Affan Gaffar, seorang ahli politik Indonesia, mengembangkan indikator-indikator untuk menilai kualitas demokrasi dalam suatu negara. Indikator ini mencakup rule of law (kedaulatan hukum), participatory democracy (demokrasi partisipatoris), accountability (akuntabilitas), competition (kompetisi), dan freedom (kebebasan). Berdasarkan indikator-indikator tersebut, berikut analisis demokrasi dalam setiap periode konstitusi di Indonesia:
1. Periode UUD 1945 (1945–1949)
- Rule of Law: Pada masa ini, kedaulatan hukum masih minim karena fokus utama negara adalah mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan. Sistem hukum masih dalam tahap pembangunan dan penyesuaian.
- Participatory Democracy: Demokrasi partisipatoris sangat terbatas karena situasi darurat akibat revolusi mempertahankan kemerdekaan. Pemilu pertama juga belum dilaksanakan karena situasi perang.
- Accountability: Akuntabilitas pemerintahan rendah karena kekuasaan banyak terpusat pada presiden yang memegang kendali penuh. Lembaga legislatif, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), hanya berperan sebagai penasihat.
- Competition: Kompetisi politik hampir tidak ada. Partai politik ada namun pengaruhnya terbatas, dan tidak ada pemilihan umum formal.
- Freedom: Kebebasan masih dibatasi, terutama karena ancaman dari pihak Belanda dan fokus pemerintah pada upaya mempertahankan kemerdekaan.
Secara keseluruhan, periode ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi demokrasi karena Indonesia berada dalam situasi darurat revolusi.
2. Periode Konstitusi RIS 1949 (1949–1950)
- Rule of Law: Kedaulatan hukum mulai diterapkan dengan lebih baik karena adanya sistem federal. Namun, karena Konstitusi RIS bersifat sementara, implementasi hukum masih kurang stabil.
- Participatory Democracy: Demokrasi partisipatoris meningkat sedikit dengan adanya badan-badan legislatif di negara bagian dalam sistem federal. Pemerintahan daerah mulai memiliki peran yang lebih besar.
- Accountability: Pemerintahan RIS lebih akuntabel dengan adanya struktur parlemen yang lebih jelas. Parlemen memiliki peran yang lebih kuat dibandingkan periode UUD 1945.
- Competition: Kompetisi politik mulai meningkat dengan berkembangnya partai-partai di negara bagian, meskipun masih terbatas.
- Freedom: Kebebasan pers dan berpendapat mulai diakui, namun tetap terbatas akibat situasi ketidakstabilan politik di banyak negara bagian.
Secara umum, Konstitusi RIS memberi ruang yang lebih besar bagi demokrasi dibandingkan UUD 1945, namun sistem federal dianggap tidak sesuai dengan kondisi sosial-politik Indonesia sehingga akhirnya diubah.
3. Periode UUDS 1950 (1950–1959)
- Rule of Law: Kedaulatan hukum semakin ditegakkan dengan sistem negara kesatuan yang diterapkan dalam bentuk parlementer. Sistem hukum Indonesia mulai lebih stabil dibandingkan periode sebelumnya.
- Participatory Democracy: Demokrasi partisipatoris sangat berkembang. Pemilu pertama diadakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan Konstituante, dan partisipasi masyarakat mulai meningkat.
- Accountability: Sistem parlementer meningkatkan akuntabilitas pemerintah, karena kabinet harus bertanggung jawab pada parlemen. Kabinet bisa dijatuhkan jika kehilangan dukungan parlemen.
- Competition: Kompetisi politik cukup tinggi dengan banyaknya partai yang bersaing dalam pemilu. Ada kebebasan untuk mendirikan partai dan bersaing dalam pemilu.
- Freedom: Kebebasan pers dan berpendapat cukup terbuka, meskipun masih ada keterbatasan dalam aspek tertentu. Pemilu 1955 menunjukkan kebebasan politik yang lebih tinggi daripada periode sebelumnya.
Periode UUDS 1950 adalah salah satu periode paling demokratis di Indonesia karena adanya pemilu yang jujur dan partisipasi politik yang tinggi. Namun, ketidakstabilan kabinet dan konflik ideologis membuat sistem parlementer dianggap tidak efektif, dan akhirnya diganti dengan Dekrit Presiden 1959.
4. Periode UUD NRI Tahun 1945 (1959–Sekarang)
Periode ini dapat dibagi menjadi dua fase utama:
Fase Orde Lama (1959–1965):
- Rule of Law: Kedaulatan hukum melemah dengan pemberlakuan Demokrasi Terpimpin, di mana presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedaulatan hukum dikendalikan secara otoriter.
- Participatory Democracy: Demokrasi partisipatoris menurun, karena banyak keputusan dipusatkan pada presiden dan militer. Parlemen hanya berfungsi sebagai lembaga formalitas.
- Accountability: Akuntabilitas sangat rendah karena pemerintah sangat terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno, dan parlemen tidak dapat mengawasi secara efektif.
- Competition: Kompetisi politik dibatasi dengan penggabungan partai-partai ke dalam konsep "Gotong Royong," dan peran oposisi diredam.
- Freedom: Kebebasan berpendapat sangat dibatasi, pers dikendalikan oleh pemerintah, dan oposisi ditekan.
Fase Orde Baru (1966–1998):
- Rule of Law: Kedaulatan hukum ditegakkan secara formal, namun diwarnai oleh kontrol militer dan pelanggaran HAM. Sistem hukum dimanfaatkan untuk stabilitas politik.
- Participatory Democracy: Demokrasi partisipatoris sangat dibatasi dengan sistem tiga partai yang dikelola secara ketat oleh pemerintah.
- Accountability: Akuntabilitas rendah karena kekuasaan presiden yang sangat besar. Lembaga legislatif tidak independen dan lebih sering menyetujui kebijakan presiden.
- Competition: Kompetisi politik hampir tidak ada karena dominasi Golkar dan pembatasan ketat terhadap partai-partai oposisi.
- Freedom: Kebebasan pers, berpendapat, dan berserikat sangat terbatas, serta banyak pelanggaran kebebasan sipil.
Fase Reformasi (1998–Sekarang):
- Rule of Law: Kedaulatan hukum semakin ditegakkan dengan penguatan lembaga-lembaga peradilan dan pembentukan KPK untuk mengatasi korupsi.
- Participatory Democracy: Demokrasi partisipatoris meningkat dengan pemilu yang lebih transparan, serta kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.
- Accountability: Akuntabilitas meningkat karena DPR dan lembaga-lembaga negara semakin berani mengawasi eksekutif.
- Competition: Kompetisi politik tinggi dengan sistem multi-partai yang memungkinkan semua golongan berpartisipasi dalam pemilu.
- Freedom: Kebebasan pers dan berpendapat semakin terjamin, meskipun masih ada tantangan terhadap kebebasan sipil.
Fase reformasi membawa demokrasi yang lebih substansial dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, terutama dibandingkan dengan periode sebelumnya.