Aira A

26 Maret 2024 11:21

Iklan

Iklan

Aira A

26 Maret 2024 11:21

Pertanyaan

Bukti watak tokoh aku suka mengadu terdapat * pada nomor (pilihan lebih dari satu)... (1) Kejengkelanku yang sudah mulai hilang kini muncul kembali. (2) 'Hebat' betul si Siti ini. (3) Mana ada, sih, pembantu yang ngambek kalau diomeli majikan? (4) Kalau begini caranya, lebih baik dipecat saja día (5) Nanti kalau ibu pulang akan kulaporkan ulahnya (6) Akan kubujuk ibu agar memecatnya (7) Biar tahu rasa dia (8) Yang mau jadi pembantu pasti masih banyak, tidak usah khawatir mengenal penggantinya.

Bukti watak tokoh aku suka mengadu terdapat * pada nomor (pilihan lebih dari satu)...

(1) Kejengkelanku yang sudah mulai hilang kini muncul kembali.

(2) 'Hebat' betul si Siti ini.

(3) Mana ada, sih, pembantu yang ngambek kalau diomeli majikan?

(4) Kalau begini caranya, lebih baik dipecat saja día

(5) Nanti kalau ibu pulang akan kulaporkan ulahnya

(6) Akan kubujuk ibu agar memecatnya

(7) Biar tahu rasa dia

(8) Yang mau jadi pembantu pasti masih banyak, tidak usah khawatir mengenal penggantinya.


7

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Iklan

Rosa R

28 Maret 2024 02:13

Jawaban terverifikasi

Jawabannya adalah Bukti watak aku suka mengadu terdapat pada nomor (5)Nanti kalau ibu pulang akan kulaporkan ulahnya Penjelasan Karena pada nomor (5)Tokoh sedang akan melaporkan(mengadu) kepada ibunya karena pembantunya kurang baik.


Iklan

Iklan

Salsabila M

28 Maret 2024 03:04

Jawaban terverifikasi

<p>Bukti watak tokoh "aku suka mengadu" terdapat pada nomor:</p><p>(3) Mana ada, sih, pembantu yang ngambek kalau diomeli majikan?<br>(4) Kalau begini caranya, lebih baik dipecat saja dia.<br>(5) Nanti kalau ibu pulang akan kulaporkan ulahnya.<br>(6) Akan kubujuk ibu agar memecatnya.<br>(7) Biar tahu rasa dia.</p><p>Kata-kata seperti "kulaporkan ulahnya", "kubujuk ibu agar memecatnya", dan "biar tahu rasa dia" menunjukkan kecenderungan tokoh untuk mengadu atau melaporkan perilaku orang lain kepada pihak lain, dalam hal ini kepada ibu atau majikan.</p>

Bukti watak tokoh "aku suka mengadu" terdapat pada nomor:

(3) Mana ada, sih, pembantu yang ngambek kalau diomeli majikan?
(4) Kalau begini caranya, lebih baik dipecat saja dia.
(5) Nanti kalau ibu pulang akan kulaporkan ulahnya.
(6) Akan kubujuk ibu agar memecatnya.
(7) Biar tahu rasa dia.

Kata-kata seperti "kulaporkan ulahnya", "kubujuk ibu agar memecatnya", dan "biar tahu rasa dia" menunjukkan kecenderungan tokoh untuk mengadu atau melaporkan perilaku orang lain kepada pihak lain, dalam hal ini kepada ibu atau majikan.


