkasa. Namun, kali ini suasananya terasa berbeda. Ada perasaan asing yang menggelayuti hatinya, seakan-akan ada sesuatu yang hilang dari dirinya.</p><p>“Angga!” panggil Pak Gito, menyadari keberadaan pemuda itu. “Ayo, sini, jangan cuma menonton. Duduk, mainkan saronnya. Sudah lama tanganmu tak menyentuh alat ini.”</p><p>Angga tersenyum kecut. Dulu, saat masih kecil, ia sering ikut bermain saron bersama teman-temannya. Namun, sejak ia tinggal di kota, semua itu terasa jauh. Perlahan, ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Pak Gito, dan meraba bilah saron di hadapannya. Tangannya kaku, tapi ketika pukulan pertama menghantam bilah logam, alunan nada mulai mengalir, membawa kenangan masa kecil yang pernah ia lupakan.</p><p>“Aku pikir kamu sudah lupa caranya,” Pak Gito terkekeh pelan.</p><p>Angga hanya tersenyum. Ia teringat bagaimana dulu, setiap malam minggu, anak-anak desa berkumpul di balai untuk belajar karawitan. Semua orang memandang gamelan sebagai napas kebudayaan yang tak boleh pudar. Tapi seiring waktu, Angga semakin merasa terasing dari dunia itu. Hidup di kota besar membuatnya lebih sering mendengar musik modern, dan perlahan ia mulai melupakan bunyi lembut gamelan yang dahulu selalu menenangkannya.</p><p>“Pak, apa yang membuat gamelan tetap bertahan di desa ini?” tanya Angga tiba-tiba.</p><p>Pak Gito menghela napas panjang. “Gamelan bukan sekadar musik, Ngga. Ini adalah warisan, jejak leluhur yang mengalir di darah kita. Setiap denting saron, gong, dan kenong menghubungkan kita dengan masa lalu. Tapi lebih dari itu, gamelan mengajarkan harmoni, bukan hanya dalam nada, tapi juga dalam kehidupan.”</p><p>Angga terdiam. Perkataan Pak Gito menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mengejar mimpi dan ambisi di kota besar, hingga melupakan akar budayanya sendiri. Di balik gemerlapnya Jakarta, ia mulai merasa kosong, seolah kehilangan sesuatu yang esensial dalam hidupnya. Mungkin, itulah sebabnya ia memutuskan untuk pulang. Untuk menemukan kembali apa yang hilang.</p><p>“Apakah gamelan akan terus ada, Pak?” Angga bertanya lirih, matanya tertuju pada beberapa anak muda yang juga ikut berlatih.</p><p>Pak Gito tertawa kecil. “Tentu saja. Selama kita, anak-anak desa ini, tetap menjaga dan mencintainya. Kebudayaan akan bertahan selama ada yang meneruskannya.”</p><p>Angga mengangguk pelan. Di saat itu, ia merasa tekadnya mulai tumbuh. Meski dirinya kini bagian dari kota besar, ia tak akan melupakan akar budayanya. Di tengah segala modernitas, ada satu hal yang tak boleh diabaikan—kebudayaan yang menghidupi jati dirinya.</p><p>Diiringi denting saron yang terus mengalun, Angga tahu, ia telah menemukan kembali apa yang selama ini hilang—identitas dan warisannya sebagai anak bangsa. Warisan yang tak boleh terputus, meski zaman terus berubah.</p><p>Di bawah langit desa Ngayogyakarta, saron terus berbunyi. Dan kali ini, Angga yakin, dirinya akan selalu kembali.</p>

Jejak Saron di Tanah Leluhur

Matahari mulai turun perlahan di ufuk barat, menyisakan semburat jingga di langit desa Ngayogyakarta. Dalam keheningan yang magis, denting suara saron dari balai desa mulai terdengar. Angga, seorang pemuda yang baru kembali dari Jakarta setelah menyelesaikan studinya, berdiri di pinggir lapangan, mengamati latihan karawitan yang dipimpin oleh Pak Gito, sesepuh desa yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam memainkan gamelan.

Sudah lima tahun Angga meninggalkan kampung halamannya demi mengejar pendidikan yang lebih baik di kota besar. Setiap kali ia kembali, desa selalu menyambutnya dengan irama lembut gamelan yang mengalun di angkasa. Namun, kali ini suasananya terasa berbeda. Ada perasaan asing yang menggelayuti hatinya, seakan-akan ada sesuatu yang hilang dari dirinya.

“Angga!” panggil Pak Gito, menyadari keberadaan pemuda itu. “Ayo, sini, jangan cuma menonton. Duduk, mainkan saronnya. Sudah lama tanganmu tak menyentuh alat ini.”

Angga tersenyum kecut. Dulu, saat masih kecil, ia sering ikut bermain saron bersama teman-temannya. Namun, sejak ia tinggal di kota, semua itu terasa jauh. Perlahan, ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Pak Gito, dan meraba bilah saron di hadapannya. Tangannya kaku, tapi ketika pukulan pertama menghantam bilah logam, alunan nada mulai mengalir, membawa kenangan masa kecil yang pernah ia lupakan.

“Aku pikir kamu sudah lupa caranya,” Pak Gito terkekeh pelan.

Angga hanya tersenyum. Ia teringat bagaimana dulu, setiap malam minggu, anak-anak desa berkumpul di balai untuk belajar karawitan. Semua orang memandang gamelan sebagai napas kebudayaan yang tak boleh pudar. Tapi seiring waktu, Angga semakin merasa terasing dari dunia itu. Hidup di kota besar membuatnya lebih sering mendengar musik modern, dan perlahan ia mulai melupakan bunyi lembut gamelan yang dahulu selalu menenangkannya.

“Pak, apa yang membuat gamelan tetap bertahan di desa ini?” tanya Angga tiba-tiba.

Pak Gito menghela napas panjang. “Gamelan bukan sekadar musik, Ngga. Ini adalah warisan, jejak leluhur yang mengalir di darah kita. Setiap denting saron, gong, dan kenong menghubungkan kita dengan masa lalu. Tapi lebih dari itu, gamelan mengajarkan harmoni, bukan hanya dalam nada, tapi juga dalam kehidupan.”

Angga terdiam. Perkataan Pak Gito menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mengejar mimpi dan ambisi di kota besar, hingga melupakan akar budayanya sendiri. Di balik gemerlapnya Jakarta, ia mulai merasa kosong, seolah kehilangan sesuatu yang esensial dalam hidupnya. Mungkin, itulah sebabnya ia memutuskan untuk pulang. Untuk menemukan kembali apa yang hilang.

“Apakah gamelan akan terus ada, Pak?” Angga bertanya lirih, matanya tertuju pada beberapa anak muda yang juga ikut berlatih.

Pak Gito tertawa kecil. “Tentu saja. Selama kita, anak-anak desa ini, tetap menjaga dan mencintainya. Kebudayaan akan bertahan selama ada yang meneruskannya.”

Angga mengangguk pelan. Di saat itu, ia merasa tekadnya mulai tumbuh. Meski dirinya kini bagian dari kota besar, ia tak akan melupakan akar budayanya. Di tengah segala modernitas, ada satu hal yang tak boleh diabaikan—kebudayaan yang menghidupi jati dirinya.

Diiringi denting saron yang terus mengalun, Angga tahu, ia telah menemukan kembali apa yang selama ini hilang—identitas dan warisannya sebagai anak bangsa. Warisan yang tak boleh terputus, meski zaman terus berubah.

Di bawah langit desa Ngayogyakarta, saron terus berbunyi. Dan kali ini, Angga yakin, dirinya akan selalu kembali.


Iklan

Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Iklan