Annisa A
20 Juli 2025 12:49
Iklan
Annisa A
20 Juli 2025 12:49
Pertanyaan
Cermati dan Baca teks dibawah ini!
Hari Ibu
Langit sore terhampar seumpama permadani. Pendar kekuningan memenuhi setiap penjuru ruang. Cicit kenari pada dahan pohon depan kamar perlahan lekas berganti dengan lengang. Hanya menyisakan satu dua bunyi jangkrik di kejauhan. Pada dahan kayu itu, dahulu kala, ialah tempat di mana anak-anakku sering menghabiskan waktu. Bergelayutan layaknya orang yang sudah terlampau pandai bercokol dengan pohon. Jika tidak purnama, kadang mereka menghabiskan waktu senjanya hanya dengan saling berceloteh ria melempar candaan sambil bertukar buku bacaan.
Aku kian hanyut dalam kenangan yang kuciptakan berkali-kali ketika acap kali hati dilanda rindu. Seiring pendar kekuningan mulai merayap pada peraduannya, terbenam bersamaan dengan datangnya hamparan lain yang lebih mencekam, langit malam. Gemerisik angin menenggelamkan sedu yang nyaris tak terdengar. Riak rerumputan di depan rumah turut berderak mengayun tak beraturan.
Dengan menyingsingkan lengan baju aku berjalan menghampiri sakelar lampu. Titik yang jatuh pada dinding pipi segera kuusap agar tak segera menganak sungai. Lampu-lampu kuhidupkan, pintu depan kubuka lebar-lebar. Gorden yang semula tak digerai kubiarkan seperti seadanya. Aku tak ingin para cahayaku mengira aku sudah terlelap sehingga urung untuk datang.
Gegas kutata makanan yang masih mengepul pada meja yang telah selesai kuhias. Di rak kecil samping meja makan, tak lupa kusampirkan kenangan-kenangan masa kecil para cahayaku yang lagi-lagi membuatku tak tahan untuk tak sekadar tersenyum dan menatapnya dalam. Kuusap figura berukuran kecil ini, kuciumi, dan kubelai wajah-wajah mungil dengan pipi gembul dan rambut keriting yang hitam. Rintik, Kala, Binar, dan Gema. "Para tetua dari negeri Greenland yang akan membasmi kejahatan dan ketidakadilan," begitulah celoteh mereka ketika berumur 7 tahun kala itu. Anak-anakku yang gemar bermimpi, berkhayal, senang berceloteh riang yang tak ayal membuatku sangat gemas dan terpesona dengan binaran matanya yang terang. Sebuah keindahan yang diwarisi dari mendiang ayahnya. "Mas, sekarang anak-anak kita sedang berjuang untuk menggapai mimpi-mimpinya," gumamku sesak menahan tangis.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 19.00 malam. Aku lekas bergegas mempersiapkan diri untuk bertemu dengan mereka. Aku tak ingin terlambat barang sedikit pun. Tak akan kulewatkan sedetik pun waktuku walau hanya untuk memandangi binar matanya satu per satu. Binar yang akhir-akhir ini menganggu tidurku. Binaran mata yang sering kali membuatku tergugumalam-mala. Mengingat betapa merindunya aku pada mereka, buah hati yang telah ayahnya amanahkan padaku.
Kupandangi wajah ini pada cermin dengan lekat. Memindai setiap kerutan yang saling berseberangan. Beberapa bulan ini aku tak merawat diri. Kulit kering yang semakin kusam kubiarkan seadanya. Siang malam aku hanya sibuk merindu.
Aku duduk di meja kayu dekat jendela. Menyesap teh hangat kuku yang kubuat untuk menemani hari bahagiaku. Kupandangi tajam hamparan rumput yang kian tinggi, bergumam sendiri, dan membayangkan mereka datang melambaikan tangan di kejauhan dengan binaran rindunya.
Semakin aku berkhayal semakin aku tak tahan dengan kedatangannya. Aku berdiri dan berjalan mondar-mandir layaknya seseorang yang tengah menunggu pengumuman kelulusan. Sesekali kulirik jam dinding, berharap cemas akan praduga-praduga yang kian memenuhi isi kepala. Aku lantas menepisnya dan kembali kuyakinkan hati agar lebih bersabar menanti. Aku kembali mendudukkan diri pada kursi.
Namun rupanya, saat denting waktu telah menunjukkan tepat tengah malam pun, tiada sesiapa yang datang. Sudah tiga gelas teh aku habiskan. Aku menatap jendela dengan pemandangan hamparan rumput yang semakin kusut terbawa angin. Tetap teguh menunggu dengan menyampirkan jaket rajut tebal untuk menghalau angin malam yang menusuk kulit.
Hingga gelas teh hangat pun tandas untuk kesekian kali. Sampai pada akhirnya, sang fajar malu-malu mengukir pendar. Binarnya perlahan merangkak naik, menyilaukan aku dan hatiku yang kacau. Kuusap titik yang berjatuhan tanpa bisa kubendung. Teringat ucapan Rintik dalam voice note tempo hari, "Buu, kami akan pulang bersama untuk merayakan hari ibu. Maafkan kami karena jarang pulang. Meskipun hanya setahun sekali, kami harap ibu mengerti. Sampai jumpa ibu, Aku menyayangi ibu."
Bak tanah gersang yang menanti hujan. Begitulah umpama aku yang tak pernah merasa aman dari rasa rindu. Berharap datang waktu di mana semua kan luruh. Di mana rinai hujan kembali membumihanguskan pekarangan sanubari yang teramat kuat pada penantiannya.
Sumber: http://cerpenmu.com
Pertanyaan:
I. Temukan ide pokok serta letak teks dalam setiap paragraf teks diatas!
16
2
Iklan
KEYLA K
21 Juli 2025 11:40
Kalau ide pokok keseluruhan teks, menurut saya adalah "kenangan masa lalu dari seorang ibu tentang anak anaknya"
Tapi kalau ditanya ide pokok masing masing paragraf saya kurang tau soalnya menggunakan bahasa "perumpamaan" Jadi agak sulit.
**Sorry kalau salah**
ยท 5.0 (1)
Iklan
Zahira S
27 Juli 2025 12:32
Teks tersebut menceritakan tentang kenangan seorang ibu dengan anak-anaknya, itulah ide pokoknya.
Maaf kalau salah...
Makasih...๐๐๐ป๐๐ป
ยท 0.0 (0)
Tanya ke AiRIS
Yuk, cobain chat dan belajar bareng AiRIS, teman pintarmu!

LATIHAN SOAL GRATIS!
Drill Soal
Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian


Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!