lock

Yah, akses pembahasan gratismu habis


atau

Dapatkan jawaban pertanyaanmu di AiRIS. Langsung dijawab oleh bestie pintar

Tanya Sekarang

Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Bacalah teks cerpen berikut dengan saksama. Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang jika dipuji. Tetapi akhir-akhir ini, dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, "lni Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang." Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, " Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar, berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar." Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, "Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri." Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. "Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya." Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa jika mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek, dia belum berbuat jasa apa pun. lni yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya. Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan. Seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi. Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. ljazahnya hanya SMP dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. "Pesawat musuh pasti akan meledak, kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini," selalu demikian yang dibayangkan Mardanu. Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya, Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana. Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun, pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal. Ketika tersadar, Mardanu kecewa berat, mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andai kata itu peristiwa nyata, dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian, Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi i tu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi. Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun, Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun. Pagi ini, Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak, napasnya terdengar megap-megap. Namun, seperti biasa, dia mengajak Mardanu bercakap-cakap. "Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos," kata si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa. Selama jadi tentara belum pernah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun. Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos, Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya . Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Setelah itu, terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kasau emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya . Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya: mencecet, mengibaskan sayap, dan merentang ekor sambil melompat - lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun, mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. ltu tangan Manik, cucu perempuan. "ltu burung apa, Kek?" tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati. "Namanya burung kutilang. Bagus, kan?" Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan. "O, jadi itu burung kutilang , Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi . Nyanyi burung kutilang." "Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar." Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.yang masih duduk di taman kanak-kanak. Di pucuk pohon cempaka , burung kutilang bernyanyi ... Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan . Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi. Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik , dipeluk, dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana, Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga, terulang-ulang suara cucunya. Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi .... Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Setelah itu, perlahan-lahan dia berdiri mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar, dia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi setelah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia seperti bingung berhadapan dengan udara bebas, tetapi akhirnya burung itu terbang ke arah pepohonan. Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong. "Kek, di mana burung kutilang itu?" tanya Manik dengan mata membulat. "Sudah Kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan." "Kek, kenapa kutilang itu dilepas?" Mata Manik masih membulat. "Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu." Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak namun belum ada satu kata pun yang keluar. "Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek," Manik melompat-lompat gembira. Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. ltu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita. Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong. (Cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji" karya Ahmad Tohari dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018) Pada cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji", terdapat beberapa latar. Latar terdiri dari waktu, tempat, dan suasana. Rumah termasuk pada latar ... Sertakan kutipan dari cerita yang membuktikan latar tersebut.

8

0.0

Jawaban terverifikasi

Cat Hitam Mendakwa Pentas menggambarkan halaman belakang Sekolah Menengah Pertama. Ada tembok bagian belakang sekolah itu. Di dekat tembok ada semacam bangku panjang yang sudah luntur warna catnya terletak di sebelah kiri. Tampak pada tembok coretan-coretan yang dibuat dengan cat: PROTHOLS, XELEX, THORAX, dan lain-lainnya. Tampaknya, coretan itu belum lama dibuat. Catnya belum kering benar. Tatkala lakon ini berlangsung, waktu menunjuk saat istirahat. Dari sebelah kiri muncul dua orang anak, siswa dan siswi. Tuti menarik tangan Bakri. (Musik) 01. Tuti : (Nada mengajak) Lihat itu! Ayo, cepat. (Menarik tangan Bakri) Lihat itu. (Mereka tiba di depan tembok yang bercorat-coret dan memandangi tulisan itu-Tentu saja, mereka membelakangi penonton, tetapi tidak perlu dipersoalkan karena ada alasannya) Nah, percaya tidak, kamu? 02. Bakri : Gi-la! (Menyentuh coretan) Catnya belum kering benar, Tut. Padahal tembok ini baru dikapur oleh Pak Dullah seminggu yang lalu, ya, kan? 03. Tuti : (Berjalan menuju bangku dan duduk) Ya, aku juga tahu itu. Terlalu! 04. Bakri : (Membalik ke arah Tuti) Siapa yang terlalu? 05. Tuti : Yaaa ...., siapa lagi? 06. Bakri : Jadi, kamu sependapat dengan Pak Guru bahwa si Muhdom yang membuat corat-coret ini? 07. Tuti : Aku tidak bilang sependapat, aku hanya mengatakan siapa lagi, kan? 08. Bakri : (Mendekati Tuti) Maksudmu siapa? (Duduk) Siapa? 09. Tuti : Aku tidak tahu. (Berdiri, berjalan ke arah tembok, lalu membalik ke arah Bakri) Tapi, kalau aku pikir bahwa di sekolah kita hanya Muhdom yang sering membantu Pak Guru membuat dekorasi panggung, hiasan kelas, dan sebangsanya itu. Mungkin dugaan Pak Guru tidak terlalu salah. 10. Bakri : Ah, kamu ini, Tut. (Berdiri) Masak Muhdom? Dia sahabatku. Dan itu tidak mungkin. 11. Tuti : Selama sahabatmu bukan malaikat, kemungkinan selalu ada. Lagi pula, siapa yang pintar main-main cat seperti ini kecuali Muhdom? 12. Bakri : Jika kemungkinan selalu ada, aku menduga ini perbuatan Nyoman. 13. Tuti : Maksudmu Nyoman sahabatku? ltu tuduhan tidak mendasar. 14. Bakri : (Tersenyum) Nah, kalau menurut kamu bukan Nyoman, menurut aku bukan Muhdom yang membuat coretan-coretan ini. (Berjalan ke bangku dan duduk) Kita memang tidak tahu. Lu enggak ngerti, gue pun demikian pula. Huh! (Memandangi tulisan itu) (Terdengar beberapa anak memanggil-manggil, "Tut, Tuti.") 15. Tuti : (Berteriak). Aku di sini....! (Ita, Tarso, dan Bardas muncul ... ) 16. Bardas : Tut, Muhdom akan disidang nanti selepas jam terakhir! (Menatap coretan dan mendekatinya, lalu geleng-geleng kepala 7 (tujuh) kali) 17. Tuti : Oh, ya? (Memandang Bakri) 18. Bakri : (Kaget, lalu berdiri) Apa? 19. Ita : Ya, si Muhdom! Kasihan, dia. (Melihat coretan, lalu geleng-geleng kepala 8 (delapan) kali) 20. Tarso : Bagaimana, Ta. Dia kan sahabatmu .... ? 21. Bakri : (Menahan marah) Gi-la! Pak Guru bilang begitu? 22. Ita : Bukan, bukan Pak Guru. 23. Bakri : Lalu si .... 24. Tarso : (Memotong) Tanjir yang ngomong. 25. Bakri : Tanjir yang berbicara dan kalian percaya? 26. Bardas : Habis, dia keluar dari ruangan guru terus bilang begitu. Siapa tidak percaya? (Semua terdiam, saling memandang. Sepi berlangsung tujuh detik. Ita berjalan pelan-pelan menuju bangku lalu duduk. Berpikir. Bakri mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Musik terdengar keras, gemuruh, lalu perlahan-lahan leyap). 27. Ita : (Berbicara lirih, tetapi terdengar jelas) lni gawat. 28. Tuti : Huh, kamu itu ...., sedikit-sedikit 'gawat'. Ulangan 'gawat', mau drama 'gawat'. (Mendekatinya dan berdiri di sampingnya) Apa yang tidak gawat bagi kamu? 29. Tarso : Aku pikir Ita benar. Pak kepala sekolah bisa marah sekali kalau melihat coretan-coretan ini. 30. Ita : Ya. Dengan susah payah Pak Dullah mengapurinya. Enak saja dicoret-coret begitu. Lagi pula, Prothols itu kan nama geng. Kita semua bisa dituduh anggota geng itu. 31. Tuti : Ah, kalian ini! Coba kalian pikir, coretan ini kan bukan kita yang bikin? Kenapa kita cemas? Tenang saja. Aku bawa Bakri kemari karena dia tidak percaya ada coretan ini. ltu saja. Celakanya, Bakri malah menuduh Nyoman yang membuatnya. Sialan! Lalu kalian mau ikut-ikut kemari . Ngapain? Aku mau ke depan. (Berjalan) 32. Bakri : Tuti, ke mana kamu? Tunggu dulu! lni gawat. Kita semua bisa ditahan di sekolah sampai biang keladinya ditangkap. 33. Tuti : Terus, kita semua mau kamu suruh apa? Sebentar lagi kita masuk. 34. Bakri : Aku mau bertanya, siapa yang kemarin sore datang ke sekolah menyelesaikan tugas membuat kliping? 35. Tarso : Kita semua, kan? 36. Bakri : Betul. Tapi siapa lagi? Kamu ingat, Ita? 37. Ita : Muhdom, Yuspar ..... 38. Bardas : (Menukas) Kamu sendiri, Tanjir, Nyo .... 39. Bakri : (Menukas) Nah, Tanjir juga ikut datang. Biasanya dia malas datang, kan? 40. Tuti : Benar. Tapi ..... 41. Tarso : Bukannya malas kalau dia sering tidak datang. Rumahnya jauh dan tidak ada yang mengantarkannya. 42. Bakri : Baik. Kalian tunggu di sini. Kalau ada bel masuk, jangan masuk dulu. Biar aku yang menanggung kalau Pak Guru marah. (Lari ke luar panggung) 43. Tuti : Bakri ke mana? 44. Tarso : Sudah Tut, di sini saja kamu. Taati saja perintah kapten kita. 45. Ita : Mau apa si Bakri? 46. Bardas : Aku benci cara-cara begini. Apa sih susahnya bilang nggak tahu kalau nanti Pak Guru bertanya soal coretan ini? Lagaknya kayak pahlawan. (Menirukan Bakri) "Aku yang menanggungnya." Enak saja. (Terdengar bel masuk). 47. Bardas : Dengar itu, aku mau masuk kelas. 48. Tuti : Jangan, Bardas! 49. Tarso : Bardas di sini saja. 50. Bardas : Nggak. Peduli amat. (Mau berjalan) 51. Ita : Bardas, jangan! 52. Tarso : Aku cubit kalau kamu nekat pergi. (Bakri masuk ke panggung dengan menyeret Tanjir dengan tangan kirinya. Tangan kanannya membawa tas milik Tanjir). 53. Bakri : (Memerintahkan Tanjir, napasnya terengah-engah) Duduk! 54. Tanjir : (Duduk) Apa maksud kalian? 55. Bakri : Dengar. Kamu kemarin pulang lebih dahulu sebelum kami pulang, bukan? 56. Tanjir : Ya. Lalu? Apa salahku? 57. Bakri : Tapi, sebenarnya kamu tidak terus pulang ke rumah. Sebab, ketika kami semua sampai di pintu gerbang halaman sekolah, kakakmu yang menjemputmu masih menunggu kamu di sana. Artinya, kamu masih berada di dalam lingkungan sekolah. Dan ini ... '(Bakri membuka tas Tanjir). Ada noda cat hitam pada tasmu. Cat ini sama dengan yang ada di tembok itu. lni artinya, waktu kamu pamit minta pulang lebih dulu, kamu datang kemari dan membuat coretan ini. Kamu naik di atas bangku ini. Lihat, (Menunjuk bangku) ada noda-noda hitam. lni cat yang sama. Tegakah kamu Tanjir, melihat Muhdom dihukum karena tuduhan membuat coretan yang sebenarnya kamu lakukan? Tegakah kamu mencoratcoret tembok yang putih bersih ini? Tegakah kamu melihat kita semua dimarahi Pak Guru? (Tanjir menunduk lalu menutup mukanya. Ia tampak tersedu-sedu. Yang lainnya memandangnya, lalu satu demi satu meninggalkannya. Tinggal Bakri memperhatikan Tanjir tersedu-sedu). 58. Bakri : (Menarik tangan Tanjir. Tanjir berdiri masih menutup mukanya). Sudahlah, jangan kamu lakukan lagi. Aku akan menemani kamu menghadap Bapak Kepala Sekolah. (Bakri merangkul Tanjir yang tetap menunduk. Berdua keluar dari panggung. Musik terdengar keras) Sumber: Bakdi Soemanto, "Cat Hitam Mendakwa" dalam Majalah Dinding Kumpulan Drama, Yogyakarta, Gama Media, 2006 4. Analisislah watak tokoh Tanjir dalam naskah drama tersebut.

98

4.5

Jawaban terverifikasi

Iklan

Iklan

SAHABAT UNTUK SALMA Adegan 1 Ruang kelas masih sepi, Naira sudah masuk kelas. Dia sedang berbincang-bincang dengan Yusuf dan Rahmi. Naira : Akhir-akhir ini kulihat Salma sering datang terlambat Rahmi : lya, ada apa ya? Biasanya dia terkenal paling disiplin. Kita belum datang saja dia sudah di kelas. Ini sejak dua hari yang lalu dia terlambat terus? Naira : Entahlah, Salma jadi aneh belakangan ini. Dia lebih suka menyendiri. Kita seharusnya sebagai sahabat yang baik mengetahui apa yang diderita Salma saat ini. Yusuf : (Mendekati Naira &amp; Rahmi) lya, betul itu. Tidak beriman seseorang sebelum mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. Rahmi : Baiklah, nanti kita tanyakan saja ke Salma tentang masalah apa yang dia hadapi hingga sering terlambat sekolah Yusuf : Jangan, lebih baik kita cari tahu sendiri. Naira : Caranya? Yusuf : Kebetulan kemaren sore aku lihat Salma baru keluar dari rumah Zaza. ltulah, teman kita yang sok kaya dan kecentilan itu? Rahmi : Hah, yang bener? Naira : Wah, kita harus bertindak cepat. Aku merasa ada hal yang aneh dengan mereka. Pantas saja Salma semakin akrab dengan Zaza. Adegan 2 Salma membereskan kamar Zaza yang berserakan. Dia punguti sampah dan kertas bekas bungkus makanan di kamar Zaza kemudian Zaza masuk bersama Ayudya. Zaza : Eh, ada pembantu baru di rumah ini! Ayudya : Hahahaha, kerja ya Bu? Kasihan amat . . . Salma : (Diam , memunguti sampah di kamar Zaza) Zaza : (mendekat) Hei, kau tuli? Disapa malah diam! Jarang-jarang kita sapa pembokat seperti kamu. Ayudya : (menarik kerudung Salma) Hai, kamu' Kalau ada orang yang ajak bicara ya tatap dong? Diam saja. Bisu apa? Kita buka saja jilbabnya si Salma itu. Kita gunduli rambutnya. Bagaimana, Zaza? Salma : Ampun, jangan lakukan itu. Jangan .. Zaza : Ampun? Hahaha .. sepertinya ide kamu bagus juga Ayudya . Kamu pegangi dia. Ayudya : (mendekat dan memegangi tangan Salma) Salma : Tolong, jangan lakukan itu. Tolong .. Rambut itu mahkota wanita, Allah tidak menyukai wanita yang mempunyai rambut pendek. Aku tidak mau itu. jadi tolong, jangan lakukan .. Zaza : Sudah, diam! Kamu mau dibayar berapa untuk rambut gundul nanti? Uang bagiku tak masalah. Salma : (meronta) Tidak! Aku tidak butuh uang. Ayudya : Huuuh, sudah miskin saja sombong Salma : Tolong, jangan lakukan itu padaku Zaza : Kamu pegangi yang kuat. Aku ambil gunting dulu Ayudya : Siip .. Salma : (berusaha melepaskan diri dari pegangan Ayudya namun tak mampu) Zaza : (mendatangi Salma, menggunting rambut Salma) Hahaha, rasakan kamu Salma. Salma : Tolong, jangan lakukan ini (menangis) Adegan 3 Yusuf, Naira dan Rahmi berdiri di depan rumah Zaza. Mereka mendengar suara Salma yang menjerit meminta pertolongan. Salma : (keluar dari rumah dan lari) Naira : Salma, tunggu!! (mengejar Salma kemudian diikuti Yusuf dan Rahmi) Rahmi : Salma !!! Adegan 4 Sebuah mobil menabarak Salma yang sedang lari di tepi jalan. Salma tergeletak tak berdaya. Naira, Yusuf, dan · Rahmi mengejar Salma yang sudah tergeletak tak berdaya. Naira : Salmaaaaaaaaaaaaaaaa!!! (mendekap Salma) Rahmi : Salma, bangun! Bangun Salma! Salma : (tergeletak tak berdaya namun masih bernafas) Maafkan aku sahabat, akuu .. Naira : Sudahlah, jangan bicara lagi. Kita bawa ke rumah sakit terdekat. Rahmi : Yusuf, bantu kami membawa Salma ke Rumah sakit Yusuf : Ba. Ba. Ba. Baiiik.. Adegan 5 Salma berbaring di ranj ang, tak berdaya. Naira dan Rahmi mendampingi Salma. Rahmi : Tapi perbuatan mereka melewati batas . Kami tidak terima! Salma : Sudah .. jangan diperpanjang. Yusuf : (mendekati Salma) maaf, memangnya kamu di rumah Zaza sedang apa? Salma : Aku kerja di rumah Zaza Naira : Hah, kerja? Untuk apa? Salma : Kebetulan uang jatah bulananku habis. Aku belum mendapat kiriman uang dari Ayah di kampong Naira : Mengapa kamu tidak jujur dengan kami? Salma : Maaf, aku tidak mau merepotkan teman-teman Naira : Setidaknya kami bisa meminjamimu uang. Rahmi : Iya, kami bisa bantu kamu Salma Yusuf : Sahabat itu lebih indah. Harusnya kamu jujur kepada kami. Di bulan Ramadhan ini akan dilipatgandakan pahala kebaikannya, dan akan dimaafkan segala kesalahan kita. Salma : Baiklah, aku minta maaf atas kesalahanku Naira : Sudahlah, yang penting kamu jangan seperti itu lagi . Salma : Iya, aku janji. Rahmi : Alhamdulillah ... (Sumber: Naskah drama diunduh pada h ttp://turisqoh-fu ticha.blogspot.eo.id/20 l l/07 /naskah-drama-untuk-anak-smp.html) Berdasarkan naskah drama di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! Siapa sajakah tokohnya?

13

0.0

Jawaban terverifikasi

Identitas Buku Judul : Sang Pemimpi Penulis : Andrea Hirata Penerbit : PT Bentang Pustaka Halaman : x + 292 Halaman Cetakan : ke-14, Januari 2008 Jenis Sampul : Soft Cover Dimensi(L x P) : 130x205mm Kategori : Petualangan Harga : Rp 40.000 Text : Bahasa Indonesia ISBN : 979-3062-92-4 Keterangan novel: Andrea Hirata, lahir di Belitong. Meskipun kuliah utamanya Ekonomi, ia amat menggemari pelajaran IPA seperti Fisika , Biologi, Kimia, Astronomi, dan tentu saja Sastra. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker. Sekarang ia tengah mengejar mimpinya untuk tinggal di Kye Gompa, desa tertinggi di dunia, di Himalaya. Andrea berpendidikan Ekonomi di Universitas Indonesia.Ia mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Universite de Paris , Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan lulus cumlaude. Tesis itu telah di adaptasi ke dalam bahasaindonesia dan merupakan buku Teori Ekonimi Telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Saat ini Andrea tinggal di Bandung dan masih bekerja di kantor pusat PT Telkom Indonesia. Novel ini bercerita tentang tiga orang pemimpi, Ikal, Arai dan Jimbron. Setelah tamat SMP mereka melanjutkan ke SMA Bukan Main, di sinilah perjuangan me-reka dimulai. Ikal adalah salah satu dari anggota Laskar Pelangi.Sementara Arai yang merupakan saudara sepupu Ikal yang sudah yatim piatu sejak SD tinggal di rumah Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah dan Ibu Ikal. Kemudian Jimbron, anak angkat seorang pendeta karena yatim piatu juga sejak kecil. Namun, pendeta yang sangat baik dan tidak memaksakan keyakinan jimbron, malah mengantarkan Jimbron menjadi muslim yang taat. Arai dan Ikal begitu pintar di sekolahnya, sedangkan Jimbron, si penggemar kuda ini biasa-biasa saja. Malah menduduki rangking 78 dari 160 siswa. Sedangkan lkal dan Arai selalu menjadi lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi, karena bagi Arai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa mimpi-mimpi. Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan belajar ke Sorbonne Perancis . Mereka terpukau dengan cerita Pak Balia, kepala sekolahnya, yang selalu meyebutnyebut indahnya kota itu. Kerja keras menjadi kuli ngambat mulai pukul dua pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga pemuda itu. Mati-matian menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun kalau di logika, tabungan mereka tidak akan cukup untuk sampi ke sana. Tapi jiwa optimisme Arai tak terbantahkan. Selesai SMA, Arai dan Ikal merantau ke Jawa, Bogor tepatnya. Sedangkan jimbron lebih memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di Belitong. Jimbron menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan lkal sampai di Ferancis, maka jiwa jimbron pun akan selalu bersama mereka . Berbula-bulan terkatung-katung di Bogor, mencari pekerjaan untuk bertahan hidup susahnya minta ampun. Akhirnya setelah banyak pekerjaan tidak bersahabat ditempuh, lkal diterima menjadi tukang sortir (tukang Fos) , dan Arai memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Tahun berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi Ul. Dan setelah lulus, ada lowongan untuk mendapatkan biasiswa 52 ke Eropa . Beribu-ribu pesaing berhasil ia singkirkan dan akhrinya sampai lah pada pertandingan untuk memperebutkan 15 besar. Saat wawancara tiba, tidak disangka, profesor pengujinya begitu terpukau dengan proposal riset yang diajukan lkal, meskipun hanya berlatar belakang sarjana Ekonomi yang masih bekerja sebagai tukang sortir, tulisannya begitu hebat. Akhirnya setelah wawancara selesai, siapa yang menyangka, kejutan yang luar biasa. Arai pun ikut dalam wiwancara itu. Bertahun-tahun tanpa kabar berita, akhirnya mereka berdua dipertemukan dalam suatu forum yang begitu indah dan terhormat. Begitulah Arai, selalu penuh dengan kejutan. Semua ini sudah direncanaknnya bertahun-tahun. Ternyata dia kuliah di Universitas Mulawarman dan mengambil jurusan Biologi. Tidak kalah dengan lkal, proposal risetnya juga begitu luar biasa dan berbakat untuk menghasilkan teori baru. Akhirnya sampai juga mereka pulang kampung ke Belitong. Ketika ada surat datang, mereka berdebar-debar membuka isinya. Fengumuman penerima Beasiswa ke Eropa . Arai begitu sedih karena dia sangat merindukan kedua orang tuanya . Arai sangat ingin membuka kabar itu bersama orang yang sangat dia rindukan. Kegelisahan dimulai. Baik Arai maupun lkal, keduanya tidak kuasa mengetahui isi dari surat itu. Setelah dibuka , hasilnya adalah Ikal diterima di Universitas Sorbone , Francis . Setelah perlahan mencocokkan dengan surat Arai, inilah jawaban dari mimpi-mimpi mereka. Keduanya sama-sama lulus beasiswa kuliah di Francis. Dalam novel ini terdapat cukup banyak majas. Salah satunya adalah majas paradox yang terdapat pada halaman 30, "aku ingin tertawa sekeras-kerasnya , tapi aku juga ingin menangis sekeras-kerasnya". Dalam novel ini pula, penulis tidak sekedar merangkai cerita tapi juga berusaha menyuntikan inspirasi kepada kembaca lewat kisah-kisah menyentuh. juga motivasi untuk bangkit. Simak kutipan berikut, "Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak di sana serupa orang yang berdiri di hidung haluan kapal. Felan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. la tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. la telah berdamai dengan kepedihan dan siap menantang nasibnya." Selain itu dalam novel ini kita diajak bersemangat menjalani hidup. Dibuktikan dengan kutipan berikut, "Seperti ucapannya padaku : Tanpa mimpi dan semangat orang seperti kita akan mati." Atau kutipan berikut, "Pak Belia mengakhiri sessionsore dengan menyentak semangat kami. 'Bangkitkah, wahai Para Pelopor!! Fekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yang memberimu inspirasi!!" Pada sisi lainya juga pembaca disuguhkan pemahaman pentingnya kerja keras," setiap pukul dua pagi, berbekal sebatang bamboo, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut yang sudah harus tersaji di meja pualam stanplat pada pukul lima, sehingga pukul enam sudah bisa diserbu ibu-ibu." Banyak kelebihan-kelebihan yang didapatkan dalam novel ini. Mulai dari segi kekayaan bahasa hingga kekuatan alur yang mengajak pembaca masuk dalam cerita hingga merasakan tiap latar yang dideskripsikan secara sempurna. Hal ini tak lepas dari kecerdasan penulis memainkan imajinasi berfikir yang dituangkan dengan bahasa-bahasa intelektual yang berkelas. Penulis juga menjelaskan tiap detail latar yang memlatarbelakangi pada setiap adegan demi adegan, sehingga pembaca selalu menantikan dan menerka-nerka setiap hal yang akan terjadi. Selain itu, kelebihan lain dari pada novel ini yaitu kepandaian Andrea dalam mengeksplorasi karakter-karakter sehingga kesuksesan pembawaan yang melekat dalam karakter tersebut begitu kuat. Selain itu banyak nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam novel ini. Pada dasarnya novel ini hampir tiada kelemahan. Hanya penggunaan bahasa kiasan yang cukup banyak, sehingga bagi pembaca awam cukup kesulitan memahaminya. (Sumber: http://pri towindiarto.blogspot.co.id/2013108/hritih-novel-sang-pemimipil6.html dan http:..dolwmen.t ips!download/l in h!resensi-novel-sang-pemimpi dengan pengubahan) c. Sebutkan kelebihan novel tersebut!

188

4.0

Jawaban terverifikasi

Gadis sore ini setelah jam kerjanya menjaga toko Bu Gilang selesai, ia mengunjungi rumah Rista sahabatnya semasa SMA dulu. Gadis : Sore, Ris. Rista : Sore juga, apa kabar? Gadis : Masih seperti biasanya. Merasa gila* karena usai gajian langsung jatuh miskin semiskin-miskinnya. Rista : Pindah kerja saja, Dis. Kamu ada setoran rutin dengan gaji seperti kutukan segitu kamu gak akan bisa makan layak. Gadis : Maunya juga gitu, tapi kalau tak lepas belum tentu aku segera dapat kerja yang baru. Nanti tambah kasihan ibuku ... Rista : Nanti coba tak tanya temen kalau ada info lowongan. Rista lalu mengambil smartphone-nya, dan menghubungi salah satu kontak di sana. Rista : Hallo Intan, bisa bantu? Intan : Bantu apa, Ris .. ? Rista : Kalau ada info lowongan di resto bapakmu hubungi aku ya? Intan : Wah ... mau kuliah nyambi kerja? Rista : Bukan, ini untuk temanku ... OK .. ? Rista menutup telepon dan seulas senyum tersirat di wajah manisnya yang kalem. Rista : Temanku bilang kalau ada lowongan dia hubungi aku. Resto bapaknya lumayan besar, gajinya gak akan mengecewakan. Di sana kamu dapat jatah libur, gak kerja rodi seperti yang sekarang. Gadis : Iya, makasih ya, Ris. Gadis hendak berpamitan pulang, saat sampai di depan pagar rumah Rista. Lewatlah sepasang suami istri, Bu Gilang dan Pak Bayu. Gilang : Jangan tidur larut malam, Dis. Ingat, besok kerja! Rista seketika merasa marah, di luar jam kerja masih saja diurusi majikan yang cerewetnya minta ampun. Heran Gadis bisa betah, coba kalau tidak ada tanggungan sudah lama Gadis kabur! Bayu : Ibu apa-apaan sih, kan sudah bukan urusan kita Gadis mau tidur jam berapa. Yang penting besok bisa masuk kerja. Gilang : Bapak tahu gak, kalau Rista itu sepertinya mau membuat Gadis keluar dari toko. Nanti bahaya Pak, kita bisa kerepotan! Mbok cari cara biar Gadis gak bisa pindah kerja ... Bayu : Kita kan sudah menggajinya sedikit, mana bisa pindah dia? Nanti juga kesulitan buat nabung dan gak berani keluar ... Gadis kini sudah sampai di kostnya, merasa lelah dan pening kepalanya. Serasa mau pecah, memikirkan nasibnya yang terasa buram nyaris suram masa depan. Ia hanya bisa berdoa malam ini, semoga keajaiban datang! Tiba-tiba pintu kostnya diketuk. Rista : Dis, kita ke rumahku. Temenku datang, bilang resto bapaknya memang butuh karyawan. Akhirnya Gadis pun kembali ke rumah Rista dan bertemu dengan Pak Rudi. Rudi : Resto saya sedang butuh waitress. Kalau kamu mau. Gadis : Saya mau, Pak, tapi saya belum keluar dari tempat kerja yang sekarang. Rudi : Wah, susah ya ... Rista : ltu bukan masalah, Pak, toh Gadis butuh uang buat bantu ibunya. Bapak bantulah pak ... Rudi : Kamu keluar dulu, nanti kamu datang ke resto bapak. Gadis merasa lega bukan main. Kini tinggal selangkah lagi untuk bisa keluar dari pekerjaan yang menyiksanya lahir batin. Sayangnya saat mengajukan pengunduran diri, Gadis diberi waktu enam bulan. Alasannya untuk mendapatkan karyawan penggantinya terlebih dahulu. Gadis merasa berat jika harus mengencangkan sabuk hingga 6 bulan lamanya. Khawatir badan tinggal tulang, takut pulang bertemu sang ibu. Gadis : Saya gak bisa kalau menunggu 6 bulan lagi. Besok lusa saya sudah harus bekerja di tempat baru. Gilang : Kok bisa??! Gak bisa ini ... ! Rista : Kok gak bisa kenapa, Bu? Wong ibu juga gak ngasih gaji layak. Ya harus terima karyawan gak bisa loyal. .. Sudah, ayo pulang, Dis! Yang penting sudah bilang. Toh lusa kamu sudah kerja di tempat yang lebih baik. Gilang : Kamu tak laporkan polisi loh ... Rista : Laporkan saja, Bu. Nanti saya juga laporkan ibu ke Depnaker ... biar digerus toko ibu! Bu Gilang hanya diam seribu bahasa, tidak bisa berkata meskipun hanya sepatah. Gadis akhirnya pergi bersama Rista. Gadis : Wah ... kamu berani juga ya sama orang tua ... Rista : Orang dzalim itu harus dilawan. Diam itu emas, Dis. Tapi, mengatakan kebenaran adalah intan permata. Gak akan sadar orang kalau kita cuma menunggu dan diam saja ... Gadis mengangguk setuju dengan pendapat Rista barusan. Selang sehari setelahnya, Gadis kini sudah bekerja di resto besar. Membuatnya merasa bersyukur, saat kesabarannya berbuah manis. Ia berharap rezeki yang didapatkan akan lebih baik, dan memberikan bantuan yang layak kepada ibunya di rumah. Agar tidak lagi bersusah dan bersedih. (Sumber: www.sahabatnesia. comjcontoh-teks-naskah-drama/) Identifikasi tema teks drama tersebut!

7

4.0

Jawaban terverifikasi